Penulis:
Fata Vidari, S.Pd || Penulis dan Aktivis Peduli Generasi Banyuwangi, Jawa Timur
HINGGA hari ini sudah hampir dua tahun situasi pandemi tak kunjung terhenti. Sementara problem multidimensi semakin menjadi-jadi. Bukan hanya kesehatan masyarakat yang dipertaruhkan, namun juga ekonomi rakyat yang makin terpuruk, juga kualitas generasi bangsa yang terabaikan akibat kebijakan pendidikan yang kurang menjadi prioritas. Dalam hal ini problem pendidikan dan generasi yang semakin meluas akibat goncangan pandemi tidak bisa dianggap remeh.
Masalah pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang ditetapkan sebagai solusi menekan laju penularan virus nyatanya manambah permasalahan baru. Belum meratanya teknologi di negeri ini juga faktor ekonomi pada akhirnya menjadi hambatan pada pembelajaran yang fokus pada penggunaan gadget dan internet tersebut. Ditambah lagi minimnya interaksi antara guru dan siswa menjadikan pembelajaran tidak berjalan optimal. Walhasil, PJJ yang berkepanjangan ini beresiko menimbulkan masalah learning loss pada peserta didik.
Learning loss yang merupakan kondisi berkurangnya pengetahuan dan ketrampilan siswa secara akademis, sangat rentan terjadi di masa pandemi yang menerapkan PJJ. Hal ini diungkapkan dari laman kemendikbud, Minggu (31/1/2021) bahwa learning loss bisa terjadi karena berkurangnya interaksi guru dan siswa saat proses pembelajaran. Capaian belajar anak menjadi menurun jika dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka di kelas. Pasalnya, perbedaan akses, kualitas materi, sarana selama PJJ dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak yang memiliki keterbatasan secara sosio-ekonomi.
Menurut Michelle Kaffenberger seorang peneliti dari Oxfod University learning loss akan berdampak panjang sehingga menyebabkan masalah ekonomi dan sosial di masa yang akan datang jika tidak ada kebijakan pemulihan kemampuan belajar terlebih dahulu (kompasiana.com 23/7/2021).
Hal ini yang kemudian mendorong pemerintah menerapkan kondisi darurat pendidikan dengan ‘memaksakan’ penerapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas untuk mengurangi risiko dampak sosial negatif berkepanjangan. Pemerintah melihat bahwa dampak bukan hanya meliputi kualitas pendidikan, melainkan juga tumbuh kembang dan hak anak.
Dan ada 3 alasan utama yang menjadi dasar pelaksanaan PTM terbatas diantaranya pertama, untuk menghindari ancaman putus sekolah. Dalam hal ini PJJ yang tidak optimal membuat anak terpaksa bekerja dan tidak belajar karena tidak melihat peranan sekolah dalam proses belajar jarak jauh. Kedua, menghindari penurunan capaian belajar anak. Dan yang ketiga, menghindari resiko psikososial selama PJJ seperti kekerasan pada anak, pernikahan dini dan eksploitasi anak (news.detik.com 4/9/2021).
Namun dengan kebijakan PTM darurat ini tidak sedikit pula yang melakukan penolakan karena dinilai membahayakan kesehatan dan keselamatan anak serta ekosistem di sekolah. Penolakan salah satunya dilayangkan Aliansi untuk Pendidikan dan Keselamatan Anak dalam bentuk somasi kepada pemerintah yang dikirimkan, Jumat (3/9/2021).
Pemerintah dinilai melanggar ketentuan perundang-undangan dalam kebijakan PTM terbatas yang didorong masif di sejumlah wilayah. Pemerintah diminta serius mendukung pembelajaran yang lebih aman berbasis keluarga dan komunitas atau inovasi pendidikan lainnya daripada memaksakan PTM terbatas di sekolah di tengah pandemi Covid-19 (kompas.id 3/9/2021).
Terlepas dari pro kontra apakah lebih baik PJJ atau PTM di sekolah harus diakui pendidikan di Indonesia menyimpan problem serius. Dan hal ini sudah terjadi sejak lama. Ditambah lagi kondisi pandemi membuat problem kian melebar. Pandemi bahkan bisa merusak kepribadian siswa, menghilangkan semangat untuk menuntut ilmu. Ancaman learning loss yang memaksa pemerintah membuka sekolah di tengah pandemi sebenarnya juga termasuk salah satu bukti sistem pendidikan selama ini lemah.
