View Full Version
Ahad, 03 Sep 2023

Bacaleg Eks Narapidana Korupsi, Pantaskah?

 

Oleh: Fitri Suryani, S.Pd

 

Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis 12 nama calon anggota legislatif (caleg) mantan terpidana korupsi yang akan ikut berkontestasi dalam pileg 2024 mendatang.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan temuan ICW menunjukan, setidaknya terdapat 12 nama mantan koruptor dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal caleg, baik tingkat DPR RI maupun DPD RI, yang dipublikasikan pada 19 Agustus 2023 lalu (Kompas.com, 25/08/2023).

Hal itu pun berkat putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. Dalam putusan itu, MA mengabulkan gugatan Lucianty atas larangan eks napi koruptor nyaleg yang diatur Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018.

MA menuliskan sejumlah pandangan saat mencabut larangan itu. Beberapa alasan di antaranya mengaitkan larangan itu dengan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peraturan (Cnnindonesia.com, 24/08/2022).

Perkara tersebut tentu begitu menyesakkan dada. Bagaimana tidak, kebolehan mantan terpidana korupsi yang akan ikut berkontestasi di satu sisi seolah menunjukkan tak ada lagi rakyat yang lebih layak  mengemban amanah dalam mengurusi urusan rakyat.

Di sisi lain, menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut. Mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Sebagaimana menurut LPM FE UI, modal menjadi caleg cukup variatif, yakni Rp 1,15 miliar - 4,6 miliar untuk calon anggota DPR RI dan Rp 250 - 500 juta untuk calon anggota DPRD Provinsi (Cnbcindonesia.com, 24/08/2023). Sungguh nilai yang fantastis.

Pun hal ini seakan mengonfirmasi bahwa orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realita demokrasi. Kekuasaan seolah sulit dijangkau tanpa adanya dukungan modal yang besar.

Karenanya tak heran pula, jika masyarakat merespon soal kebolehan mantan narapidana kasus korupsi menjadi  calon anggota legislatif pada pemilu 2024 mendatang. Mereka mempertanyakan kegunaan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), karena selama ini SKCK sering menjadi salah satu syarat melamar pekerjaan.

Kebolehan tersebut juga memunculkan kekhawatiran akan risiko terjadinya korupsi kembali. Mengingat sistem hukum yang ada di negeri ini belum mampu memberikan sanksi yang menimbulkan efek jera. Pun telah menjadi rahasia umum bahwasanya hukum bisa dibeli.

Berbeda dengan islam, yang mana mensyaratkan wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar amanah dalam menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat. Karena sungguh pertanggungjawaban seorang penguasa sangatlah berat di akhirat kelak, jika mereka lalai.

Sebagaimana kisah Khalifah Abu Bakar yang takut jabatan. Dalam pidatonya di hadapan kaum muslim ia mengatakan, “Demi Allah, saya tidak pernah berambisi untuk menjadi pemimpin, saya pun tidak punya keinginan untuk itu, saya juga tidak pernah meminta kepada Allah untuk dijadikan pemimpin baik saat sendirian maupun di keramaian, akan tetapi saya  tidak ingin terjadi fitnah. Dengan demikian, saya bukannya senang dengan jabatan ini, saya justru merasa diberi beban yang amat berat yang mungkin tidak sanggup dipikul, kecuali dengan adanya pertolongan Allah.”

Selain itu, sistem hukum dalam islam sangat tegas dalam menjerakan, sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertaubat. Terlebih dalam islam sanksi berfungsi sebagai pencegah orang tersebut melakukan lagi perbuatannya dan orang lain yang memiliki keinginan serupa. Pun sanksi berfungsi sebagai penebus dosa.

Dengan demikian, sungguh mencari pemimpin yang bertakwa dalam sistem saat ini tidaklah mudah, sebab kondisi yang ada sulit mewujudkannya. Karenanya, mendapati pemimpin seperti Khalifah Abu Bakar, hanya mungkin terealisasi jika aturan-Nya diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sebab pemimpin dalam islam dorongannya iman dan takwa. Wallahu a’lam. (rf/voa-islam.com)

ILustrasi: Google


latestnews

View Full Version