View Full Version
Kamis, 14 Sep 2023

Kekeringan Mengancam Ngawi sebagai Bumi Lumbung Padi

 

Oleh: Sunarti

Ibarat jatuh di lubang yang sama, begitu kiranya peribahasa yang tepat untuk menyebut bumi Ngawi yang kaya akan penghasilan padi dan bahkan menjadi lumbung padi nasional ketika menghadapi musim kemarau. Bagaimana tidak, hampir tiap tahun, di bumi Ngawi selalu mengalami gagal panen dan krisis air bersih akibat dari musim kemarau yang panjang. Kekeringan melanda sebagian besar wilayah Ngawi, termasuk lahan pertanian dan perkebunannya.

Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2020 di Kabupaten Ngawi sekitar 50.715 hektar. Sisi lain dari hasil produksi pertanian, terutama padi, Ngawi menjadi penghasil tertinggi di tingkat Nasional. Berdasarkan data resmi dari BPS Pusat. Produksi gabah Kabupaten Ngawi sejak tahun 2021 yakni mencapai 906.817 dalam tiga kali musim tanam. Menurut bupati Ngawi Oni Anwar H, yang dulunya Ngawi hanya berada di peringkat 3 kadang 4 dan masih kaoah dengan Karawang, Brebes, Sukabumi, kini menjadi nomor satu sejak 2021 (sebagai penghasil gabah tertnggi) saat ini (Ngawi), bahkan surplus tertinggi nasional (DetikJatim, Kamis; 13/7/2023).

Bahaya Kekeringan Mengancam Ngawi

Sebagai wilayah yang memiliki geografi yang terdiri dari daerah pegunungan dan dataran rendah, sebenarnya Ngawi memiliki sumber air yang memiliki kapasitas cukup tinggi. Namun tidak bisa dipungkiri jika musim tahun ini, dengan ancaman bahaya el nino juga melanda, Ngawi bisa saja terdampak kekeringan. Secara otomatis akan mempengaruhi hasil produksi pertanian, khususnya padi.

Sebenarnya Ngawi juga diharapkan menjadi daerah penyangga pangan karena dampak el nino di tahun ini. Bahkan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, menyatakan Kabupaten Ngawi menjadi salah satu daerah di Jawa Timur (Jatim) yang dipersiapkan sebagai penyangga kebutuhan pangan, khususnya padi, pada musim kemarau tahun ini. Pihaknya juga meminta kepada kepala daerah setempat untuk ikut turun tangan dalam pengawasan persiapan tersebut agar ketersediaan lumbung pangan dapat maksimal (Kontan.co.id).

Kekeringan adalah ancaman besar bagi Ngawi jika tidak diimbangi dengan tata kelola air dalam wilayah Ngawi secara keseluruhan, serta peningkatan kualitas dan kuantitas padi di musim sebelumnya. Dikutip dari Kontan.co.id, bahwa fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif menjadi penyebab utama kekeringan, termasuk di Ngawi. Dan menurut Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, lahan pertanian berisiko mengalami gagal panen karena kekurangan pasokan air selama fase pertumbuhan tanaman.

Situasi kekeringan berpotensi mengganggu ketahanan pangan nasional. Sehingga pemerintah daerah harus segera melakukan aksi mitigasi dan kesiapsiagaan. Selain ancaman kekeringan yang menyebabkan penurunan hingga gagal panen padi, berkurangnya lahan pertanian sebenarnya juga menambah berkurangnya hasil padi. Ini seharusnya juga menjadi pertimbangan jika masih berharap Ngawi tetap manjadi lumbung padi.

Beberapa tahun terakhir, di Ngawi telah banyak terjadi pengalihan fungsi lahan pertanian. Dalam Liputan6.com (15/3/2022). pengurangan lahan pertanian itu akibat alih fungsi lahan yang digunakan untuk pembangunan perumahan, infrastruktur dan industri. Lahan pertanian di Ngawi mengalami penyusutan hingga 153 hektare pada tahun 2021. Sebelumnya 50.868 hektare, menjadi 50.715 hektare.