Mengapa banyak siswa yang tidak bisa mengakses pembelajaran, Mengapa minim sarana pendidikan yang bisa digunakan, kurikulum seperti apa yang diberikan kepada siswanya selama ini sehingga siswa cukup berat menghadapi pembelajaran. Karena itu, solusinya bukan hanya dengan menyelesaikan problem teknis pembelajaran, apakah PJJ ataukah tatap muka. Lebih dari itu, sumber mendasar yang menyebabkan kegagalan pendidikan harus dihilangkan.
Upaya mengatasi problem pendidikan yang mendasar butuh solusi fundamental, yaitu berupa sistem pendidikan terbaik untuk menggantikan sistem yang selama ini gagal menghadapi goncangan pandemi. Dan pendidikan terbaik tersebut telah tercakup dalam sistem pendidikan Islam yang pernah diterapkan di masa kegemilangan islam yaitu masa Khilafah.
Hal ini karena pertama, sistem pendidikan islam sebagai sistem yang bersumber dari Allah, maka akidah Islam menjadi landasan penentuan arah, tujuan, kurikulum hingga metode menerapkan kurikulum. Sistem pendidikan Islam memastikan belajar tetap berjalan meski tidak di sekolah. Sebab, akidah Islam menjadi landasan dalam menuntut ilmu. Ilmu bersifat praktik bukan teori. Standar hasil pun bukan capaian akademik, namun pembentukan perilaku. Maka pendidikan bisa berjalan meski dengan metode yang menyesuaikan.
Kedua, pendidikan ditujukan untuk membentuk kepribadian Islami dan membekali siswa dengan ilmu (tsaqafah) Islam dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Hal akan tetap berlangsung dalam semua kondisi. Bahkan menjadi tujuan yang paling penting dalam menghadapi krisis apa pun. Ini berbeda dengan sistem pendidikan sekuler kapitalis yang pada akhirnya hanya untuk memenuhi keinginan duniawi (kekayaan, kedudukan, kepentingan, dan lain-lain) namun minim dalam membentuk pribadi bertakwa secara hakiki.
Ketiga, kurikulum disusun mengikuti tujuan yaitu membentuk kepribadian islami. Berbeda dengan kurikulum pendidikan sekuler kapitalis yang menjadikan prestasi akademik sebagai acuan. Meski materi pembelajaran dikurangi, namun hal ini menjadi beban bagi siswa yang terkendala akibat pandemi. Banyak siswa yang merasa jenuh dengan belajar daring. Ini bisa jadi karena muatan pembelajaran yang membosankan, teoritis, memaksakan beban materi, di samping minus dalam kreasi dan memasukkan muatan pembentukan perilaku dan kecakapan hidup.
Dalam kurikulum pendidikan islam terdapat hal-hal yang bersifat baku dan fleksibel. Dalam situasi tidak normal, maka beban kurikulum lebih diutamakan untuk menguatkan sikap dan perilaku menghadapi krisis sesuai hukum syariah. Adapun materi yang berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan mengikuti kondisi dan kemampuan siswa. Hal ini ditambah dengan metode pembelajaran yang bersifat aqliyah dan talqiyan fikriyan. Maka semangat belajar siswa akan terus tumbuh dan produktif.
Keempat, menjadikan negara sebagai pengelola langsung (operator) pelayanan pendidikan dan bukan sebagai regulator sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalis saat ini. Dengan konsep ini negara bertanggung jawab penuh baik dalam memberikan anggaran sesuai kebutuhan, menyediakan guru berkualitas, menyediakan sarana prasarana tanpa bergantung pada pihak swasta.
Kelima, sistem pendidikan Islam ditunjang oleh sistem Islam lainnya dalam bidang ekonomi, politik pemerintahan, sosial, dan lainnya. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi saat ini. Sebaik apa pun guru menjaga dan mengawal pendidikan di sekolah, namun nyatanya sistem di luar pendidikan tidak berpihak. Pada akhirnya, banyak anak terjun ke dunia kriminal dan kemaksiatan.
Demikianlah, sistem pendidikan dalam Islam memang sangat jauh berbeda dengan sistem pendidikan sekuler kapitalis saat ini. Inilah satu-satunya harapan agar kondisi pandemi bisa dilalui tanpa ancaman learning loss. Dengan sistem terbaik ini, baik dengan belajar tata muka maupun PJJ, pada hakikatnya pendidikan akan terus produktif mewujudkan generasi masa depan yang berkualitas.*