Oleh:
Fita Rahmania, S. Keb., Bd.
PENGGUNA moda transportasi udara kini kembali harus menelan pil pahit. Pemberlakuan tes swab PCR sebagai syarat wajib terbang segera diberlakukan untuk seluruh tujuan penerbangan. Beberapa elemen masyarakat pun mengeluhkan hal tersebut, di antaranya karena harga tes yang mahal dan hasil tes yang hanya berlaku 2x24 jam.
Dilansir dari cnnindonesia.com, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan bahwa kewajiban tes PCR dalam penerbangan ini diterapkan karena sulitnya menjaga jarak di pesawat. Hal itu juga ditujukan untuk mencegah penularan virus corona (Covid-19) di antara penumpang pesawat.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir juga berpendapat bahwa saat ini mobilitas masyarakat sudah mulai tinggi dan menurutnya kapasitas pesawat dalam setiap penerbangan pun hampir penuh. Akibantnya, pelaksanaan physical distancing di atas pesawat akan sukar dilaksanakan.
Sekalipun harga tes PCR sudah diturunkan oleh Kemenkes, yakni tarif tertinggi tes PCR di Jawa-Bali Rp275 ribu, sedangkan di provinsi lainnya Rp300 ribu, namun nyatanya rakyat tetap menolak keras.
Dikutip dari suarasurabaya.net, terdapat lebih dari 40 ribu orang menandatangani petisi penolakan terhadap kewajiban tes reaksi berantai polymerase chain reaction (PCR) di platform Change.org sebagai syarat untuk perjalanan udara hingga Selasa (26/10/2021) siang.
Dewangga Pradityo Putra si pembuat petisi mengungkapkan, “Yang penting jangan tebang pilih. Kita di penerbangan tidak hanya masyarakat kelas atas, tapi banyak juga masyarakat menengah dan menengah ke bawah yang menggantungkan hidupnya di sektor penerbangan ini.”
Jika dilihat dari sisi kesehatan, epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman membeberkan alasan polymerase chain reaction test atau tes PCR tidak perlu menjadi syarat penerbangan bagi penumpang pesawat. Dicky menjelaskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah merekomendasikan penggunaan rapid test antigen sejak September 2020 lalu. Sebab, penelitian di Irlandia menunjukkan rapid test antigen memiliki tingkat sensitivitas mencapai 97 persen.
Seperti yang kita tahu, penerbangan memang sarana transportasi yang sudah terkenal dengan tarifnya yang mahal. Sehingga lekat sekali dengan persepsi, hanya orang “mampu” yang bisa menggunakannya. Namun, bukan berarti pengguna transportasi ini harus dianaktirikan. Pada moda transportasi lain, seperti bus dan kapal laut hanya mewajibkan tes antigen saja sebagai syarat penumpang. Tarif tes antigen di Indonesia hanya berkisar di bawah 100 ribu rupiah.
Sebenarnya, kebijakan wajibnya tes PCR sebagai syarat penerbangan ini tidak lepas dari diberlakukannya kebijakan lain yang memperbolehkan penerbangan dengan kapasitas penuh hingga membuat sulit para penumpang untuk berjaga jarak. Imbasnya, pemerintah kesulitan dalam mengontrol penyebaran virus corona dan berujung pada permintaan tes PCR sebagai upaya pencegahan. Logikanya, jikalau mereka masih khawatir dengan munculnya kasus corona baru, maka seharusnya mereka tidak gegabah dalam membuat kebijakan membolehkan kapasitas pesawat terisi seratus persen.
Kebijakan yang tumpang tindih seperti ini yang memberatkan masyarakat layaknya segera mendapat evaluasi serius. Kepentingan bisnis tidak boleh berada di atas kepentingan khalayak ramai. Tes corona pun semestinya bisa gratis dan tidak dikomersialkan. Sebab, menurunnya angka kejadian Covid-19 di negeri ini juga merupakan tanggung jawab negara.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengungkapkan bahwa ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) tes PCR di lapangan banyak diakali oleh penyedia, sehingga harganya naik berkali lipat. Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan bahwa HET PCR di lapangan banyak diakali oleh provider (penyedia) dengan istilah 'PCR Ekspress', yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam. Ia juga menambahkan, besar harapannya agar jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya serta ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan.
Urgensi dan bisnis di negeri berideologi kapitalisme memang tidak memiliki batasan yang jelas. Dalam penyelenggaraan pemerintahan misalnya, segala kebijakan yang diterapkan selalu menjadikan materi sebagai asasnya. Hal ini tentu membuatnya selalu condong pada pemilik modal dibanding rakyatnya. Selain itu, faktor ekonomi juga lebih dipentingkan daripada nyawa rakyat (kesehatan). Bisa kita lihat sekarang berapa banyak korban wafat karena Covid-19 karena fasilitas kesehatan tak mampu menampung pasien Covid-19 yang membludak dan bergejala dalam waktu bersamaan.
Sedangkan jika ditinjau dalam sistem Islam, Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan pokok setiap warga negara yang harus dipenuhi. Negara akan mengalokasikan dana untuk pelayanan kesehatan yang maksimal kepada rakyat, mulai dari sarana, prasarana, tenaga medis yang ahli, laboratorium kesehatan, hingga penelitian-penelitian di bidang kesehatan. Dengan rakyat yang sehat, kemajuan dan pengembangan di bidang lain akan bisa berjalan lancar.*