Tata Kelola Air Ngawi Mempengaruhi Hasil Padi

Sebenarnya kondisi Ngawi ketika musim penghujan, di beberapa daerah seringkali mengalami banjir. Ini merupakan kondisi yang berbanding terbalik dengan kondisi saat musim kemarau. Apalagi jika tahun ini ditambah ada badai el nino yang menambah cuaca makin panas dan secara otomatis mengurangi kelembaban air di dalam tanah. Akibatnya tanah pertanian menjadi cepat kering dan menyebabkan retaknya tanah (telo: Jawa).

Ada daerah-daerah yang di musim kemarau justru air sangat kurang. Bahkan untuk konsumsi rumah tangga juga susah. Jawa Pos Radar Madiun memberitakan (13 Agustus 2023) bahwa kekeringan di Ngawi mulai meluas. Tak hanya sampai di sini, dalam laman Suryamalang.com warga Banjarbanggi, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi, terpaksa menggunakan air Sungai Bengawan Solo untuk kebutuhan sehari-hari, karena mengandalkan bantuan saja tidak cukup.

Sejatinya tidak hanya Ngawi yang memiliki lahan subur untuk pertanian. Akan tetapi daerah lain juga memiliki luas lahan pertanian yang bisa dikelola sehingga menjadi penghasil pangan/padi dengan baik. Sayangnya selama ini tata kelola air, tanah dan juga pengembangan dalam bidang pertanian tidak bisa maksimal sesuai dengan apa yang diharapkan.

Tanah subur di negeri ini, cenderung dialih fungsikan sebagai perkotaan, perumahan dan juga perindustrian. Padahal bisa saja tanah-tanah yang kurang atau tidak subur dijadikan area perkantoran, perkotaan, perumahan dan juga industri.

Hal berikutnya adalah penebangan hutan yang tidak diimbangi dengan penanaman pohon kembali yang menyebabkan tidak ada lagi hutan sebagai lahan peresapan air. Sehingga di musim kemarau tanah pertanian maupun perkebunan mengalami kekeringan yang berakibat gagal panen. Sebaliknya, di musim hujan banyak daerah-daerah terkena banjir maupun tanah longsor. Ditambah pengelolaan air (mitigasi) yang belum maksimal.

Berikutnya adalah pengembangan pertanian, baik secara pembenihan, penelitian di bidang pertanian maupun teknologi untuk kemajuan pertanian juga diperhatikan. Apalagi kebutuhan pokok petani harus dipenuhi, seperti kemudahan dalam mendapatkan pupuk dan obat-obatan pertanian.

Penyuluhan-penyuluhan terkait pengembangan pertanian dan perkebunan juga diadakan agar petani bisa lebih baik dan mendapatkan hasil pertanian yang lebih banyak. Juga penyuluhan tentang penyakit atau hama yang merugikan petani dan serta cara mengatasinya.

Transportasi di bidang pertanian juga harus diperhatikan. Karena selain transportasi untuk alat-alat pertanyaanku, juga hasil panen yang bisa diantar ke tempat-tempat lain yang mengalami kekurangan bahan makanan.

Semua ini membutuhkan peran negara untuk mengelola kebersihan ketersediaan bahan pangan bagi seluruh rakyat. Tidak hanya satu daerah, tapi bisa saja banyak daerah yang menjadi lumbung padi. Sayangnya, negeri ini menganut sistem sekular-liberal, sehingga orientasi pemerintah bukan untuk mengurus rakyat, tapi untung-rugi sebagaimana perdagangan semata. Terbukti, banyak lahan pertanian yang dialihfungsikan oleh pihak asing untuk pabrik-pabrik maupun taman dan supermarket-supermarket. Wallahu alam bisawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version