View Full Version
Rabu, 06 Oct 2021

Benarkah Semua Agama Sama?

 

Oleh:

Dyandra Verren Pongtiku || Mahasiswi Universitas Gunadarma

 

BARU-BARU ini publik dihebohkan lagi dengan pernyataan salah satu tokoh petinggi militer yang menyatakan semua agama itu sama benar di mata Tuhan. Sejalan dengan pernyataan itu, dari pihak pemerintah pun membenarkan pernyataan tersebut. Katanya tiap pemeluk agama pasti meyakini agamanya paling benar di mata Tuhan juga semua yang berlebihan itu tidak baik. 

Pernyataan yang semacam itu bentuk pluralism agama (mengakui semua agama itu benar). Agama diasumsikan sebagai persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga -karena kerelatifannnya- seluruh agama tidak boleh mengklaim atau meyakini agamanya yang lebih benar dari agama lain atau meyakini hanya agamanya yang benar. Mungkin maksud tokoh-tokoh tersebut ingin menyampaikan agar membangun toleransi dan persatuan supaya tidak terjadi perpecahan sekalipun berbeda agama, tetapi jelas sekali pernyataan yang dilontarkan malah menjadi bumerang karena jelas keliru maknanya. 

Pernyataan seperti ini amat berbahaya bagi akidah kita sebagai Muslim, sebab dalam sudut pandang Islam, apakah semua agama sama? Jawabannya tidak. Sebagai Muslim kita wajib meyakini hanya Islamlah agama/ deen yang diridhai Allah SWT. Pun Allah sendiri menyerukan Islam itu rahmatan lil alamiin, yaitu rahmat bagi alam semesta. Jika diterjemahkan dengan bahasa yang mudah berarti Islam adalah deen untuk semua makhluk Allah. 

Hal itu juga sudah dikatakan dalam Al-Qur’an surah ali-Imran ayat 85 yang artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. 

Dalam al Tafsir al Muyassar disebutkan, “Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam; yang maknanya adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan dan penghambaan, serta tunduk kepada Rasulullah dengan mengimaninya, mengikutinya dan mencintainya lahir dan batin, maka tidak akan diterima agama itu darinya dan di akhirat termasuk orang yang rugi, tidak mendapatkan bagian untuk dirinya.” 

Kalau kita telik lagi, mengapa akhirnya banyak sekali orang-orang yang mengatakan semua agama itu sama? Bisa kita dapati pluralismelah alasannya. Pluralisme agama familiar sekali di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Hal ini terjadi tidak lain karena sistem demokrasi yang kita anut. Demokrasi menjadikan akar pluralisme sebagai bagian dari pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara karena paham pluralism benar-benar dijunjung tinggi sehingga bisa kita lihat pada faktanya di mana-mana gampang sekali menemui kondisi umat beragama bercambur baur dalam hal peribadatan. Entah Islam merayakan natal, Kristen merayakan lebaran, Hindu merayakan lebaran. Familiar sekali terjadi di Indonesia karena pluralisme agama ini. 

Namun, apakah benar solusi pluralisme ini menjadi jalan tengah terciptanya kedamaian dan ketertiban di kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Jawabannya tidak. Pluralisme malah meruncingkan permasalahan-permasalahan penyebab intoleransi di kalangan masyarakat. Bukan hanya menyebabkan kita harus ‘bertoleransi’ terhadap hal-hal janggal seperti agama atau sekte sesat, sebagai pemeluk agama pun jadi gagal paham dengan agamanya masing-masing juga boundaries yang sudah dimiliki tiap agama. Selain itu demokrasi menyalahpahamkan arti pluralisme dan pluralitas.

Pemahaman keliru seperti itu pun sebenarnya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam memilah informasi yang masuk ke masyarakatnya. Ini kewajiban yang harusnya dijalankan pemerintah sehingga tercipta keselarasan yang jelas juga interaksi sosial yang jelas di antara masyarakat. Karena informasi yang masuk akan menjadi pemahaman untuk memperkuat akidah kita, jika informasi yang masuk saja keliru, apalagi nanti akidahnya? Pasti akan tercipta akidah yang ke kiri-kirian atau ke kanan-kanan. 

Dalam Islam, Allah sendiri yang mangatakan tentang perbedaan di antara kita semua. Allah sudah mengatakan dalam Surah al-Hujurat ayat 13, bahwa kita diciptakan berbangsa-bangsa, diciptakan pria dan wanita agar kita saling mengenal satu sama lain. Oleh sebab itulah Islam mengenal pluralitas. Jika pluralisme menganggap semua agama sama, sedangkan pluralitas itu adalah perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara kehidupan kita. 

Sebenarnya terciptanya kerukunan hidup yang baik di antara para pengikut agama-agama yang ada, bukanlah menyatakan agama itu sama di mata Tuhan, tetapi bagaimana kita bisa mendorong dan menganjurkan kepada para pengikut dari agama yang berbeda-beda tersebut untuk bisa hidup rukun, aman dan damai. 

Pernyataan semua agama sama di mata Tuhan itu jelas keliru. Tidak mungkin seorang Islam ingin dikatakan Hindu, pun dengan Hindu pasti tidak ingin dikatakan Islam. Islam mengatur interaksi toleransi beragama seperti disampaikan di surah al-Kafirun. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Umat Islam beribadah  ya sesuai dengan agama Islam dan agama lain pun dengan cara ibadahnya masing-masing. Tak perlu diiringi campur baur karena sudah jelas letak perbedaannya.

Pada masa kepemimpinan Rasulullah hingga kekhilafahan terakhir yakni Utsmaniyyah, sistem Islam mampu memberikan solusi menyatukan umat dalam perbedaan, memperlihatkan keharmonisan dan kerukunan dalam masyarakat yang plural, semua bisa hidup berdampingan sebagai warga negara. Salah satu buktinya, Islam berjaya selama 800 tahun di Spanyol pada masa Kekhalifahan Bani Umayyah. Islam, Nasrani dan Yahudi hidup berdampingan dan penuh adab. Tidak ada tradisi penganiyaan agama.

Selain itu sejarah juga mencatat, warga Kristen Syam yang bahkan lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Islam dibandingkan pimpinan Kaisar Romawi yang sama-sama beragama Kristen. Ini karena sistem Islam jelas menetapkan urusan akidah dan tauhid adalah pokok agama yang serius ditangani Pemerintah sehingga siapapun tidak boleh mempermainkannya.Wallahu alam bisshawab.*


latestnews

View Full Version