View Full Version
Kamis, 29 Jul 2021

Kritik ''Cuitan'' Komunikasi Publik Mahfud MD

Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi. Pendiri Komunikasyik.com)

Komunikasi publik, dalam hal ini kasus cuitan Mahfud MD di Twitter menampakkan bagaimana empati itu tidak hadir dikalangan pejabat pemerintah. Belum lepas dari ingatan,  di media sosial riuh beragam komentar atas cuitan Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan  (Menkopolkam). Cuitan itu dinilai tak pas diucapkan oleh pejabat pemerintah, tidak peka, tidak bisa memahami bagaimana kondisi masyarakat yang masih harus berjuang menghadapi pandemi Covid-19. Singkatnya, empati benar-benar tak hadir.  Setidaknya, ada dua cuitan yang kontroversial.

Cuitan pertama, "PPKM memberi kesempatan kepada saya nonton serial sinetron Ikatan Cinta. Asyik juga sih, meski agak muter-muter." Cuitan kedua. “Mengharukan. Ada seorang kaya raya di Jatim meninggal ketika sedang menunggu antrian penanganan. Ada juga Profesor kedokteran senior menyerahkan kesempatan kepada yuniornya untuk menggunakan satu-satunya oksigen yang tersisa ketika keduanya sama-sama terserang Covid. Sang profesor kemudian wafat.”

Sebelum melangkah jauh, empati sendiri, melihat asal katanya,  seperti dikutip dalam buku “Sirnanya Komunikasi Empatik” karya Idi Subandi Ibrahim, semula berasal dari kata Einfuhlung. Kemudian secara harafiah diartikan sebagai merasa terlibat (feeling into). Dalam perspektif studi komunikasi kontemporer, pentingnya empati atau merasa terlibat ini seringkali dihubungkan dengan pembahasan mengenai persepsi dan kemampuan untuk mendengarkan.

Dalam kasus ini, Mahfud MD, sebagai pejabat pemerintah,  apa boleh buat, gagal mendengarkan suara-suara kesedihan, nasib yang sedang dialami masyarakat menghadapi pandemi covid-19 ditambah dengan beragam kebijakan pemerintah yang menambah beban rakyat kecil. Cuitan itu, jika diucapkan (ditulis) oleh masyarakat (netizen)  tentu tak masalah. Tapi, ketika muncul dari pejabat pemerintah yang seharusnya punya tanggungjawab, salah satunya menyediakan oksigen yang cukup dan itu ternyata abai, maka di situlah letak kurang pasnya cuitan tersebut.

Sekali cuitan muncul, tak bisa ditarik lagi dengan alasan apapun. Dalam komunikasi,  pesan bersifat irreversible, dalam artinya sekali orang “kelepasan ngomong”, sekali orang mencuit, menulis status atau komentar, tak bisa ditarik kembali seperti semula. Sementara, kalau dilihat dari perspektif etika komunikasi publik, cuitan tersebut juga problematis.

Mahfud MD, saya kira juga melanggar prinsip-prinsip etika komunikasi yang umum dan seharusnya dipahami betul oleh pejabat publik. Pertama, Non-maleficence (to do not harm) adalah  prinsip dasar perilaku moral di mana dalam penyampaian informasi dan tindakan yang dilakukan pejabat publik tidak boleh menyakiti orang lain walaupun tanpa disadari melakukannya secara tidak sengaja. Sebagai pejabat publik, komunikasi yang disampaikan Mahfud MD jelas menyakiti hati banyak orang. Tak selayaknya pernyataan-pernyataan kontroversial itu muncul.

Kedua, veracity (to tell the truth) sebuah prinsip menyatakan bahwa seorang pejabat publik mampu menyampaikan kebenaran terhadap suatu informasi sebagai tahapan awal dalam berperilaku etis. Dalam kasus kelangkaan oksigen di berbagai tempat, dikaitkan dengan cuitas Mahfud MD, jelas sebuah fakta tak terbantahkan, alih-alih sekadar merasa “Terharu”, menjadi penting menjelaskan kenapa kelangkaan oksigen itu sampai terjadi? Ini yang seharusnya dijelaskan, bukan malah sibuk bahas sinetron “Ikatan Cinta.”

Ketiga, fairness (to be fair and socially responsible) yang menekan pada keadilan dan tanggung jawab sosial. Sebagai pejabat publik, jelas penekanan pada keadilan dan tanggungjawab menjadi beban besar. Gagal bertanggungjawab, misalnya kemudian “Cuci tangan” dengan bilang pandemi Covid-19 adalah “Masalah Kita Bersama” yang artinya tak ada yang punya tanggungjawab, tak mau disalahkan, menjadi pemandangan buruk pejabat pemerintah. Cuitan Mahfud, MD itu jelas sangat jauh dari harapan demikian. Bukan soal tanggungjawab apa yang sudah dikerjakan, sedang dan akan dikerjakan menangani pandemi Covid-19. Tapi, malah posting soal remeh-temeh yang tidak pada tempatnya sekaligus kurang punya empati.

Hal ini, saya kira bukan berhenti pada kasus cuitan Mahfud MD. Tapi, komunikasi empati di tengah pandemi Covid-19 perlu menjadi perhatian pejabat publik. Sebagai bentuk keteladanan pengamalan, yang dengannya  bisa kembali memunculkan kepercayaan publik, bukan sebaliknya. Pejabat pemerintah perlu kembali  lebih peka dan banyak mendengar suara rakyat kecil (publik).

Terakhir, petuah Jalalludin Rumi ini perlu dihayati dan diamalkan “Karena untuk berbicara, orang harus lebih dulu mendengarkan, belajarlah bicara dengan mendengarkan.” [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version