View Full Version
Selasa, 17 Aug 2021

Islam Solusi Persoalan Utang Negara

 

Oleh:

Asri Prasasti, SE.I

 

MEMANG tak dapat dipungkiri, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang tertatih-tatih. Bahkan berpotensi mengalami krisis berkepanjangan. Negeri yang selama ini dikenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi (tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya) justru memiliki utang yang sangat besar.

Dipredeksi bahwa tingginya utang Indonesia semakin parah setelah didera wabah Covid-19. Adapun besaran utang tersebut digunakan dalam pembangunan infrastruktur dan BUMN, serta bantuan yang diberikan oleh pemerintah dalam berbagai bentuk, seperti belanja PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), perlindungan sosial, kesehatan, UMKM, dan bantuan yang lain, 

Periode April 2021 meroket menjadi Rp 6.527,29 triliun. Dengan jumlah itu, rasio utang pemerintah mencapai 41,18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah itu bertambah Rp 82,22 triliun dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya sebesar Rp 6.445,07 triliun. (finance.detik.com 06/06/2021).

Selain itu, dilansir oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan bahwa utang badan usaha milik negara (BUMN) perbankan dan nonperbankan yang pasti akan ditanggung negara jika gagal bayar mencapai Rp2.143 triliun. “Total utang publik sekarang mencapai Rp8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya,” katanya dikutip melalui keterangan pers (bisnis.com).

Jika ditilik lebih jauh, maka pembangunan infrastruktur berbasis utang tentu saat ini sangat membahayakan perekonomian negara karena antara lain; meminjam kepada asing/ lembaga keuangan global dengan suku bunga yang tinggi, menjadikan asset negara menjadi taruhannya (dikuasailah kepemilikan umum oleh asing), dan tingginya pungutan/ pajak kepada rakyat.

Berbeda halnya dalam pengaturan Islam. Secara umum, infrastruktur  adalah fasilitas umum, yang dibutuhkan oleh semua orang, sehingga termasuk dalam kategori marâfiq al-jamâ’ah, seperti air bersih, listrik, dan sejenisnya. Begitu juga termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin dimonopoli oleh individu, seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya.

Di dalam pemerintahan Islam yang disebut Khilafah/ Imamah, memiliki mekanisme dalam pembangunan infrastrukturnya yakni berpandangan:

Pertama, menghindari utang kepada pihak asing atau lembaga keuangan global. Karena utang kepada asing yang jelas memiliki suku bunga  haram hukumnya. Selain itu, menyebabkan adanya intervensi asing kepada negri muslim yang memiliki utang.

Kedua, memproteksi kepemilikan umum seperti minyak, gas dan tambang. Misalnya, Khalifah (kepala negara) bisa menetapkan kilang minyak, gas dan sumber tambang tertentu, seperti Fosfat, Emas, Tembaga, dan sejenisnya. Pengeluarannya dikhususkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Strategi ini boleh ditempuh oleh Khalifah. 

Kebijakan ini juga merupakan kebijakan yang tepat, untuk memenuhi kebutuhan dana yang digunakan dalam pembangunan infrastruktur. Selain itu, Nabi saw. juga pernah memproteksi Tanah an-Naqi’, tempat yang terletak di Madinah al-Munawwarah, untuk menjadi tempat menggembala kuda (HR Abu Ubaid). Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, beliau juga melakukan hal yang sama, dengan memproteksi ar-Rabdzah, yang dikhususkan untuk menggembalakan unta zakat.

Ketiga, yaitu mengambil pajak dari kaum muslim untuk membiayai infrastruktur. Strategi ini hanya boleh dilakukan ketika Baitul Mal (lembaga kas negara) tidak ada kas yang bisa digunakan. Itu pun hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana vital, dan hanya diambil dari kaum Muslim, laki-laki, dan mampu. Selain dari pada itu tidak dipungut.

Demikianlah keunggulan ajaran Islam yang sangat detil dalam melakukan pembangunan infrastrukturnya yakni mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh sebuah negri tanpa campur tangan asing dan menjauhi hal yang dilarang oleh Allah (menjauhi utang berbasis ribawi). Wallahu’alam bish showab.*


latestnews

View Full Version