View Full Version
Selasa, 12 Sep 2023

Mantan Napi Bisa Jadi Bacaleg, Ironi Demokrasi!

 

Oleh: Lisa Oka Rina

Warganet ramai-ramai merespon kabar soal diperbolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Mereka mempertanyakan guna SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Seperti diketahui izin soal narapidana menjadi caleg tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g.

Dalam pasal tersebut, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD.

Jika mantan koruptor ingin mendaftar, hanya diwajibkan mengumumkan kepada publik terlebih dahulu bahwa dirinya pernah dihukum penjara dan telah selesai menjalani hukuman

Jelang Pemilu 2019 lalu, KPU  sebetulnya pernah membuat peraturan yang secara gamblang melarang mantan napi korupsi mendaftar sebagai calon anggota DPR, DPRD serta DPD.

Akan tetapi, syarat yang dibuat KPU itu digugat ke Mahkamah agung (MA). Pembatasan hak politik bagi mantan napi korupsi yang digagas KPU lalu sirna karena MA membatalkan aturan tersebut. (cnnindonesia.com 22/08/2023)

Realita ini sungguh miris, seolah-olah tidak ada lagi rakyat yang layak untuk mengemban amanah, karena ada beberapa orang bekas napi yang maju untuk menjadi Bacaleg.

Di sisi yang lain, menunjukkan kekuatan modal adalah senjata utama dan pertama bagi seseorang, mengingat untuk menjadi Bacaleg, dibutuhkan dana yang sangat besar. Orang baik tanpa dukungan modal besar, tidak mungkin bisa mencalonkan diri. Dan itulah fakta di dalam alam demokrasi yang diterapkan di negeri ini, sebagai buah kehidupan sekuleris yang memisahkan peran agama dalam kehidupan, termasuk berpolitik, sehingga politik pun kering dari nilai-nilai agama/ruhiyah. Orientasi pejabat dalam memandang jabatan itu, bukan lagi amanah dan ibadah yang berpahala besar di sisi Allah. Tujuan yang ada hanyalah untuk meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya melalui kedudukan dan kekuasaannya.

Kebolehan mantan napi menjadi bacaleg, menghantarkan kekhawatiran yang besar, bisa terulang lagi korupsi di tengah pejabat negeri ini. Mengingat betapa lemahnya sistem sanksi yang ada di negeri ini. Hukum yang didapatkan hanya berupa penjara dan masih memungkinkan mendapatkan  remisi, mulai dari remisi hari raya, remisi tahun baru, juga remisi hari kemerdekaan. Sehingga nyatanya malah bisa mengurangi masa tahanan para pelaku korupsi. Sampai-sampai gaung pernyataan "hukum bisa di beli", sudah biasa diketahui khalayak. Sehingga pada akhirnya, sanksi yang diberikan pun, tidak menimbulkan efek jera kepada pelaku korupsi.

Hal ini bertolak belakang ketika menjadikan syariat islam sebagai satu-satunya sumber hukum serta landasan kebijakan yang akan di ambil dan diterapkan oleh negara islam yakni Khilafah.

Syariat islam kaffah akan mencegah lahirnya individu yang gemar melakukan kemaksiatan. Hal ini ditempuh dengan jalan pengaturan sistem pendidikan islam yang berasas aqidah islam, yang akan mencetak generasi yang memiliki kepribadian islam, yakni pola pikir dan pola jiwanya berlandaskan aqidah islam. Karena merekalah yang akan menjadi penerus kepemimpinan islam dan membangun peradaban islam yang unggul dan gemilang kelak di masa depan.

Islam telah menunjukkan cara mencegah hingga mengatasi munculnya kasus korupsi. Mekanisme inilah yang akan diterapkan oleh Negara Islam (Khilafah), mulai dari sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah, perhitungan kekayaan pejabat negara, berjalannya pengawasan masyarakat ketika melihat pelanggaran hukum syariat serta penerapan dan pemberian sanksi yang tegas terhadap pelaku korupsi.

Pemberian sanksi potong tangan bagi pencuri sesuai firman Allah SWT "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (Q.S Al Maidah ayat 38)

Korupsi sama dengan mencuri, karena mengambil milik orang lain tanpa seizinnya. Maka hukum syari'ah mengatur, sanksi yang berikan adalah potong tangan, dengan kadar pencurian yang melebihi 1/4 dinnar. Dan yang memutuskan sanksi tersebut adalah qadhi mahzalim. Karena qadhi mahzalim adalah pihak yang dilegalkan oleh Allah sebagai pihak yang memutuskan perkara/sengketa yang terjadi antara umat/masyarakat dan pejabat negara.

Hukuman syari'ah ini, kelak akan menjadi penebus kesalahan pelaku di akhirat (jawabir), sehingga dia tidak akan mendapatkan balasan di akhirat. Dan sanksi syari'ah ini, juga berfungsi sebagai zawajir yakni pencegah agar orang lain tidak melakukan hal serupa.

Khilafah termasuk mengatur syarat, wewenang dan hak majelis umat sebagai pihak yang mewakili umat/rakyat dalam melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkam).

Terkait pemimpin, di dalam salah satu kitab fiqih islam, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah karangan Imam Al-Mawardi telah menjelaskan kriteria umum yang wajib dimiliki seorang pemimpin, yakni Kepala Negara adalah laki-laki, muslim, baligh, berakal, merdeka (bukan budak/berada dalam kekuasaan pihak lain), adil (bukan orang fasiq/ahli maksiat), dan mampu (punya kapasitas untuk memimpin). Salah satu kriteria yang ditetapkan adalah harus seorang muslim. Hal ini berarti, mereka adalah orang yang beriman dan bertakwa. Sehingga mereka akan amanah sebagai penyambung lidah rakyat. Ketujuh kriteria tersebut dikenal dengan syarat in'iqaad (pengangkatan), yang tentu saja berlandaskan dari al-qur'an dan hadits.

Hukum syariah juga telah menetapkan kriteria seorang pemimpin harus adil, yang berarti orang tersebut bukan fasiq atau ahli maksiat atau orang orang yang zholim.

Kepala negara yang telah terpilih melalui mekanisme yang ditetapkan negara, akan diberi wewenang untuk menunjuk kepala daerah, baik wali (penguasa/pejabat pemerintah untuk wilayah propinsi) maupun 'amil (pemimpin wilayah selevel kotamadya).

Maka khalifah yang terpilih dengan syarat yang ketat tadi, pasti akan memilih dan mengangkat figur yang bertakwa, amanah dan kapabel.

Adapun wakil rakyat dalam khilafah, hal itu dipresentasikan oleh Majelis Umat. Namun Majelis Umat bukanlah lembaga legislatif seperti saat ini kita temui di alam demokrasi. Syara telah menetapkan, mereka sebagai wakil rakyat dalam konteks syura (memberi masukan kepada Khalifah) dan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkam), serta syakwa (komplain).

Oleh karena itu, anggota majelis umat ini terdiri dari pria, wanita, muslim dan non-muslim. Maknanya siapapun yang memiliki kewarganegaraan Khilafah, berhak untuk menjadi anggota majelis umat. Dan keberadaan anggota majelis umat itu haruslah menjadi representatif/perwakilan masyarakat dan menjadi represntatif dari suatu kelompok. Sehingga dari suasana islam kaffah inilah, kita bisa menemukan pemimpin yang bertakwa dan amanah. Wallahu'alam bisshowwab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version