View Full Version
Selasa, 17 Aug 2021

Hikmah Puasa Tasu'a dan 11 Muharram

Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA*

 

Para ulama menyebutkan bahwa puasa 'Asyura itu ada 3 tingkatan:

Pertama: puasa 3 hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas Muharram. Ini yang paling sempurna.

Kedua: puasa hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.

Keetiga: puasa hari kesepuluh Muharram saja.

 

Dalil Puasa Tasu'a dan 11 Muharram

Adapun dalil para ulama yaitu:

1. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: ketika Rasulullah saw berpuasa hari 'Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa hari 'Asyura, para sahabat berkata: "Wahai Rasulullah, Sesungguhnya hari 'Asyura itu hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah saw bersabda: "Jika tahun depan kita masih hidup, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan." Ibnu Abbas berkata: maka sebelum hari kesembilan tahun depannya tiba, Rasulullah saw telah wafat. (HR. Muslim dan Abu Daud).

2. Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: "Jika aku hidup hingga tahun depan maka aku akan benar-benar berpuasa pada hari kesembilan." Yakni bersama hari 'Asyura (HR. Ahmad dan Muslim).

Namun, kenyataannya Nabi saw wafat sebelum hari kesembilan bulan Muharram itu tiba.

3. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Puasalah kalian hari 'Asyura. Dan berbedalah kalian dengan orang-orang Yahudi pada hari itu. Berpuasalah juga kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya." (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Al-Humaidi, Ibnu Khuzaimah dan lainnya).

Hadits ini didhaifkan oleh Imam Asy-Syaukani (Nailu Al-Awthar: 4/350) dan lainnya karena sanadnya dhaif. Namun telah shahih semisal hadits ini dari Ibnu Abbas, mauquf dari perkataannya. (Al-Fiqhu Al-Muyassar fi Dhaui Al-Kitab wa As-Sunnah: 164).

Menurut Syaikh Hasan Ayyub, Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Al-Baihaqi dengan sanad sangat baik. (Fiqhu Al-'Ibadat bi Adillatiha: 430).


Hikmah Puasa Tasu'a dan 11 Muharram

Adapun hikmah dianjurkan berpuasa 'Asyura bersama dengan sehari sebelumnya (hari ke 9 Muharram) dan sehari sesudahnya (hari ke 11 Muharram) banyak, di antaranya:

Pertama: untuk ihtiyath (kehati-hatian), karena ada kemungkinan kesalahan dalam melihat awal bulan Muharram atau ada perbedaan dalam menentukan awal bulan Muharram.

Kedua: untuk berbeda dengan puasa orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengkhususkan puasa pada hari ke sepuluh saja.

Ketiga: menyambung puasa tasu'a dan hari ke 11 Muharram bersama hari 'Asyura sehingga tidak berpuasa 'Asyura saja sebagaimana puasa pada hari Jum'at saja dilarang.

Imam An-Nawawi berkata: "Sebahagian ulama berkata: Dan barangkali sebab disunahkan puasa hari kesembilan bersama hari kesepuluh adalah agar tidak menyerupai dengan orang-orang Yahudi dalam mengkhususkan berpuasa pada hari kesepuluh. Dan dalam hadits ada isyarat kepada ini. Ada juga yg berpendapat untuk ihtiyath (kehati-hatian) dalam berpuasa 'Asyura. Pendapat yang pertama lebih kuat " (Syarhu Shahih Muslim: 8/254).

Imam An-Nawawi juga berkata: "Para ulama dari sahabat kami dan lainnya menyebutkan hikmah disunnatkannya puasa Tasu'a ada beberapa: Pertama: Maksudnya untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi dalam membatasi puasa mereka pada hari kesepuluh saja, ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Dalam hadits yg diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hambal dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Berpuasalah kalian hari 'Asyura, berbedalah dengan orang-orang Yahudi, dan berpuasalah kalian sebelumnya sehari dan sesudahnya sehari." Kedua: Maksudnya menyambung hari 'Asyura dengan berpuasa sebagaimana dilarang berpuasa pada hari Jum'at saja. Kedua ini disebutkan oleh Al-Khathabi dan lainnya. Ketiga: Kehati-hatian dalam puasa hari kesepuluh khawatir kurang hilal (awal bulan), dan terjadinya kesalahan maka hari kesembilan dalam bilangan adalah hari kesepuluh pada saat yang sama." Al-Majmu": 6/352-353).

