Oleh: Natasya
Bapak Presiden Joko Widodo menyatakan kekagetannya atas rasio jumlah lulusan S2 dan S3 di Indonesia, yang lima kali lipat lebih sedikit jika dibandingkan dengan negara tetangga, Vietnam dan Malaysia.
Setelah pernyataan beliau tersebut, timbullah konflik mengenai pembayaran UKT ITB yang salah satu solusi dari kampus adalah cicilan lewat pinjaman online yang sudah bekerja sama dengan pihak kampus.
Dari Kompas.com, Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB Yogi Syaputra mengatakan, pihaknya menggelar demo di Gedung Rektorat ITB sebagai bentuk kekecewaan mahasiswa terhadap kebijakan kampus perihal skema cicilan melalui pinjaman online.
Universitas milik negara kini dituntut untuk mandiri dan memenuhi standar akreditasi, penelitian, publikasi, dan lain-lain. Sedangkan, untuk memenuhi semua standar itu, diperlukannya biaya. Sehingga, karena statusnya mandiri, kampus secara halus dituntut untuk menanggungnya sendiri dan mau tidak mau dengan cara berbisnis untuk mendapatkan investasi, profit, dan semacamnya.
Dan bagi sebuah kampus, untuk berbisnis, cara yang paling mudah adalah dengan menaikkan UKT. Padahal, didirikannya sebuah universitas itu untuk menjalankan sebuah misi sosial, yakni mencerdaskan bangsa. Yang mana seharusnya, universitas tidak membuat mahasiswa kesulitan dalam menangani biaya UKT alias biayanya harus terjangkau. Dua masalah yang menjadi dilema.
Dari masalah di atas, bisa kita perhatikan, betapa abainya pemerintah terhadap rincian peningkatan sumber daya manusia dan pendidikan kita. Kita memiliki regulasi untuk memfasilitasi mahasiswa yang kesulitan membayar UKT, namun kampus malah memberikan solusi pinjalam online, yang mana bunganya berkisaran di 20%. Bagi mereka, angka tersebut cukup memberatkan. Akibatnya, banyak sekali mahasiswa yang akhirnya tidak bisa melunasi dan terancam tidak bisa melanjutkan studinya.
Jadi, herannya Pak Jokowi sama sekali aneh, mengingat beliau yang sudah menjabat selama 10 tahun menjadi presiden, namun baru menyadarinya sekarang. Padahal permasalahan ini sudah sangat banyak menuai keluhan dan mempersulit anak-anak bangsa. Salah satu kasusnya adalah UKT dan pinjamana online ini. Di luar sana, bahkan ada lebih banyak lagi anak yang menghadapi persoalan pendidikan dan ekonomi yang lebih sulit. Mereka ingin mengubah kehidupan mereka dengan meraih pendidikan yang baik, namun keadaannya sulit. Pemerintah, alih-alih menjadi penyokong malah terkesan mempersulit.
Dengan rata-rata skor IQ orang Indonesia, yang kini masih menempati peringkat ke-126 sedunia, dengan kata lain, yang paling rendah di Asia Tenggara, seharusnya negara malu dan segera introspeksi. Mengapa bisa Indonesia terancam intelektualitasnya. Ini adalah masalah lama, yang mana pemerintahan kita sedari dulu belum ada yang berhasil atau bahkan menseriusi permasalahan ini. Padahal untuk menuju Indonesia emas, sudah seharusnya pemerintah sadar bahwa sumber daya manusianya harus dibangun sejak sekarang.
Sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menanggulangi masalah ini. Mengabaikan dan menjadikan sistem pendidikan kita serba mandiri, di tengah-tengah masalah ketimpangan ekonomi dan sosial yang masih marak, rasa-rasanya pemerintah kurang bijak jika terus melanjutkan kebijakan ini.
Pemerintah seharusnya mengambil andil utama dalam menyelesaikan permasalahan ini. Jika terus diteruskan, tidak segera ditangani, maka Indonesia akan semakin mengalami kemunduran dalam hal pendidikan. Dan jika sudah pendidikan yang mundur, maka perlahan-lahan, kepentingan yang lain juga akan ikut mundur. Sebaliknya, jika pendidikan kian maju, maka semua kepentingan juga perlahan-lahan akan ikut maju.
Tidak hanya menyediakan tempatnya—kampus—tapi juga proses pembelajarannya disiapkan. Pembiayaan bagi yang tidak mampu, kurang mampu, yang kehidupan perekonomiannya pas-pasan, sampai yang paling mampu perekonomiannya, harus dirinci lalu diatasi.
Kalau pun mengadakan pinjaman, baiknya negara yang membuat regulasinya, dan tentunya tanpa bunga. Karena jika benar pemerintah berusaha untuk mencerdaskan bangsa, maka negara harus turun tangan secara langsung. Jangan malah, pendidikan ini dibuat semacam bisnis yang selalu memikirkan untung rugi. Dampaknya tak hanya para mahasiswa itu mendapatkan kesulitan dari segi pembiayaan, namun juga menjadi tidak fokus karena alih-alih belajar, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk berpikir mencari uang dan bekerja.
Ilmu pengetahuan adalah sumber majunya peradaban. Semakin suatu negara menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, maka semakin majulah negara tersebut. Namun, jika sebuah negara abai terhadap kemunduran ilmu pengetahuan, apalagi meremehkannya, maka siap-siap saja, kehancuran negara tersebut akan segera datang. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google