View Full Version
Jum'at, 30 Jul 2021

Seolah Jadi Warisan, Utang Negara Tak Kunjung Selesai

 

Oleh: 

Devi Oktariani || Mahasiswi

 

INDONESIA masuk dalam jajaran 10 besar negara yang memiliki utang terbesar mencapai USD 402,08 miliar atau setara dengan Rp5.589 triliun. Data Statistik Utang Internasional yang dipublikasikan Bank Dunia pada Senin (12/10/2020) menunjukkan, Indonesia berada di posisi ketujuh dengan utang luar negeri terbesar.

Bisa dibilang, utang Pemerintah terus bertambah dari masa ke masa. Mulai dari era orde lama, orde baru, hingga era reformasi. Berdasarkan catatan Bank Dunia, utang luar negeri Indonesia naik lebih dari dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Sudah sekitar tujuh kali pergantian presiden, nampaknya belum mampu mengantarkan Indonesia untuk keluar dari lilitan utang luar negeri. Masing-Masing presiden justru dinilai melanjutkan tongkat estafet warisan utang untuk presiden selanjutnya.

Kementerian Keuangan RI mencatat, sampai akhir Desember 2020 total utang pemerintah mencapai angka Rp6.074,56 triliun sehingga rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 38,68 persen.

Secara nominal, utang pemerintah ini mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Hal ini disebabkan, pelemahan ekonomi sebagai akibat dari pandemi Covid-19.

Sebagaimana diketahui, menurut data Kementerian Keuangan, hingga akhir Mei 2021 utang pemerintah tembus Rp6.418,15 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 40,49%. Akankan prediksi BPK benar-benar menjadi nyata atau itu hanyalah kekhawatiran yang tidak perlu dirisaukan?

Data yang ia punya menunjukkan utang yang ditanggung pemerintah sudah mencapai Rp8.670 triliun. Itu terdiri dari utang untuk pembiayaan APBN sekitar Rp6.527 triliun per akhir April 2021 serta utang BUMN sekitar Rp2 ribuan triliun yang harus ditanggung pemerintah jika terjadi gagal bayar (default). (Cnnindonesia, 24/6/2021)

Ia mengatakan, sejak lama Indonesia sudah rentan dengan krisis ekonomi dengan kenaikan utang yang semakin tinggi. Skema terburuknya dari dampak utang tersebut ialah negara bisa bangkrut jika gagal bayar utang.

Namun, pemerintah masih saja mengklaim utang Indonesia masih berada di angka aman. Angka itu pun dinilai oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, masih lebih rendah dibandingkan negara lain. Dalam daftar 10 negara di dunia, Indonesia berada di peringkat tujuh dengan nilai utang mencapai 402,72 miliar dolar AS. Tingkat utang luar negeri Indonesia masih di bawah Brasil yang sebesar 569,39 miliar dollar AS, dan India 560,03 miliar dollar AS.

Pantas saja jika Bu menteri mengatakan Indonesia masih rendah dan aman. Hal ini memang tidak terlepas dari cara pandang negara mengenai utang. 

Narasi-narasi yang selama ini mengatakan utang Indonesia masih aman itu sama saja membodohi publik. Di mana-mana yang namanya utang itu tidak akan pernah aman. Seperti bom waktu, tinggal menunggu pemicunya saja untuk meledak.

 

Bahaya Utang

Harus dipahami bahwa utang adalah skema kapitalisme global untuk menjerat negara terutama negara berkembang agar terus menggantungkan diri pada negara kreditur. Dalam buku Politik Ekonomi Islam, Abdurrahman Al Maliki mengatakan pembiayaan proyek negara dari utang luar negeri membahayakan eksistensi negara tersebut. Sebab, kebijakannya akan disetir oleh negara pemberi utang.

Ada kalimat bijak yang mengatakan, “Derita adalah momentum membayar utang. Siapa saja yang melawan, tidak saja gagal membayar utang, ia malah menciptakan utang yang baru.” Benar saja, Indonesia tampak ketagihan dengan utang. Saat keuangan negara mengalami defisit, utang menjadi salah satu solusi andalan.

Utang tak mengapa, asal negara bisa membiayai rakyatnya. Rakyat yang mana? Kalau negara tak sanggup bayar cicilan utangnya, rakyatlah pihak yang paling merana untuk dipaksa membayarnya melalui tarikan pajak yang memalak. Dan rakyat pun berpotensi kehilangan aset negara yang mestinya mereka bisa menikmatinya.

Inilah kesalahan paradigma dan tata kelola negara yang berbasis utang. Kaya SDA tapi banyak utang. Kekayaannya bukan untuk menjadi sumber pendapatan, tapi untuk berjaga-jaga jika negara tak sanggup bayar utang, aset strategis siap dijual. Sebagai contoh, Indosat menjadi salah satu aset yang pernah dijual untuk menutupi defisit anggaran sebagai imbas krisis keuangan pada tahun 1998.

Narasi lain mengatakan, utang tidak akan membuat negara bangkrut. Sebab, utang Indonesia sifatnya jangka panjang. Jadi, ketika negara tidak sanggup bayar sekarang, bukan berarti langsung bangkrut. Ya memang risikonya tidak langsung terdampak. Kebangkrutan sebuah negara prosesnya bisa pelan tapi pasti, bisa pula cepat. Tergantung pemicunya.

Islam sudah memiliki seperangkat mekanisme bagaimana negara itu mestinya dikelola dan bagaimana negara membangun sistem keuangan yang sehat dan syar’i. Tidak akan ada keberkahan bila ekonomi negara ditopang sistem riba.

Negara yang hidup dengan utang hanya akan melahirkan ilusi kesejahteraan. Seakan-akan masih memiliki banyak pendapatan, padahal ngos-ngosan cari pendapatan. Lihat saja Cina dan AS, meski terlihat kokoh, sebenarnya sistem perekonomiannya keropos. Di luar tangguh, di dalam menanggung utang. Mana bisa dikatakan sebagai negara kaya dan adidaya? Mereka adidaya karena menjajah negara lain.

Dalam Islam, Baitulmal adalah konsep baku bagaimana pengelolaan ekonomi negara yang tepat dan benar. Baitulmal terdiri dari dua bagian pokok. Bagian pertama, berkaitan dengan harta yang masuk ke dalam Baitulmal, dan seluruh jenis harta yang menjadi sumber pemasukannya. Bagian kedua, berkaitan dengan harta yang dibelanjakan dan seluruh jenis harta yang harus dibelanjakan.

Sudah saatnya umat melirik sistem ekonomi Islam yang terbukti menyejahterakan. Bukan hanya ekonominya, keberadaan institusi pemerintahan Islam menjadi hal penting yang harus diwujudkan.

Tanpa adanya sistem pemerintahan Islam (Khilafah), keunggulan syariat tidak akan bisa dirasakan secara utuh. Artinya, menjalankan syariat Islam bukan sekadar mencuplik sepertiga atau setengahnya saja. Ekonominya syariat, tapi politiknya demokrasi, mana bisa? Harus kafah, menyeluruh.

Berkubang dalam sistem kapitalisme yang merusak tidak akan pernah memberikan kesejahteraan hakiki bagi rakyat. Apalagi utang riba, selain sumber kesulitan dan kesengsaraan, ia juga mendatangkan azab Allah Swt..

Rasulullah Saw bersabda,

الربا ثلثة وسبعون بابا وأيسرها مثل أن يكح الرجل أمه

“Riba itu mempunyai 73 macam dosa. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim, dari Ibnu Mas’ud) [MNews/Gz]


latestnews

View Full Version