View Full Version
Selasa, 18 Jul 2023

Menyoal Pembangunan Bandara IKN, Mencaplok Tanah Warga?

 

Oleh: Dewi Royani, MH

Dosen dan Pegiat Literasi

 

Tidak ada asap jika tidak ada api. Pembangunan proyek Ibu Kota Negara (IKN) kembali menuai penolakan.

Dilansir dari cnnidonesia.com, ratusan warga Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim), melakukan protes besar-besaran karena Bank Tanah mengambil alih tanah mereka untuk membangun Bandara Naratetama, Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Dalle Roy Bastian, salah satu warga menuturkan, pembangunan bandara berdampak pada lebih dari 1.000 warga. Dalle mengatakan, warga harus pindah dari tanah yang diambil alih Bank Tanah. (cnnIndonesia.com,21/6/2023)

Warga menolak menyerahkan tanahnya kepada Bank Tanah karena patok dipasang tanpa sosialisasi terlebih dahulu dan janji pemerintah tahun lalu untuk memberikan tanah untuk reforma agraria tidak dipenuhi. Apabila ditelisik kontroversi lahan ini berkaitan dengan keberadaan Bank Tanah, bukan hanya pembangunan bandara di IKN. Bank Tanah lahir sebagai hasil dari RUU Pertanahan. Materinya masuk dan di sahkan melalui UU Cipta Kerja pada Oktober 2020. RUU Pertanahan sendiri sudah kontroversial sejak awal, karena dipandang lebih menguntungkan investor dan melemahkan posisi masyarakat dalam konflik agraria.

Bank Tanah merupakan badan khusus yang mengelola tanah serta berfungsi untuk melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah. Pembentukan Bank Tanah seolah-olah saat ini kita kesulitan untuk menyediakan tanah. Pertanyaannya untuk siapa tanah yang dimaksudkan? Kepentingan publik? Bukankah yang disebut  kepentingan publik dalam UU Cipta Kerja lebih cenderung tertarik pada proyek korporasi seperti KEK, kawasan pariwisata, dan proyek prioritas presiden.

Pada akhirnya, fungsi Bank Tanah adalah untuk membantu mempercepat perizinan dan persetujuan bisnis. Dengan demikian, setiap tanah yang dikumpulkan di Bank Tanah dapat diberi status Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Di dalam sistem demokrasi kapitalistik, pihak yang memiliki kemampuan untuk menggunakan HPL tidak lain adalah para kapital.

Proyek IKN sejak awal dipandang sebagai proyek yang dipaksaan. Banyak bukti bahwa pembangunan proyek menelan tanah warga. Meski diprotes warga, akan tetapi seolah tidak dihiraukan oleh penguasa. Ini adalah konsekuensi logis jika paradigma kekuasaan didominasi oleh kapitalisme. Sistem ini tidak mengutamakan kepentingan rakyat sebagai prioritas kebijakan. Dalam sistem demokrasi, kebijakan  penguasa dipengaruhi oleh keuntungan dan kerugian korporasi. Oleh karena itu, jika pembangunan dianggap menguntungkan, maka proyek harus dilaksanakan terlepas dari bagaimana proyek itu dilaksanakan, sekalipun harus mencaplok tanah rakyat.

Berbeda ketika umat berada dalam negara Khilafah. Dalam Islam, prioritas pembangunan berorientasi pada visi pelayanan umat. Paradigma keberadaan negara di tengah rakyat adalah sebagai raa’in (pelayan). Nabi Saw. bersabda, “Imam yang diangkat untuk memimpin manusia itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)“ (HR Bukhari dan Muslim)

Paradigma ini mempengaruhi kebijakan politik seluruh negeri. Pembangunan akan menitikberatkan pada apa yang lebih mendesak untuk memenuhi kebutuhan dan memfasilitasi kebutuhan rakyat. Misalnya, memfasilitasi fungsi sosial atau hal-hal yang berkaitan dengan ibadah masyarakat. Negara membangun infrastruktur sesuai prioritas. Infrastruktur yang mendukung pendidikan, kesehatan, jalan dan semua yang mendukung kegiatan ekonomi masyarakat adalah prioritas utama. Fasilitas umum yang tidak mendesak dibangun setelah pembangunan fasilitas utama.

Konsep pembangunan yang demikian menjadikan setiap proyek berpihak pada kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Seandainya harus menggunakan tanah rakyat, maka mereka akan mendapat ganti untung yang sepadan.

Proses pembangunan ganti untung tentunya membutuhkan dana yang besar.

Dalam kitab Al-amwal fi Dawlah Al-khilafah karya al-Allamah syekh ‘Abd al-Qadim Zallum, dijelaskan strategi keuangan negara untuk pembangunan infrastruktur yaitu:

Pertama, meminjam negara asing, termasuk lembaga keuangan global. Strategi ini jelas keliru, dan tidak diperbolehkan oleh syariah. Ini menciptakan celah bagi negara asing, lembaga keuangan asing atau global untuk mendikte dan mengontrol negara.

Kedua, memproteksi beberapa kepemilikan umum, seperti minyak, gas dan tambang. Pendapatannya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang tepat untuk memenuhi pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Ketiga, mengambil pajak dari rakyat. Strategi ini hanya boleh diterapkan jika Baitul Mal tidak ada kas yang dapat digunakan. Ini juga hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana penting dan hanya diambil dari umat Islam, laki-laki yang mampu.

Begitulah strategi negara Khilafah dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur. Negara tidak akan menzalimi rakyat hanya demi pembangunan. Justru Pembangunan dilakukan untuk kepentingan rakyat. Wallahua'lam bishawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi : Google


latestnews

View Full Version