View Full Version
Jum'at, 05 Jan 2024

Mengatasi Sengketa Lahan dengan Aturan Islam

 

Oleh: Lisa Agustin

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bercerita pada 2015-2016 banyak warga yang memintanya untuk segera menyelesaikan masalah sengketa lahan. Hal ini diungkapkan pada saat sambutan pembagian sertifikat tanah di Sidorarjo, Jawa Timur. (detik[dot]com, 28/12/2023)

Curahan hati masyarakat ini bukanlah tanpa sebab, karena sepanjang tahun 2023 konflik lahan adalah salah satu persoalan yang kerap dihadapi banyak rakyat Indonesia. Di tengah banyaknya investasi dan proyek pembangunan strategis, sengketa lahan antara warga dengan perusahaan merupakan suatu keniscayaan.

Parahnya negara justru membuat aturan yang memudahkan perampasan tanah rakyat dengan dalih Pembangunan. Seperti dikeluarkannya Perpres Nomor 78 Tahun 2023 tentang perubahan atas Perpres Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. Bahkan nantinya Perpres inilah yang akan menjadi legitimasi pemerintah untuk merampas tanah rakyat demi pembangunan.

Apabila suatu proyek sudah berstatus sebagai proyek nasional, apapun kendala yang dapat menghalanginya terlaksana di level kabupaten, tidak akan dipedulikan. Sekalipun bentuk kendala itu berupa protes masyarakat lokal yang sangat terdampak dari aktivitas proyek tersebut. Padahal nyatanya pembangunan ini bukan untuk kepentingan rakyat ataupun menguntungkan rakyat, namun untuk perusahaan (pemilik modal).

Konflik lahan adalah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi yang melahirkan politik oligarki. Menurut Despry Nur Annisa Ahmad, S.T., M.Sc. dalam tulisannya di muslimah news, menunjukkan bahwa dalam sistem politik demokrasi, tidak ada penguasa yang bisa terpilih, kecuali didukung oleh pemilik modal karena biaya untuk pemilu yang begitu besar. Sebagai bentuk imbalan kepada pengusaha sebagai donatur suksesinya, penguasa yang dimenangkan melalui pemilu tersebut alamiahnya pasti akan mudah memberikan lahan untuk pengusaha sebagai balasannya.

Demokrasi yang diadopsi negeri ini adalah sistem politik yang rusak dan merusak. Karena konsepsinya digagas oleh manusia yang kapasitasnya terbatas dan tidak mampu menerawang kebaikan masa depan menurut panduan wahyu.

Atas dasar itu, pengaturan ruang hidup masyarakat dalam sistem demokrasi selamanya akan selalu keliru karena ia rusak sejak dari akarnya. Jika kerusakan ini terus dibiarkan, masyarakat lokal yang pasti akan terus menjadi korban perampasan ruang hidup. Sederhananya, kita hanya menunggu giliran tergusur dari tanah sendiri jika sistem ini terus diberlakukan.

Kita juga perlu memahami bahwa sistem politik secara konsepsi pasti senantiasa bergandengan dengan sistem ekonomi sebagai kesatuan suprastruktur sistem bernegara. Dalam hal ini, sistem politik demokrasi bergandengan dengan sistem ekonomi kapitalisme.

Spirit pembangunan yang diberlakukan dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah mendorong pertumbuhan ekonomi global, meningkatkan konsumsi produk, dan mengeksploitasi sumber daya alam demi keuntungan ekonomi pihak oligarki. Hal ini secara alami akan menyebabkan kasus perampasan lahan semakin meningkat. Ini dikarenakan tuntutan pertumbuhan produktivitas secara masif dilakukan, tanpa peduli aspek lingkungan, apalagi teriakan masyarakat lokal yang terdampak dari aktivitas eksploitatifnya.

Lalu bagaimanakah seharusnya solusi untuk menyelesaikan sengketa lahan rakyat? Jawabannya bukanlah dengan pembuatan sertifikat tanah atau bagi-bagi sertifikat tanah secara gratis. Tapi harus kembali kepada aturan Islam.

Islam memiliki konsep jelas atas kepemilikan lahan, dan menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelindung rakyat termasuk pelindung kepemilikan lahan. Filosofi kepemilikan lahan dalam Islam adalah mendudukkan bahwa lahan adalah milik Allah Taala.

