View Full Version
Rabu, 06 Oct 2021

Pandemi, Harta Pejabat Meningkat Pesat

 

Oleh: Ade Ayu Setiawati, S.Pd

Penindasan serta kesewenang-wenangan

Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan

Hoi hentikan

Hentikan jangan diteruskan

Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan...

Begitu petikan lagu Bongkar karya Iwan Fals, seolah menggambarkan jeritan rakyat yang muak dengan penindasan, ketidakpastian dan keserakahan dari para pejabat. Kesempatan memiliki tahta menjadi aji mumpung bagi pejabat untuk menumpuk harta kekayaan. Maka sangat wajar jika harta kekayaan para pejabat naik drastis ketika mereka sudah diangkat menjadi pejabat.

Pandemi Menguat, Harta Pejabat Meningkat

KPK memeriksa harta kekayaan para pejabat setelah mereka menduduki jabatannya. Menurut hasil laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang diterima, tercatat sebanyak 70 persen penyelenggara negara memiliki harta yang kian berlimpah. "Kita amati juga selama pandemi 1 tahun terakhir ini itu secara umum penyelenggara negara 70 persen hartanya bertambah. Kita pikir pertambahannya masih wajar, kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan saat webinar, melalui akun YouTube KPK RI. Rata-rata bertambah Rp1 miliar sebagian besar di tingkat kementerian, DPR meningkat juga dan seterusnya," jelasnya (merdeka.com, 7/9).

Tentu bukan suatu hal yang aneh jika banyak sekali yang rebutan kursi jabatan, meskipun setelah menjabat kadangkala kebijakannya terkesan nyeleneh. Dalam sistem demokrasi, untuk mendapatkan kursi jabatan bukanlah hal murah. Ada modal yang sangat mahal dibalik "harga" kursi jabatan tersebut. Biaya kampanye dalam pesta demokrasi membutuhkan modal tak sedikit. Pramono Anung pernah menulis buku 'Mahalnya Demokrasi, Memudarnya Ideologi'. Dia menjelaskan _public figure_ bisa menghabiskan Rp 200 hingga 800 juta, aktivis parpol bisa menghabiskan Rp 500 juta sampai Rp 2 miliar, dan seorang pengusaha bisa menggelontorkan Rp 6 miliar.

Semua itu untuk biaya kampanye supaya bisa menjadi anggota DPR. Tapi itu potret tahun 2013, kini zaman sudah berubah, dan harga-harga sudah tidak lagi murah, termasuk juga biaya yang harus dikeluarkan untuk kampanye berlipat ganda. Dilansir kompas.com, "Keterangan Pramono Anung sudah nggak representatif lagi, sudah tidak relevan lagi. Biaya alat peraga sudah lebih mahal daripada 2013," kata anggota DPR yang baru saja dilantik, Andre Rosiade, kepada wartawan, Kamis (3/10/2019)

Andre adalah anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Barat I (Kota Padang). Dia menjelaskan biaya paling besar adalah biaya merawat konstituen. Memangnya berapakah biaya kampanye yang dibutuhkan Andre Rosiade untuk berhasil mencapai kursi DPR? "Miliaran lah, nggak sampai belasan. Nggak etis saya sebut," kata Andre.

Dengan modal yang semakin mahal, maka tidak heran jika setelah menjabat, mereka ingin "balik modal" dan mendapatkan keuntungan. Karena jika berlaku jujur dengan jabatannya, mereka akan kesulitan untuk bisa mengembalikan modal tersebut. Pasalnya masa jabatan setiap periode hanya lima tahun, jika jabatannya tidak diperpanjang tentu kesempatan selama lima tahun harus "dimanfaatkan" sesuai kepentingan mereka. Gaji dan tunjangan yang fantastis bagi para pejabat tidak berpengaruh signifikan dalam mengurusi kebutuhan rakyat.

Padahal, pemasukkan APBN terbesar berasal dari pajak rakyat dan utang luar negri. Rakyat jelata tetap harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Pejabat sibuk memperkaya diri, sedangkan rakyat sibuk memikirkan cara bayar pajak dan kebutuhan hidup yang semakin meningkat.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat di tengah pandemi Covid-19. Hingga September 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan bertambah 2,76 juta jiwa menjadi 27,55 juta jiwa. Kehidupan rakyat semakin terhimpit ditambah dengan kondisi pandemi yang belum berakhir ini.

Bagaimana Islam Menyikapi Harta Pejabat?