Imam Ibnu Al-Qayyim berkata: Sebahagian ulama berkata: Telah jelas bahwa tujuan puasa hari kesembilan untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi dalam ibadah ini dengan melakukannya bersamanya, yaitu dengan salah satu dua hal: dengan memindahkan puasa hari kesepuluh ke hari kesembilan, atau dengan berpuasa kedua-duanya bersama. Sabda Rasulullah saw: "Jika kita masih hidup tahun depan, maka kita akan puasa pada hari kesembilan" mengandung kemungkinan dua hal itu. Maka Rasulullah saw wafat sebelum jelas bagi kita maksud beliau. Maka untuk kehati-hatian itu berpuasa dua hari bersama." (Zad Al-Ma'ad: 2/76).

Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani berkata: "Keinginan Rasulullah saw untuk berpuasa pada hari kesembilan mengandung makna bahwasanya beliau tidak membatasi pada hari sembilan, namun menambahkan hari kesembilan ke hari kesepuluh baik itu untuk kehati-hatian baginya maupun untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, dan ini makna yang lebih kuat yang didukung oleh beberapa riwayat Muslim." (Fathul Bari: 4/375).

Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani juga berkata: "Imam Ahmad memiliki hadits lain dari Ibnu Abbas secara marfu': "Puasalah kalian pada hari 'Asyura. Berbedalah kalian dengan orang-orang Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya". Ini pada waktu yang terakhir kalinya. Sebelumnya, Rasulullah saw suka mengikuti ahlul kitab dalam hal yang tidak ada perintah sama sekali, terlebih lagi jika hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Ketika penaklukan Mekkah dan Islam menjadi masyhur, maka beliau ingin menyelisihi ahlul kitab juga sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih, dan ini termasuk dari hal itu. Maka pada awalnya beliau mengikuti mereka dan mengatakan: "Aku lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian. Lalu beliau ingin menyelisihi mereka, maka beliau memerintahkan agar ditambahkan kepada puasa 'Asyura sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya untuk berbeda dengan mereka." (Fathul Bari: 4/375).

Imam Al-Khatib Asy-Syarbaini berkata: "Dan hikmah puasa Tasu'a bersama dengan 'Asyura adalah kehati-hatian untuk puasa 'Asyura karena ada kemungkinan salah dlm melihat awal bulan, dan untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi karena mereka berpuasa pada hari kesepuluh, dan menjaga dari mengkhususkan hari 'Asyura dengan puasa sebagaimana pada hari Jum'at. Apabila tidak berpuasa Tasu'a bersama 'Asyura, maka disunnahkan berpuasa hari kesebelas bersamanya. Bahkan Imam Asy-Syafi'i menjelaskan dalam kitab Al-Um dan Al-Imla' bahwa disunnahkan berpuasa pada tiga hari itu." (Mughni Al-Muhtaj: 2/183).

Imam Asy-Syaukani berkata: "Sabda Rasulullah saw : "Kami akan berpuasa pada hari kesembilan" ada kemungkinan maksudnya adalah beliau tidak membatasi atas hari kesembilan saja, namun menambahkannya ke hari kesepuluh, baik untuk kehati-hatian baginya maupun untuk menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan ada juga kemungkinan mengandung maksud bahwa beliau membatasi puasa kesembilan saja, namun tidak ada dalam redaksi hadits yang menunjukkan hal itu". Yang menguatkan kemungkinan pertama adalah sabda Nabi saw pada akhir hadits: "Puasalah kalian sehari sebelum hari 'Asyura dan sehari sesudahnya", maka ini menunjukkan dengan tegas dalam pensyariatan penggabungan dua hari tersebut kepada hari 'Asyura". (Nailu Al-Awthar: 4/350).

Lalu imam Asy-Syaukani menukilkan pendapat sebahagian ulama dengan mengatakan: "Dan sebahagian ulama berkata: Sabda Nabi saw: "Kami akan berpuasa pada hari kesembilan" mengandung kemungkinan maksud bahwa beliau ingin memindahkan hari kesepuluh ke hari kesembilan, dan mengandung maksud pula bahwa beliau ingin menambahkan hari kesembilan kepada hari kesepuluh dalam berpuasa. Ketika beliau wafat sebelum melakukan itu, maka sikap kehati-hatian itu puasa dua hari tersebut." (Nailu Al-Awthar: 4/351)

Syaikh Abu Malik dalam kitabnya "Shahihu Fiqhi As-Sunnah" berkata:
Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad berpendapat dianjurkan menggabungkan antara puasa hari kesembilan dan hari ke sepuluh dari bulan Muharram sehingga tidak menyerupai dengan orang-orang Yahudi yang mengkhususkan berpuasa pada hari ke sepuluh. (Shahih Fiqh As-Sunnah: 2/135).

