View Full Version
Sabtu, 17 Feb 2024

Akademisi Bersuara, Indonesia dalam Bahaya?

 

Oleh: Nur Ameena

Jelang pemilu lalu, para akdemisi bersuara, mengkritisi situasi pemilu di tahun ini. Setidaknya ada 30 akademisi kampus dari swasta maupun negeri yang menyuarakan tentang keresahan mereka perihal tindakan-tindakan Pak Jokowi yang membingungkan, cenderung menyalahi aturan.

Dimulai dari pemaksaan aturan di Mahkamah Konstitusi yang dirubah demi dilantiknya Gibran Rakabuming Raka—anak Pak Jokowi—sebagai calon wakil presiden di pemilu 2024 ini. Aturan soal batas umur dalam pencalonan waki presiden, yang seharusnya 40 tahun, kini diubah menjadi boleh di bawah umur, asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah hasil pemilihan umum termasuk pilkada, sampai kepada penyalahgunaan kekuasaan.

Para akademisi yang membuka suaranya berharap bahwa Pak Jokowi netral, dan tidak melakukan kampanye secara tersirat. Tentu saja sebelumnya, Pak Jokowi juga sudah menghimbau kepada semua ASN dan menteri agar netral dan tidak berpihak kepada calon presiden dan calon wakil presiden mana pun. Namun lambat laun, himbauan beliau seakan dilupakan begitu saja oleh beliau sendiri, dan mulai melakukan kampanye secara tersirat.

Semua aturan dari yang terberat hingga yang paling ringan ditabrak begitu saja oleh Pak Jokowi demi mendukung anaknya yang kini sedang melakukan aktifitas kampanye sebagai calon wakil presiden RI. Meski tidak mendeklarasikannya secara terang-terangan, namun masyarakat awam bisa menilai bahwa semua yang dilakukan oleh Pak Jokowi selama ini adalah bentuk kampanye halus terhadap Prabowo-Gibran. Satu contoh, membagi-bagikan bantuan sosial dengan stiker gambar Prabowo-Gibran.

Suara akademisi terhadap politik itu seperti alarm. Jika para akademisi sudah bersuara, maka itu artinya, negara ini benar-benar sudah di ujung tanduk. Tindak pidana kolusi dan nepotisme dianggap sebagai sebenar-benarnya bentuk kecacatan dan ancaman terhadap demokrasi. Walau pun sebenarnya, keberadaan dan diberlakukannya sistem demokrasi itu sendiri yang mengancam.

Pendukung fanatik

Respon masyarakat dibagi menjadi dua kubu. Ada yang menanggapinya secara negatif, ada yang positif. Yang negatif, rata-rata dari mereka adalah pendukung fanatik yang tidak mau menerima fakta atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Pak Jokowi dan menganggap bahwa itu hal yang wajar. Sedangkan yang positif, rata-rata dari mereka adalah pendukung rasional dan netral. Mereka yang positif ini, seratus persen mengakui bahwa yang dilakukan Pak Jokowi itu salah, dan sudah seharusnya para akademisi turun gunung demi menyuarakan keresahan yang juga menjadi keluhan tersendiri bagi masyarakat awam.

Namun, yang lebih menyedihkannya lagi dari perespon negatif yang fanatik, mereka menuduh hal yang tidak-tidak, seperti para akademisi tersebut mendapatkan bayaran, pencari perhatian, dan omong kosong. Tanggapan yang kasar dan sama sekali tidak mendasar ini dilontarkan begitu saja, tanpa benar-benar berpikir tentang alasan sebenarnya dari tindakan para akademisi itu. Dengan kata lain, mereka menghina harga diri kaum intelektual di negara ini.

Jangan mendukung para pemerintah itu secara membabi buta dan tidak rasional. Akibatnya, mereka jadi membabi buta dan tidak rasional dalam menjalankan pemerintahan. Jika masyarakat bisa dengan mudah dimanipulasi pandangannya, maka pemerintah akan terus melakukan hal yang sama. Contohnya seperti enggan menaikkan kualitas sumber daya manusia dan pencerdasan bangsa.

Karena semakin cerdas rakyat yang dipimpinnya, maka semakin sulit dan mahal suaranya dimanipulasi. Sebaliknya, semakin kurangnya pengetahuan rakyatnya—khususnya ilmu politik—maka semakin mudah suaranya dimanipulasi.

Buktinya adalah yang sedang kita lihat sekarang. Masyarakat sedang dibodohi namun mereka tidak sedang kalau sedang dibodohi. Atau sebenarnya mereka tahu, namun tertutup oleh rasa fanatisme-nya? Oleh karenanya, cerdaskan diri kita, lalu cerdaskan orang di sekitar kita. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version