Lain halnya dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam sistem Islam, tentu tidak membutuhkan modal yang mahal untuk kampanye jabatan. Menurut Imam Ibnu Taimiyyah, kekuasaan itu memiliki dua pilar utama; kekuatan (al-quwwah) dan amanah (al-amanah).

Yang dimaksud dengan al-quwwah (kekuatan) di sini adalah kapabilitas dalam semua urusan. Kuat dalam urusan peperangan misalnya, (wilayah al-harb) terefleksi dalam bentuk keberanian hati, keahlian dalam mengatur perang dan strategi perang, serta keahlian dalam menggunakan alat-alat perang. Kuat dalam urusan pemerintahan terwujud pada kapasitas ilmu dan keadilan, serta kemampuan dalam menerapkan hukum-hukum syariah. Adapun amanah, direfleksikan pada takut kepada Allah SWT, tidak menjual ayat-ayat-Nya dengan harga murah, dan tidak pernah gentar terhadap manusia. (Imam Ibnu Taimiyah, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, 1/6-7, 9).

Senada dengan Imam Ibnu Taimiyah, Syekh Taqiyyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa seorang pejabat negara harus memiliki tiga kriteria penting; al-quwwah (kekuatan); at-taqwa (ketakwaan); dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat).

Menurut beliau, yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan syariah Islam. Seorang yang lemah akalnya pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya. Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus segera diambil tindakan.

Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu menelurkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang lemah akalnya sedikit-banyak pasti akan menyusahkan rakyatnya.

Selain itu, yang tidak kalah penting bagi penguasa adalah ketakwaan. Pemimpin yang bertakwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah SWT. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syariah Islam dan berusaha sekuat tenaga untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Ia sadar bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak pada Hari Akhir. Untuk itu, ia akan selalu menjaga tindakan dan perkataannya.

Berbeda dengan pemimpin yang tidak bertakwa; ia condong untuk menggunakan kekuasaannya untuk menindas, menzalimi, dan memperkaya dirinya. Pemimpin seperti ini merupakan sumber fitnah dan penderitaan.

Pengangkatan pejabat negara di dalam Islam dilakukan dengan tiga model. Pertama: pembaiatan oleh ahlul halli wal ‘aqdi atau umat. Pejabat negara yang diangkat berdasarkan metode baiat adalah khalifah;

Kedua: pemilihan (intikhâb) oleh rakyat. Pejabat negara yang dipilih berdasarkan intikhâb (pemilihan umum) adalah anggota Majelis Umat. Mereka dipilih untuk mewakili rakyat dalam urusan syura dan muhâsabah (koreksi/pengawasn terhadap penguasa).

Ketiga: pemberian mandat dari Khalifah. Semua pejabat negara, selain Khalifah dan Majelis Umat, diangkat oleh Khalifah atau orang yang diberi mandat oleh khalifah sesuai dengan akad niyâbah-nya; semacam mu’âwwin (pembantu Khalifah), wali, amil, qâdhi (hakim) dan lain-lain.

Hal ini dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin, paska wafatnya Rasulullah Muhammad . Mekanisme pengangkatan pejabat negara seperti ini terus dijaga dan dipraktikkan oleh generasi-generasi umat Islam berikutnya hingga runtuhnya Kekhilafahan Islam.

Bahkan, Abdullah bin Umar ra., putra Umar bin al-Khaththab ra., pernah melaporkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. memerintahkan pencatatan kekayaan para kepala daerah (wali), di antaranya adalah Saad bin Abi Waqqash ra. Jika ada kelebihan kekayaan, beliau memerintahkan untuk membagi dua; separuh untuk pejabat tersebut dan sisanya diserahkan ke baitulmal. (As-Suyuthi, Târikh al-Khulafâ’, hlm. 132).

Hal itu menunjukkan bahwa penguasa di dalam sistem Islam bertanggung jawab terhadap tugas dan amanah mereka didasari ketakwaan individunya, karena setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

Mereka sangat takut dengan sabda Nabi SAW. : “Sesungguhnya, orang yang paling dicintai Allah kelak pada Hari Kiamat dan paling dekat tempat duduknya dengan Allah SWT adalah seorang pemimpin adil. Adapun orang yang paling dibenci Allah kelak pada Hari Kiamat dan paling jauh tempat duduknya dengan Allah SWT adalah seorang pemimpin yang lalim.” (HR at-Tirmidzi). Wallahu'alam bishowab. (rf/voa-islam.com)

ILustrasi: Google


latestnews

View Full Version