View Full Version
Ahad, 16 Jul 2023

UKT Terus Naik, Bikin Panik?

 

Oleh: Idea Suciati*

 

Siapa sih yang tidak ingin bercita-cita tinggi bisa kuliah di Perguruan Tinggi? Tapi nyatanya sekarang cinta-cita tinggi itu sebanding dengan biayanya yang makin tinggi. Sejak 2013, banyak mahasiswa yang mundur karena tidak sanggup membayar Uang kuliah tunggal (UKT).

Hal ini dikeluhkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Unpad misalnya. Mereka meminta penjelasan kampus yang menaikkan UKT diam-diam( tempo.co, 7/23). BEM Universitas Indonesia (UI) meminta kampus berintrospeksi terkait banyaknya keluhan mahalnya UKT (republika.com,6/7/23) .Sungguh menyedihkan mimpi harus pupus gara-gara tersandung masalah UKT yang terus naik.

Naiknya UKT tidak terlepas dari komersialisasi pendidikan. Hal ini ditandai dengan berubahnya status Perguruan Tinggi Negeri menjadi badan hukum (PTN -BH) . Dengan status ini, PTN mendapatkan otonomi boleh menentukan UKT sendiri. Hanya saja status ini, bisa disalahgunakan oleh PTN untuk meraih keuntungan dari layanan pendidikan. Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji kebijakan penentuan UKT ini perlu dikaji ulang,banyak yang tidak masuk akal,  tapi Universitas tidak mau terbuka soal ini.

Mahalnya biaya pendidikan tentu akan membuat panik dan semakin membebani rakyat. Data dari Kompas menyebutkan bahwa rata-rata kenaikan biaya pendidikan per tahunnya sekitar 15—20%, sedangkan peningkatan penghasilan masyarakat Indonesia hanya sekitar 5,3%. Ini pasti membuat orang tua sulit untuk membiayai kuliah anak-anaknya.

Akibatnya, semakin banyak lulusan  SMK /SMA yang tidak mampu melanjutkan  ke tingkat perguruan tinggi. Menurut Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK Agus Sartono, dari 3,7 juta pelajar lulusan SMA/SMK/MA, hanya 1,8 juta yang melanjutkan ke PTN/PTS. Ini karena biaya untuk mengenyam pendidikan di PTN tercatat mencapai Rp 14,47 juta.

Jika kampus menjadi komersil, sehingga banyak rakyat tak mampu mengenyam, bagaimana nasib generasi? Padahal lulusan-lulusan perguruan tinggi menjadi harapan lahirnya pemimpin-pemimpin di masa depan?

Inilah wajah pendidikan yang dilahirkan dari sistem sekuler kapitalis. Pendidikan dianggap sebagai komoditas untuk dijual belikan  bukan sebagai layanan yang wajib diberikan negara pada rakyatnya

Hal ini sangat berbeda dengan wajah pendidikan dalam islam. Islam menetapkan bahwa pendidikan adalah salah satu layanan pokok bagi rakyat yang harus disediakan oleh negara. Ini ditunjukkan dengan kebijakan Nabi SAW ketika menjadi kepala negara, saat menjadikan kaum kafir Quraisy sebagai tawanan, maka tebusan pembebasan mereka adalah dengan mengajari kaum Muslim baca tulis (Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, Juz I/).

Zaman kekhalifahan, para khalifah telah terbukti dalam.sejarah memberikan layanan pendidikan yang murah dan berkualitas. Misalnya PendidikaN tinggi di zaman Kekhalifahan Abbasiyah adalah Bait Al hikmah di Baghdad. Selain berfungsi sebagai pusat penerjemahan, juga digunakan sebagai pusat akademis, perpustakaan umum dan observatorium (Philip K Hitti, History of the Arabs, 514-515). Setelah itu, baru muncul Akademi Nizamiyah yang dibangun antara tahun 1065-1067 M. Akademi yang kemudian dijadikan oleh Eropa sebagai model perguruan tinggi mereka (Reuben Levy, A Baghdad Chronicle, Cambridge: 1929,193).

Setiap rakyat bisa mengenyam pendidikan sampai ke level tertinggi. Rakyat tidak akan panik dan bingung memikirkan biaya pendidikan yang tinggi. Semua biaya riset dan pendidikan dibiayai oleh kas negara dari hasil pengelolaan sumber daya alam. Hasil lulusannya pun berkualitas dan melahirkan banyak penemuan yang bermanfaat bagi umat. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

*Penulis adalah Pembina Komunitas Muslimah Hijrah Bareng @with.muhiba

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version