Oleh: Wike Wijayanti
(Guru Pendidikan Anak Usia Dini)
Polusi udara tengah menjadi buah bibir di sekitar Ibu Kota DKI Jakarta. Sebab bertepatan dengan dihentikannya kebijakan memakai masker, polusi udara di Jabodetabek hari ini terpantau menembus 40 kali lipat di atas batas guideline Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kendati tak semengerikan Jabodetabek, lokasi lainnya di Indonesia juga dilanda kondisi kualitas udara buruk non-stop, di antaranya di Surabaya, Bandung, Bandung Barat, hingga Cimahi (Pikiran-Rakyat.com).
Di Jawa Barat, Bandung terpantau sempat mencapai Indeks kualitas udara di angka 67, Bandung Barat sempat mencapai 92, dan Cimahi di angka 104. Sebelumnya, kebijakan copot masker di ruang publik ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Dinas Perhubungan (SE Dishub) Provinsi Jakarta Nomor 26 Tahun 2023 tentang Imbauan Pelaksanaan Protokol Kesehatan di dalam Sarana dan Prasarana Angkutan Umum pada Masa Transisi Menuju Endemi (Pikiran-Rakyat.com).
Keputusan tersebut berkaitan dengan perkembangan pengendalian terhadap Covid-19 yang semakin baik. Beralih dari proses menuju endemi yang bisa dikatakan sesuai target, permasalahan kualitas udara yang buruk tampaknya luput dari perhatian pemerintah. Parahnya ini bukanlah persoalan sepele yang bisa diabaikan begitu saja, karena jika dibiarkan dampaknya akan mencapai taraf bahaya bahkan sampai merenggut nyawa. Maka hal ini perlu dikritisi dimana letak kesalahannya.
Usut punya usut 2 daerah yang menjadi salah satu korban buruknya udara yakni KBB dan Cimahi merupakan daerah konsentrasi industri dan pembangunan yang begitu massif dikembangkan. Sebut saja Underpass Sriwijaya, kereta cepat Jakarta-Bandung, Destinasi Wisata Cimenteng, dan pabrik-pabrik industri lainnya. Nyatanya keberadaan pembangunan secara massif ini tak ubahnya memberikan manfaat kepada masyarakat malah sebaliknya tidak semua orang bisa menikmati hasil pembangunan tersebut yang ada kerusakan demi kerusakan harus diterima rakyat dengan lapang dada. Seperti yang terjadi baru-baru ini dikatakan bahwa kadar polusi udara Particulate matter (PM) 2.5 melebihi ambang batas aman dari WHO yakni 25 mikrogram/m3 dalam durasi waktu 24 jam.
Diketahui, Particulate matter (PM) 2.5 adalah partikel padat polusi udara berukuran kurang dari 2,5 mikrometer atau 36 kali lebih kecil dari diameter sebutir pasir. Ukuran PM 2.5 yang sangat kecil membuat partikel polusi ini tidak dapat disaring oleh tubuh kita, artinya lambat laun akan memberikan efek buruk pada tubuh. Penyumbang polusi terbesar adalah aktivitas bermotor dan industri. Semakin parahnya polusi udara adalah bukti bahwa negara-negara di dunia tidak seberapa peduli terhadap kondisi lingkungan. Berbagai aktivitas dilakukan oleh manusia tanpa memperhatikan dampak jangka panjang. Orientasi satu-satunya hanyalah keuntungan materi sesaat saja. Padahal, ketidakpedulian terhadap dampak lingkungan akan merugikan manusia di masa yang akan datang, bahkan kerugiannya akan jauh lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh.
Apabila kita cermati, akar masalah buruknya kualitas udara saat ini adalah terus meningkatnya emisi gas sisa pembakaran, sementara tidak disediakan sebuah aturan sistematis untuk menanggulangi dampak negatifnya. Tujuan utama manusia dalam memanfaatkan alam hanyalah tentang keuntungan materi. Inilah sebuah keniscayaan dari penerapan kapitalisme.
Semua hal hanya diukur dari segi keuntungan pribadi semata. kaum pemilik modal besar tak segan merusak lingkungan demi meraup pundi-pundi uang. Sedang dampak buruk lingkungannya dirasakan oleh semua masyarakat, bahkan yang paling menderita pasti adalah masyarakat kalangan bawah, artinya, selama kapitalisme masih mengusai dunia, selama itu pula persoalan polusi udara dan dampaknya akan terus melanda. Kapitalisme harus dicabut dan digantikan oleh sistem yang sempurna yaitu sistem Islam.
Dalam konsep Islam, manusia tidak terlepas dari alam. Kelangsungan makhluk hidup dibumi sangat bergantung bagaimana manusia berlaku adil terhadap alam. Pengelolaan alam demi kepentingan manusia harus tetap mengedepankan aturan sebagaimana tertuang dalam syariat. Dalam sistem Islam, Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki oleh negara harus diolah sendiri. Tidak akan diserahkan kepada swasta atau asing yang berpotensi besar menimbulkan ekploitasi besar-besaran tanpa diimbangi perbaikan lingkungan. Dengan demikian SDA benar-benar mampu memakmurkan dan mensejahterakan rakyat. Bukan seperti sekarang, Indonesia kaya SDA namun rakyatnya mayoritas miskin. Hasil kekayaan alam hanya dinikmati elit kaum kapital. Sedangkan rakyat kecil hanya mendapat dampak buruk rusaknya lingkungan.Islam juga melarang pemanfaatan alam secara berlebihan
Islam adalah sebuah sistem yang sempurna. Mampu memberi solusi bagi seluruh persoalan manusia. Dengan menerapkan sistem Islam niscaya kualitas udara akan terjaga dan seluruh umat manusia di muka bumi ini akan hidup dalam keberkahan. Wallahu’alam Bishawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google