Oleh:
Sepriyanto || Mahasiswa Pascasarjana Universitas Trilogi Jakarta, bergiat di Rumah Sosial Kutub
The strength of the team is each individual member. The strength of each member is the team—Phil Jackson.
TERKAIT kerja tim, agaknya inilah yang menjadi sebuah masalah sendiri bagi generasi milenial. Berdasarkan temuan Deloitte yang melakukan survei terhadap 10.455 karyawan millenial di 36 negara termasuk Indonesia ditemukan bahwa karyawan milenial cenderung memiliki loyalitas yang rendah. Lebih lanjut, dalam temuannya itu mengungkapkan terdapat 43% responden mengaku akan meninggalkan pekerjaannya dalam 2 tahun. Hanya 28% responden yang bertahan dengan pekerjaannya lebih dari 5 tahun.
Angka ini pun tidak terpaut jauh dari survei yang dilakukannya 2 tahun sebelumnya (2016), di mana terdapat 44% responden yang ingin pindah kerja, dan hanya 27% yang bertahan. Dari temuan ini, maka wajar kemudian mereka dianggap kurang loyal dan mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Perlahan tapi pasti akhirnya generasi yang yang terlahir direntang awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an dianggap “kutu loncat” dalam dunia kerja.
Menurut Frian dan Mulyani (2018), penyebab utama generasi milenial mudah berpindah pekerjaan adalah tersedianya jenis pekerjaan yang lebih baik di luar perusahaan dan sistem pengembangan karyawan atau karir yang ada di perusahaan. Dalam studi Millenials Employee turnover Intention in Indonesia, kedua penulis ini menjelaskan bahwa karyawan yang tidak mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dalam perusahaan, serta tidak mendapat pelatihan keahlian yang cukup cenderung meninggalkan perusahaan atau pekerjaan lamanya.
Variabel lain seperti gaji dan kompensasi yang diberikan perusahaan justru bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi generasi milenial ini berpindah perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dan juga karyawan harus bekerjasama dalam menciptakan lingkungan kerja yang dapat mendorong produktivitas dan loyalitas, agar tujuan dan visi dapat tercapai dengan maksimal. Terdapat dua faktor penentu yang menjadi perhatian untuk meminimalisir fenomena kutu loncat ini yaitu, peran serta perusahaan dalam meningkatkan kesuksesan karir karyawan, dan peran serta karyawan itu sendiri untuk memaksimalkan potensi dalam dirinya.
Meminimalisir Fenomena Kutu Loncat
Wayne et al. (1999), menjelaskan bahwa supervisor atau pemimpin memiliki peran yang sangat penting dalam kesuksesan karir karyawannya. Oleh karena itu, dukungan emosional serta pendampingan yang diberikan oleh supervisor akan sangat berarti bagi kesuksesan karir karyawan. Dengan demikian, karyawan harus menumbuhkan hubungan yang kuat dengan supervisor langsung mereka dari pada hanya berfokus pada kemampuan setiap individu seperti pendidikan, pengalaman, dan motivasi sebagai penentu keberhasilan karir. Peran supervisor juga harus diakui oleh setiap karyawan, dan karyawan juga harus proaktif dalam mengembangkan hubungan yang kuat dengan supervisor.
Sejalan dengan itu, Kram dan Isabella dalam penelitiannya yang dilakukan lebih dari dua dasawarsa lalu juga pernah mengidentifikasi ada dua fungsi utama dari hubungan mentoring yaitu pengembangan karir dan dukungan psiko-sosial. Dalam dukungan pengembangan karir, mentor atau supervisor menyediakan karyawan dengan paparan, visibilitas dalam organisasi, pekerjaan yang menantang, dan tentu dengan perlindungan. Bagian dari dukungan psiko-sosial, mentor atau supervisor akan menjalin hubungan dengan karyawan serta menumbuhkan rasa percaya dirinya dan memberikan nasihat-nasihat demi kemajuan prestasi karyawannya. Adanya hubungan yang erat antara karyawan dengan supervisor juga dapat meningkatkan peluang promosi bagi karyawan.
