Oleh: M Rizal Fadillah
Di negeri 1001 keanehan, Indonesia saat ini menampilkan diri sebagai sosok yang duduk melamun dengan keluguan, kelucuan, dan kekeliruan. Tidak berdiri dan berlari pada kepribadian yang kokoh dalam kecerdasan, keseriusan, dan kelurusan.
Korupsi dan sogok menyogok menjadi budaya jabatan. Perizinan tidak ditandatangan jika permohonan tidak ada lampiran, laporan tidak berlanjut jika tidak ada kedekatan, palu kemenanganpun tidak diketuk sebelum jelas pembuktian.
I.
Abu Nawas menerima keluhan teman soal sulit mendapat tanda tangan dari pengambil keputusan yang tidak mau tahu tentang kedalaman masalah. Si pejabat selalu menyatakan "jangan terlalu dalam" maksudnya yang penting adalah kontribusi dan urusan segera beres.
Abu Nawas menyarankan dan sarannya dijalankan teman. Dikirim wadah bagus berisi tai kebo yang diatasnya dilapisi mentega. Setelah berada dihadapan, pejabat itu mencolek mentega tersebut, lalu merasakan lezatnya. Segera ia menandatangani sambil berujar seperti biasa "jangan terlalu dalam".
II.
Hakim mempersulit kemenangan Abu Nawas yang bersengketa tanah kebun miliknya dengan tuan tanah yang mengklaim kepemilikan juga. Sogokan tuan tanah sudah masuk ke laci meja Hakim. Dicari kesalahan dan kelemahan Abu Nawas. Ditanyakan berapa lama Abu Nawas memiliki kebun lalu pertanyaan berikut adalah berapa jumlah pohon yang ada di kebun miliknya. Tentu Abu Nawas tidak bisa menjawab atas pertanyaan Hakim yang tak terduga dan mengada ada itu.
Tuan tanah sangat merasa senang atas ketidakberdayaan Abu Nawas. Dalam hati memuji kecerdikan Hakim yang memihak pada sogokan. Dalam pembelaan, Abu Nawas bertanya pada Hakim sudah berapa lama Pak Hakim memiliki rumah yang ditinggalinya ? Lalu Abu Nawas bertanya lebih lanjut, berapa jumlah genting dari rumah Pak Hakim ?
III.
Sahabatnya mengeluh rumahnya sempit anaknya banyak. Suasana tidak menyenangkan. Abu Nawas meminta sahabatnya membeli kambing dan dipelihara di dalam rumah. Makin ruwet keadaan karena kambing mempersempit rumah. Diminta membeli satu lagi kambing lain. Kemudian dibeli dan disimpan di dalam rumah. Anak anak gelisah, istri marah marah. Rumah diacak-acak oleh dua kambing itu. Ruwet, ruwet, ruwet.
Abu Nawas menyarankan untuk menjual kembali kambing-kambing itu dan setelah dijual maka situasi kini menjadi nyaman dan mulai tertata kembali. Intervensi terhenti.
Ketika Raja tidak berpuas diri dan terus memperbesar hutang luar negeri, investasi dan tenaga kerja asing didatangkan untuk mempersempit negeri, maka intervensi pun terjadi. Mengacak-acak sumber daya alami dan insani. Kambing-kambing mengotori dan membuat gelisah dan marah ibu pertiwi.
Usir dan jual kembali kambing-kambing pengacak negeri, niscaya kita lebih mandiri, nyaman, dan tertata lagi. Negeri Abu Nawas harus diakhiri, segera kembali ke jati diri NKRI.