Para penulis kitab "Al-Fiqh Al-Muyassar" berkata: "Dan dianjurkan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya berdasarkan sabda Nabi saw: "Berpuasalah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Berbedalah kalian dengan orang-orang Yahudi." (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah). Sanad Hadits ini dhaif, akan tetapi ada riwayat shahih dari Ibnu Abbas semisalnya, mauquf dari perkataan Ibnu Abbas). (Al-Fiqh Al-Muyassar fi Dhaui Al-Kitab wa As-Sunnah: 164).

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri dalam kitabnya "Mukhtashar Al-Fiqh Al-Islami" berkata: "Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram, terlebih lagi pada hari kesepuluh lalu puasa hari ke sembilan. Puasa pada hari kesepuluh itu menghapus dosa-dosa setahun yg lalu. Dianjurkan puasa hari ke sembilan dan ke sepuluh agar berbeda dgn orang-orang Yahudi." (Mukhtashar Al-Fiqh Al-Islami fi Dhaui Al-Qur'an wa As-Sunnah: 601).

Para penulis kitab "Al-Fiqh Al-Minhaji 'ala Mazhab Al-Imam Asy-Syafi'i" Syaikh Dr. Musthafa Al-Bugha, Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin, dan Syaikh Asy-Syarbaji berkata: "Hikmah puasa hari Tasu'a bersama 'Asyura adalah al-ihtiyath (kehati-hatian) karena ada kemungkinan kesalahan dalam awal bulan dan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi yg berpuasa pada hari kesepuluh. Oleh karena itu, dianjurkan jika tidak berpuasa Tasu'a bersama dgn puasa hari "Asyura untuk berpuasa pada hari kesebelas." (Al-Fiqh Al-Minhaji 'ala al-Mazhab Al-Imam Asy-Syafi'i: 1/356).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: "Sebaiknya berpuasa Tasu'a bersama dengan puasa 'Asyura, karena Nabi saw bersabda: "Jika aku masih hidup tahun depan, maka aku akan berpuasa pada hari kesembilan." Yakni: bersama 'Asyura." Dan karena Nabi saw memerintahkan untuk berpuasa sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya agar berbeda dengan orang-orang Yahudi, karena hari 'Asyura yakni hari kesepuluh Muharram merupakan hari yang Allah menyelamatkan padanya Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir'aun dan kaumnya, maka orang-orang Yahudi berpuasa 'Asyura sebagai rasa syukur kepada Allah azza wa jalla atas nikmat yg besar ini." (Syarhu Riyadhus Shalihin: 5/304).

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili berkata: "Jika seseorang tidak berpuasa hari kesembilan bersama 'Asyura, maka disunnahkan berpuasa hari kesebelas. Hal itu karena ada banyak hikmah, di antaranya: Pertama: Berbeda dengan orang-orang Yahudi dalam membatasi puasa hari kesepuluh saja, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Berpuasalah kalian hari 'Asyura, berbedalah dengan orang-orang Yahudi, dan berpuasalah sebelumnya sehari dan sesudahnya sehari". Kedua: Bahwa yg dimaksudkan adalah menyambung puasa 'Asyura dengan puasa bersamanya sehingga tidak berpuasa 'Asyura saja sebagaimana tidak berpuasa pada hari Jum'at saja. Ketiga: kehati-hatian dalam puasa hari kesepuluh karena khawatir salah dalam melihat hilal bulan Muharram." (Al-Mu'tamad fi al-Fiqh Asy-Syafi'i: 2/209-300).

Demikianlah hikmah-hikmah disyariatkannya puasa Tasu'a dan hari kesebelas Muharram sesuai dengan penjelasan para ulama, agar kita dapat memahami maksud dan tujuan disyariatkan puasa Tasu'a dan 11 Muharram. Wallahu a'lam.

*) Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua Jaringan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI) Provinsi Aceh, Anggota Rabithah Ulama & Da'i Asia Tenggara, Doktor bidang Fiqh & Ushul Fiqh International Islamic University Malaysia (IIUM), dan dosen Fiqh & Ushul Fiqh UIN Ar-Raniry


latestnews

View Full Version