Oleh:
Yons Achmad || Pengamat Komunikasi dan Pendiri Komunikasyik.com
APA itu “Jurnalisme Omongan” pejabat? Praktik jurnalisme yang mungkin tak pernah diajarkan bahkan dianjurkan di kampus-kampus Ilmu Komunikasi. Tapi, kehadirannya sering mewarnai media cetak maupun online di tanah air.
Sebuah praktik jurnalisme paling gampang dalam produksi media. Tinggal memilih narasumber yang diinginkan. Rekam apa yang disampaikan. Tulis dan beritakan apa adanya, kemudian pilih judul yang bombastis.
Rupanya, belum terasa gampang. Jurnalis kadang malah tak perlu repot-repot memilih narasumber. Tinggal tulis berbekal “Press Release” lembaga dengan pejabat tertentu yang berbicara. Atau tinggal tunggu konferensi pers, kutip omongan pejabat yang dirasa paling menarik. Lalu tayangkan di media tempatnya bekerja. Singkatnya, praktik jurnalisme semacam ini paling mudah dilakukan. Semua wartawan bisa melakukannya. Tak perlu repot-repot melakukan riset atau investigasi lapangan.
Tak penting apa yang dibicarakan atau diomongkan. Yang penting siapa yang ngomong. Praktik semacam ini terlihat misalnya ketika Ahok jadi gubernur DKI Jakarta. Tak peduli omongannya ngawur, tak bermutu, norak bahkan sering terlontar kata-kata jorok dan kasar, tetap saja diberitakan. Sebuah praktik jurnalisme yang menjengkelkan. Respon publik banyak yang menyesalkan. Bahkan, singkatnya, ada yang sampai komentar “Sial, lagi enak-enak makan muncul komentar Ahok di televisi, jadi kagak nafsu makan gue.” Kabar baiknya, Ahok tak terpilih jadi gubernur DKI. Tapi, tentu saja “Jurnalisme Omongan” tak serta merta mati begitu saja.
Di media, tersiap kabar seorang pejabat pemerintah bilang “Penanganan pandemi Covid-19 terkendali, kalau ada yang bilang tidak terkendali sini saya tunjukan ke mukanya.” Bahasa yang lumayan arogan ini diberitakan di mana-mana, di beragam media. Tak salah memang, sebab sang pejabat memang bilang begitu. Faktanya memang dia bilang seperti itu. Masalahnya, tentu saja hal ini masih menjadi klaim semata. Menjadi penting untuk tidak berhenti di sini. Menerima begitu saja informasi tersebut sebagai sebuah kebenaran mutlak.
Kabar baiknya, kemudian memang ada beberapa media yang tak berhenti di situ. Sebuah laporan dari suatu media membeberkan bagaimana rumah sakit mengalami kelangkaan oksigen, begitu juga laporan mengenai banyaknya orang yang kesusahan mencari tabung oksigen untuk pasien Covid-19. Hasilnya, berbondong-bondong solidaritas muncul. Layanan peminjaman dan pengisian oksigen dari relawan bermunculan, penggalangan dana pengadaan tabung oksigen berdatangan sehingga tentu saja berdampak positif untuk penyelamatan warga. Di level kebijakan publik, harusnya informasi demikian menjadi pertimbangan bagi perumusan kebijakan berikutnya.
Bayangkan kalau sekadar mengutip, menerima klaim pejabat pemerintah bahwa penanganan pandemi Covid-19 terkendali? Tentu, entah berapa korban meninggal sia-sia. Itu sebabnya, saya kira, kerja-kerja jurnalisik kita perlu mengurangi porsi omongan pejabat dan “Jurnalisme Omongan” tapi lebih prioritas membaca fakta lain di lapangan sebagai cerminan realitas yang bisa membuka tabir kebenaran yang tak terbantahkan.*