Oleh: Annis Miskiyyah
Setiap kali Ramadan tiba, rakyat selalu disuguhi kenaikan harga pangan. Seolah tak ada yang bisa mencegahnya. Seperti kenaikan harga daging ayam, minyak goreng dan lainnya.
Dikutip dari Liputan6.com pada hari Sabtu (12/3/2022) mendapati bahwa tiga minggu menjelang Ramadan 1443 H/2022, terjadi kenaikan harga daging ayam di sejumlah pasar di Garut. Rata-rata naik berkisar Rp1000-Rp2000 perkilogram dan sudah dua kali dalam sepekan terakhir.
Harga pangan yang terus meroket merupakan fakta yang dihadapi rakyat hari ini. Sehingga banyak orang yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Biaya hidup terus meningkat tetapi penghasilan masih dalam jumlah tetap bahkan sangat minim.
Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus selalu tersedia untuk bisa melangsungkan kehidupan yang paling dasar. Sudah sepantasnya, harga pangan ini terjangkau oleh masyarakat. Namun, di lapangan justru terjadi sebaliknya. Mengapa harga pangan selalu naik menjelang Ramadan? Adakah jurus jitu yang bisa menstabilkan harga pangan?
Sejatinya harga barang tergantung mekanisme pasar yaitu antara permintaan dan penawaran. Memang benar setiap menjelang Ramadan, permintaan masyarakat akan kebutuhan pangan meningkat. Sementara itu, ketersediaan bahan pangan di pasar kadang mengalami keterbatasan.
Pasokan bahan pangan terbatas disebabkan beberapa hal. Antara lain, berkurang bahkan tidak adanya stok pangan di sentra produksi. Baik secara alami karena belum musimnya panen, gagal panen, bencana alam atau ada hama penyakit yang menyerang. Maka, wajar ketersediaan bahan pangan menurun. Atau sebab lain yang tidak alami, seperti alih fungsi lahan pertanian untuk infrastruktur, perumahan dan pabrik industri. Juga adanya penguasaan lahan oleh korporasi besar dengan dukungan penuh dari pemerintah.
Rantai selanjutnya dari keterbatasan pangan adalah bermasalah dalam pendistribusiannya. Dari hulu sampai hilir, ada campur tangan kartel perusahaan besar yang memonopoli barang dan harga. Sehingga bisa terjadi penimbunan agar barang langka di pasar. Kemudian, barang dikeluarkan dengan harga tinggi. Sebagaimana yang terjadi pada minyak goreng. KPPU mengungkapkan 46,5% pangsa pasar minyak goreng dalam negeri dikuasai empat produsen besar. Mereka terintegrasi dari perkebunan sawit, pengolahan CPO sampai produsen minyak goreng.
Pada tahun 2021, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperoleh data produksi minyak sawit mentah 46,88 juta ton. Kementerian Perindustrian mencatat realisasi produksi minyak goreng sawit mencapai 20,22 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri hanya 5,07 juta ton, pada tahun yang sama. Bahkan Indonesia menduduki peringkat pertama produsen minyak sawit di dunia.
Adanya salah kelola oleh negara menyebabkan terjadinya ekspor minyak sawit hingga 415 juta liter sejak 14 Februari 2022. Juga penggunaan minyak sawit mentah untuk biodiesel di dalam negeri. Jadi pemerintah membeli minyak sawit dari pengusaha sawit dengan harga internasional yang jauh lebih mahal. Pemerintah juga terakhir mematok harga minyak goreng dengan sangat tinggi, sehingga rakyat banyak yang tidak mampu membeli.
Sedangkan tindakan pemerintah daerah selalu melaporkan bahwa pasokan pangan untuk Ramadan dan Idul Fitri aman. Khusus di Kabupaten Garut sendiri, Bupati sampai melakukan inspeksi mendadak ke gudang. Padahal, Wakil Bupati pernah mengalami ikut antri membeli minyak goreng.
Demikianlah harga pangan di dalam negeri terus meningkat. Bahkan rakyat banyak yang tidak mampu membelinya. Karena sistem saat ini, lebih berpihak pada pengusaha dan pemodal besar. Apalagi mereka sudah jelas mendapatkan dukungan dari penguasa oligarki. Selain itu, praktik penimbunan juga tidak ada sanksi, keika diketahui yang menimbun pengusaha sawit kelas kakap. Sistem kapitalis sekuler jadi biang penyebab dari tidak stabilnya harga pangan di Ramadan dan Idul Fitri.
Hal berbeda dengan sistem Islam kafah ketika diterapkan dalam kehidupan. Sistem ekonomi Islam akan mengatur agar mekanisme pasar berjalan alami. Jika pasokan terbatas, pemerintah hanya akan melakukan operasi pasar. Yaitu mendatangkan barang dari wilayah lain, hanya sampai terjadi stabilitas harga pangan.
Kemudian memastikan bahwa kebutuhan pangan dalam negeri tercukupi. Tidak langsung mengambil keputusan impor atau ekspor. Tidak pula melakukan pematokan harga dasar dan harga tertinggi, karena termasuk kezaliman penguasa. Selanjutnya, memberikan sanksi tegas berupa takzir pada pelaku penimbunan, kecurangan dan permainan harga oleh kartel.
Bahkan dari hulunya akan memberlakukan pengaturan kepemilikan umum dikelola oleh negara. Tidak akan menyerahkan kepada swasta apalagi asing dan aseng. Hasil dari pengelolaan kepemilikan umum akan masuk ke baitul mal. Rakyat akan dapat menikmati hasilnya dengan biaya produksi semurah-murahnya atau bahkan gratis.
Hingga negara juga yang harus memastikan setiap individu warganya terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Karena pemimpin dalam Islam menjadi penanggung jawab dari rakyatnya di hadapan Allah. Sesuai sabda Rasulullah saw. bahwa Imam (khalifah) adalah yang pengurus urusan rakyatnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusannya tersebut.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita campakkan kapitalisme sekuler. Kemudian, kaum muslimin bersama melanjutkan kehidupan Islam. Sehingga, stabilitas harga pangan setiap Ramadan dan Idul Fitri terealisasi, bukan hanya sekadar angan. Tentu saja semua karena penerapan sistem Islam kafah dalam naungan khilafah. Inilah yang wajib kita perjuangkan. Wallahu a'lam bishshawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google