Oleh: Sunarti
Kondisi mengenaskan kaum perempuan dan anak-anak saat ini sangat memprihatinkan. Sungguh catatan kelam bagi negeri ini maupun negeri-negeri lain di muka bumi. Sosok perempuan adalah sosok pendidik generasi dan anak adalah penerus generasi. Jika keduanya rusak dan dirusak, bagaimana kelanjutan nasib bangsa ini?
Akhir-akhir ini KPAI mencatat hingga Agustus 2023 sebanyak 2.355 kasus pelanggaran masuk sebagai kasus kekerasan anak. Tercatat korban kekerasan seksual (487 kasus), kekerasan fisik atau psikis (236), korban kebijakan pendidikan (27), dan korban perundungan (87).
Meskipun data dan angka berbeda, hal itu tidak mengubah fakta bahwa kekerasan pada anak terus terjadi dan cenderung meningkat. Pada tahun 2020 saja ada 11.278 kasus kekerasan terhadap anak, tahun 2021 terdapat 14.517 kasus dan 2022 ada 16.106 kasus.
Sementara k dari laman Bisnis.com menyebutkan bahwa Komisioner Komnas Perempuan Mariana Aminuddin mengatakan CATAHU tahun 2023 kasus kekerasan yang menimpa perempuan sebanyak 289.111 kasus.
Tuduhan Kekerasan pada Perempuan dan Anak adalah Diskriminasi terhadap Perempuan, Benarkah?
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak selalu dikaitkan dengan adanya diskriminasi gender. Dalam laman Komnasperempuan.co.id disebutkan jika The Convention on the Elimination of All Form of Discrimination against Women (CEDAW) adalah sebuah Kesepakatan Internasional Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini mendefinisikan prinsip-prinsip tentang Hak Asasi Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM), norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Dan Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut menandatangani konvensi ini.
Karena Indonesia termasuk negara yang meratifikasi konvensi tersebut maka kebijakan internal merujuk pada kebijakan CEDAW ini. Persoalan yang menimpa perempuan dianggap berawal dari ketertinggalan, dinomorduakan dan tidak disertakannya kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Atas nama kesetaraan inilah ide perempuan harus mendongkrak perekonomian pribadinya atau dengan kata lain perempuan berdaya sehingga tidak lagi diinjak harga dirinya dan tidak mengalami kekerasan.
Sejatinya semua yang diberlakukan atas nama kesetaraan gender adalah kedok untuk menghilangkan norma-norma dan nilai-nilai agama (baca Islam) semata. Berbagai aturan yang masih berbau Islam telah disingkirkan sebagai wujud nyata ketidaksukaan asing atas Islam. Seperti aturan kebolehan menikah bagi perempuan tanpa wali, hak waris bagi perempuan dan aturan lain yang mendasar pada kesetaraan gender ini.
Propaganda Barat telah berhasil masuk ke dalam negeri-negeri muslim termasuk di Indonesia. Dan ini didukung dengan sistem kebebasan dengan mengatasnamakan hak asasi manusia. Tujuan dasar sesungguhnya adalah menghancurkan generasi muslim melalui program nasional dan internasional.
Terbukti dengan banyaknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan (juga anak) pasca ditetapkannya berbagai aturan tersebut. Semakin eksisnya kaum perempuan yang diwadahi dalam sistem sekular-liberal membuat mereka meninggalkan peran dan fungsi perempuan dalam ranah keluarga dan masyarakat. Keeksisan yang diraih adalah jangkauan materi untuk mencukupi kebutuhan dan juga jabatan sebagai bentuk prestis mereka di mata masyarakat yang menilai segala urusan dengan sudut pandang materialistis.
Kaum perempuan dianggap sumber daya manusia yang bisa menghasilkan pundi-pundi uang. Pemberdayaannya sangat sarat dengan kepentingan ekonomi. Faktanya persoalan ekonomi tidaklah terletak pada peran penting kaum perempuan di ranah perindustrian, namun banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya ekonomi.
Sisi lain, arah industri yang berpindah dari kota ke daerah-daerah juga memiliki peran penting dalam bergesernya peran dan fungsi keluarga. Yang akhirnya efek buruk industrialisasi di daerah turut menyumbang tingginya angka kekerasan pada perempuan dan anak. Akibatnya fenomena fatherless dan motherless merambah tatanan keluarga. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ketiga negara fatherless di dunia. Posisi orang tua (sosok ayah dan ibu) dalam alam kapitalis dituntut hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan gaya hidup semata. Pendidikan dan kebutuhan kasih sayang kepada anak-anak dan keluarga lain dipenuhi hanya sebatas materi saja.
Solusi Mendasar Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak
Kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak akan bisa diselesaikan dengan solusi tambal sulam. Apalagi mengatasnamakan gender dan hendak mengobok-obok ranah agama sebagai dalih munculnya berbagai persoalan. Padahal problematika yang dihadapi oleh perempuan dan anak-anak juga masyarakat secara luas bersumber dari aturan buatan manusia yang meninggalkan aturan Tuhan.
Saat ini peran keluarga sebagai pilar utama penjaga generasi telah tereduksi dari sisi mana pun, sehingga kaum perempuan dan juga anak-anak tak luput dari kekerasan yang entah dari orang terdekat (keluarga) maupun dari lingkungan. Tidak hanya mereduksi keutuhan keluarga bahkan runtuhnya naluri manusia. Rasa kasih sayang juga telah pupus tergerus nilai-nilai budaya kapitalisme-sekuleristik.
Ini semua tidak bisa diubah hanya dengan solusi pragmatis, akan tetapi butuh solusi mendasar. Mengingat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak diawali dengan penyebab yang sangat kompleks. Mulai dari persoalan ekonomi, sosial (pergaulan) juga sistem pendidikan yang tidak menciptakan output yang beriman dan bertakwa.
Perubahan mendasar harus berbasis sistem. Sistem kehidupan yang datang dari Sang Pencipta saat ini masih belum diketahui oleh masyarakat luas, bahwasanya sistem tersebut akan menempatkan posisi manusia sebagai manusia.
Saat ini kaum muslim sudah seharusnya melek politik bahwa sistem demokrasi liberal sudah tidak layak untuk dipertahankan. Selain rusak, sistem ini juga merusak. Kaum muslim harus memperjuangkan syariatNya demi perubahan mendasar untuk kebaikan seluruh umat manusia. Wallahu alam bisawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google