View Full Version
Kamis, 26 May 2022

Negara Abai, Keimanan Tergadai

 

Oleh: Ummu Nada 

Islam adalah agama yang paling sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan hati. Bagi seorang muslim keberkahan hidupnya ditentukan oleh seberapa besar ketaatannya kepada Allah SWT. Semakin taat, hidupnya akan semakin berkah dan bahagia karena ridha Allah dalam genggaman.

Namun tidak demikian dengan apa yang terjadi di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut). Sejumlah warga dikabarkan keluar dari agama Islam (Murtad) hanya karena iming-iming dunia yang tak seberapa ( detikcom, 15/05/22)

Sangat miris, ditengah kehidupan yang serba tidak menentu seharusnya Islam menjadi sandaran yang kokoh, ini malah mencari sandaran lain yang rapuh. Dalam salah satu firmanNya (QS.29 : 41) Allah swt membuat perumpamaan orang yang berlindung kepada selain Allah seperti laba-laba yang membuat rumah, sangat mudah koyak, jangankan kena angin, disentuh saja sudah robek. Itulah gambaran orang yang menukar agamanya dengan sekerat tulang dunia, amat sangat rugi.

Pemurtadan yang terjadi hari ini tidak ubahnya pemurtadan pada era Nabi Saw, hanya beda modus. Dikisahkan bahwa sahabat Bilal Bin Rabbah dipaksa murtad oleh majikannya Sumaiyah bin Khalaf dengan diperlakukan diluar batas kemanusian. Bilal ditelentangkan di atas padang pasir yang panas, ditindih dengan batu besar dan dipukuli namun upaya majikan biadab ini sia-sia, Bilal dengan cerdas dan lantang tetap pada keimanannya dengan mengucapkan ahad, ahad.

Korban pemurtadan yang lain adalah Amar Bin Yasir, Ia dipaksa kafir Quraisy untuk menanggalkan keimanannya, bila tidak, diancam akan dibunuh sebagaimana ayah dan ibunya yang dibunuh di depan mata kepalanya sendiri, namun Amar Bin Yasir tetap pada keimanannya.

Beda zaman, beda pula cara pemurtadan tapi prinsipnya sama, keluar dari Agama Islam. Pemurtadan hari ini di picu oleh beragam faktor. Faktor internal dan eksternal. Kedua faktor ini saling melengkapi sehingga sangat mudah seseorang bergonta-ganti agama sesuai kepentingannya.

Faktor internal yang nyata terlihat pada masyarakat saat ini adalah, rendahnya keimanan, jauhnya umat dari ajaran Islam dan minimnya tsaqofah Islam. Lemahnya pondasi keimanan menyebabkan iman hanya seharga sembako. Sembako dan janji pekerjaan membuat tergiur sekelompok orang ini untuk menggadaikan keimanannya, tanpa lagi berpikir panjang bahwa yang diperbuatnya akan menjadi penyesalan yang tak berujung. Minimnya tsaqofah Islam pun mendukung tercerabutnya akar keyakinan ini dengan mudah, tak perlu siksaan fisik sebagaimana yang dialami sahabat Bilal bin Rabbah dan Amar bin Yasir. Cukup hanya dengan beberapa keping koin dunia terkoyaklah keimanan kepada Allah swt sebagaimana rumah laba-laba yang sangat mudah koyak.

Umat hari ini sangat jauh dari ajaran Islam, jangankan membaca kitab gundul, bahasa arab pun tak paham. Padahal sholat menggunakan bahasa arab, alquran berbahasa arab, hadist-hadist Nabi Saw berbahasa arab dan bejibun tsaqofah Islam pun berbahasa arab. Semua faktor internal ini menyebabkan keimanan berada di titik terendah. Tidak perlu bersusah payah untuk memurtadkan, cukup dengan janji manis kesejahteraan semu, aqidah ini sudah tumbang.

Faktor eksternal tak kalah kuatnya, ada upaya masif dan sistemik dari suatu kelompok untuk menggiring umat yang sudah lemah ini pada keyakinan lain yang menyesatkan. Kelompok ini gencar menawarkan atribut dunia, pekerjaan, uang dan makanan untuk menggoyahkan aqidah yang telah rapuh.

Umat pun dibuat takut dengan ajaran Islam, bahasa arab dikonotasikan bahasa radikal sehingga umat enggan mempelajarinya. Tontonan pun tak bisa menjadi tuntunan sehingga umat semakin lemah. Kondisi ini sangat menguntungkan upaya pemurtadan. Tidak perlu memutar otak untuk mengalihkan keyakinan umat, sekali tepuk melayanglah aqidahnya.

Jika problem ini dirunut ke pokok pangkal masalahnya, tergambarlah bahwa semua ini adalah buah diterapkannya sistem sekularisme, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Efeknya, berimbas pada semua aspek kehidupan .  Jauhnya umat dari ajaran Islam merupakan konsekuensi logis diberlakukannya pendidikan yang mengabaikan ketaqwaan individu.

Sedangkan tingginya angka kemiskinan adalah buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme neoliberal.  Potret buram kesejahteraan rakyat menunjukkan kegagalan negara mengurus warganya. Harta hanya beredar di kalangan orang yang dekat dengan kekuasaan, distribusi kekayaan pun tidak merata. Yang kaya semakin kaya dengan beragam fasilitas dari negara, sedang yang miskin semakin terpuruk. Wajar jika orang mudah tergiur menukar agama dengan segepok uang, karena urusan perut tidak bisa diganggu gugat. Benarlah sabda Rasul Saw, bahwa kefakiran dekat dengan kekufuran.

Akidah sekularisme melegalkan kebebasan beragama, siapapun boleh berpindah agama sesukanya. Bahkan kebebasan ini dijamin oleh Undang-undang. Pemurtadan sistemik tidak akan bisa dihentikan selama sistem sekuler diterapkan di negeri ini. Upaya masif dan terorganisir ini tidak bisa dilawan secara individu atau kelompok, butuh negara yang memberlakukan syariat Islam secara kaffah dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga agama.

Satu-satunya bentuk pemerintahan yang mampu mencegah dan menghentikan segala bentuk pemurtadan adalah sistem yang menjadikan Akidah Islam sebagai asas dalam menjalankan roda kekuasaan. Sistem yang mempunyai visi akhirat, ridha Allah menjadi tujuan akhir dan utama. Pemimpin dalam sistem ini sadar bahwa akan ada hari pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, maka Ia tidak akan teledor menjaga akidah umat. Dengan demikian pemurtadan sistemik tidak akan mendapatkan ruang di sistem ini. Wallahu a’lam bisshawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google/trenopini


latestnews

View Full Version