Firman-Nya, “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah kembali.” (QS An-Nuur [24]: 42).

Berdasarkan petunjuk wahyu tersebut, pengelolaan lahan wajib menggunakan hukum Allah, Sang Pemilik lahan secara hakiki. Menurut Abdurrahman al-Maliki, tanah atau lahan dapat dimiliki dengan enam cara menurut hukum Islam, yaitu melalui jual beli, waris, hibah, menghidupkan tanah mati, tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).

Syariat Islam mengizinkan individu muslim maupun nonmuslim untuk memiliki lahan, baik untuk keperluan tempat tinggal, usaha, maupun pertanian. Kepemilikan lahan dalam Islam tidak ditentukan oleh surat kepemilikan tanah, tetapi diukur dari caranya menghidupkan atau mengelolanya diatas lahan yang memang tidak ada pemiliknya.

Sabda Rasulullah saw., “Barang siapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu (menjadi) miliknya.” (HR Bukhari).

Syariat Islam juga menetapkan ambang batas penelantaran lahan. Apabila lahan yang telah dimiliki dengan cara dipagari, misalnya, tetapi tidak dikelola, maka negara bisa menyita lahan tersebut dan memberikannya pada individu ataupun perusahaan yang mampu mengelolanya. Ketetapan ini didasarkan pada ijmak sahabat yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khaththab.

Imam Abu Ubayd dalam kitab Al-Amwal meriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. Mengambil lahan milik Bilal bin Al-Harits al-Mazani yang merupakan pemberian dari Rasulullah (saw.). Amirulmukminin Umar bin Khaththab berkata kepada Bilal, “Sesungguhnya Nabi saw. Tidaklah memberikan lahan ini padamu sekadar untuk dipagari dari orang-orang, tetapi beliau memberikannya padamu untuk dikelola. Maka ambillah yang sanggup engkau kelola dan kembalikan sisanya.”

Adapun batas waktu penelantaran tanah sampai akhirnya nanti akan ditarik oleh penguasa untuk diberikan pada pihak lain adalah setelah tiga tahun. Amirulmukminin Umar ra. Juga mengatakan kepada kaum muslim, “Tidak ada hak (kepemilikan) bagi orang yang memagari (lahan) setelah tiga tahun.”

Berdasarkan hal tersebut, negara tidak berhak merampas lahan milik warga muslim maupun nonmuslim sekalipun ketika mereka tidak memiliki surat kepemilikan lahan, selama ia bisa membuktikan bahwa tanah itu telah dipatok atau dikelolanya, serta tidak ditelantarkan lebih dari tiga tahun.

Sangat kontras dengan yang terjadi sekarang ini, kepemilikan lahan ditekankan pada kepemilikan sertifikat. Menjadi sangat wajar ketika kasus perampasan lahan kian masif terjadi, padahal perampasan lahan adalah kezaliman yang terkategori dosa besar, apalagi jika spiritnya untuk mengenyangkan oligarki.

Rasulullah saw. Bersabda, “Siapa yang pernah berbuat aniaya sejengkal saja (dalam perkara tanah), maka nanti ia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh lapis bumi.” (HR Bukhari).

Demikianlah beberapa aturan sistem ekonomi Islam terkait pengaturan lahan. Secara konsep dan bukti sejarah, Islam mampu mengatasi permasalahan konflik lahan yang secara alami akan berupaya menutup celah munculnya kasus perampasan lahan. Berbeda penerapan sistem ekonomi kapitalisme saat ini, sangat meniscayakan penguasaan lahan oleh oligarki yang menimbulkan kerusakan alam dan penderitaan bagi masyarakat lokal.

Agar mampu menerapkan aturan dari sistem ekonomi Islam, perlu adanya sebuah sistem politik Islam yang mampu menerapkannya. Kebutuhan pada sistem politik Islam ini yang kemudian menjadi spirit bersama untuk penegakan sistem pemerintahan Islam bernama Khilafah Islamiah.

Atas dasar ini, keinginan menerapkan Islam kafah dalam segala dimensi ruang hidup manusia yang berbentuk Khilafah, bukan lagi sekadar mengenang kejayaan Islam pada masa lampau. Lebih dari itu, penegakan Khilafah adalah desakan kebutuhan umat manusia serta kewajiban seluruh kaum muslim. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version