Selain itu, penting bagi perusahaan untuk memberikan motivasi kepada setiap karyawannya guna meningkatkan loyalitas dalam bekerja. Menurut teori motivasi expectancy-valence yang pernah dipopulerkan oleh Katzell & Thompson (1990) merumuskan karyawan akan termotivasi untuk melakukan usaha jika mereka mengharapkan usaha itu akan mengarah pada kinerja yang baik, dan berperan penting dalam mencapai hasil yaitu penghargaan intrinsik dan ekstrinsik.
Dengan demikian, perusahan harus menyadari bahwa pengembangan karir karyawan serta supervisor berpotensi tidak hanya dalam pemilihan individu yang berbakat saja, tetapi juga dalam hubungan yang dibentuk antar-individu. Pada akhirnya, perusahaan akan mendapatkan manfaat dengan melatih para pemimpin untuk memberikan dukungan dan bimbingan yang diperlukan agar karyawan dapat berkembang dalam perusahaan.
Political Skills dan Kesuksesan Karir Karyawan
Perusahaan memang harus menyediakan tempat untuk karyawan berkembang seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, karyawan pun harus memiliki skills atau kemampuan yang dapat menunjang kinerja mereka, salah satunya political skills. Ferris et al. (2005) mengungkapkan political skills adalah kemampuan karyawan dalam memahami orang lain secara efektif, serta menggunakan pengetahuan tersebut untuk mempengaruhi orang lain dalam bertindak yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dari individu dan/atau organisasi.
Lebih dalam lagi, Ferris menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan berpolitik biasanya lebih baik dalam melakukan observasi, terutama mengobservasi orang lain. Mereka mampu melakukan interaksi dengan baik dan mampu mengartikan sikap mereka serta sikap orang lain, sehingga mereka lebih mudah untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain. Kemampuan ini juga mampu memberikan pengaruh terhadap rekan kerja.
Lebih dalam lagi, beliau menjabarkan bahwa mereka yang memiliki political skills biasanya seorang negosiator yang handal karena terkesan jujur dan terus terang. Mereka memiliki jaringan yang luas, mampu memanfaatkan peluang, dan ahli dalam mengelola konflik.
Seperti karakter dari generasi millenial yang ingin diapresiasi, serba cepat dan selalu menuntut tantangan, perusahaan disarankan untuk terus memberikan pengembangan karir dan juga tantangan dalam pekerjaan namun tetap memberikan perlindungan. Mentoring yang diberikan supervisor dalam pekerjaan tidak hanya berdampak terhadap meningkatnya performa secara angka, namun juga hubungan antara karyawan dan supervisor. Karyawan yang merasa dihargai, akan memiliki motivasi lebih tinggi dan kinerja yang lebih baik.
Pengembangan karir karyawan serta supervisor berpotensi tidak hanya dalam pemilihan individu yang berbakat saja, tetapi juga dalam hubungan yang dibentuk antar-individu. Pada akhirnya, perusahaan akan mendapatkan manfaat dengan melatih para pemimpin untuk memberikan dukungan dan bimbingan yang diperlukan agar karyawan dapat berkembang dalam perusahaan dan membuat mereka loyal terhadap perusahaan.
Generasi millennial sendiri pun tak bisa hanya mengandalkan kemampuan perusahaan dalam membuat mereka nyaman dalam bekerja. Hal ini karena banyak sekali individu di luar sana yang memiliki bakat, kemampuan, serta jaringan yang luas. Selain technical skills, political skills juga sangat dibutuhkan agar loyalitas terhadap perusahaan meningkat. Kemampuan dalam observasi baik itu terhadap pekerjaan dan rekan kerja, negosiasi, mampu memanfaatkan peluang, memiliki jaringan yang luas, serta mampu mengelola konflik merupakan beberapa cara untuk karyawan menjadi lebih loyal terhadap perusahaan.
Loyalitas yang tinggi dan didukung oleh kemampuan perusahaan membuat karyawan bekerja secara produktif, nyaman, termotivasi, dan memiliki hubungan yang baik antar individu akan membuat tujuan dari perusahaan lebih mudah tercapai, karena semuanya berkolaborasi. Persis seperti quotes pada awal artikel ini.*