Oleh:
Asyari Usman || Wartawan Senior
ADA teman yang hasil tes swabnya positif Covid. Begitu juga istri dan ibu si istri.
Karena positif, semua orang di rumah teman itu harus tes PCR yang berbiaya Rp900,000. Ada 6 orang yang wajib tes, dengan total biaya Rp5,400,000.
Mereka bukanlah orang kaya dalam arti uang segitu tak seberapa. Terasa berat bagi mereka. Tapi diwajibkan untuk ambil tes PCR.
Saya tanya apakah harus tes? Kenapa tidak isolasi mandiri saja? Plus konsumsi vitamin dan suplemen terus berjemur matahari jam 10.
Kata teman itu, dokter mewajibkan tes PCR guna mengetahui tingkat CT virus. Yaitu, tingkat ketertularan.
Bagi saya, biaya test PCR Rp900,000 itu keterlaluan mahalnya. Siapa pun yang melakukan tes ini, sungguh tidak punya hati. Semahal apakah rupanya alkes yang digunakan?
Biaya yang begitu mahal ini terasa sekali komersialisasi tes PCR. Benar-benar gila. Tidak berlebihan kalau disebut mencari keuntungan sadis di tengah kesulitan rakyat.
Pemerintah seharusnya menyediakan tes PCR tanpa biaya. Begitu juga tes-tes lainnya. Bukankah pemerintah wajib melindungi seluruh rakyat?
Setelah ditelusuri, ternyata Kemenkes yang menetapkan semacam HET (harga eceran terringgi) tes PCR. Ini sangat memalukan. Bahkan banyak rumah sakit yang melanggar HET dimaksud. Artinya, membebankan biaya lebih dari Rp900,000.
Pemerintah tak bisa mengemukakan alasan tak punya dana untuk menyediakan tes gratis di mana pun dilakukan. Di Puskesmas atau di RS swasta harus sama-sama gratis.
Harus diadakan dananya. Ini untuk kepentingan rakyat. Mengapa untuk dikorupsi selalu ada duitnya?*