View Full Version
Sabtu, 04 May 2024

Hari Buruh Setiap Tahun, Kapan Mereka Sejahtera?

 

Oleh: Umi Hanifah

Tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh, namun sayang nasib mereka tetap termarginalisasi. Setiap tahun selalu terdengar tuntutan akan hak mereka, karena sebagian ekonomi negeri ini merelah penopangnya. Turun ke jalan menjadi satu keniscayaan.

Memang, negeri ini masih carut-marut dalam menangani masalah buruh. Di bawah ini adalah beberapa poin yang layak dikritisi:

Pertama, buruh dianggap barang produksi sehingga perusahaan akan berhitung bahwa gaji yang dikeluarkan tidak boleh memangkas keuntungan yang didapat. Sehingga gaji buruh akan selalu menjadi polemik, yang pasti buruh tetap menjadi pihak yang dirugikan.

Kedua, adanya UU Cipta kerja Omnibus law menambah keterpurukan buruh karena daya tawar mereka sangat lemah. Wajah pekerja yang muram dihantam inflasi dan sempitnya ketersediaan pekerjaan yang layak, semakin rentan dengan regulasi yang dinilai semakin menjatuhkan posisi tawar para buruh.

Omnibus Law, Undang-undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023, dinilai membuat nasib pekerja semakin terpuruk dan miskin karena menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah, dan juga jaminan sosial.

Ketiga, negara lepas tangan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya termasuk buruh. Gaji buruh yang masih jauh dari standar hidup semakin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan pokok seperti beras, minyak, gula, bawang merah, bawang putih, dan lainnya semakin membuat terpuruk nasib buruh. Tapi tidak dengan para pemodal/oligarki, mereka tetap meraup keuntungan karena kebijakan atau UU berpihak pada mereka.

Keempat, ini semua akibat dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang menyerahkan nasib buruh kepada perusahaan. Perusahaan tentu akan berhitung agar tetap mendapatkan keuntungan dengan menekan gaji buruh. Sistem salah yang menyusahkan, tak layak dipertahankan karena sampai kapan pun buruh tidak akan sejahtera dalam sistem seperti ini.

Buruh sejahtera dalam lslam

Sangat berbeda nasib buruh atau pekerja dalam sistem Islam. Islam telah menetapkan bahwa pemimpin harus mengurusi keperluan dasar semua rakyatnya; buruh, petani, nelayan, pedagang, pegawai, kaya, miskin, dan lainnya akan mendapatkan pelayanan yang sama dengan mudah, murah, hingga gratis.

“Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR Muslim).

Dengan pelayanan dari negara yang terjangkau, gaji yang didapat akan bisa mencukupi keperluan mereka. Sedangkan besaran jumlah gaji ditetapkan sesuai kesepakatan atau besarnya jasa yang diberikan oleh pekerja. Gaji tukang pencari batu tentu akan berbeda dengan ahli bangunan, gaji tukang sapu tidak akan sama dengan manager perusahaan, dan lainnya. Jika terdapat perbedaan pendapat maka bisa dipanggilkan seorang ahli/khubara untuk menaksir besarnya gaji. Jika masih ada perselisihan, maka negara akan menyeleseikannya dengan keputusan hakim atau qadhi.

Jadi, gaji tidak dimasukkan dalam hitungan produksi. Gaji yang ditetapkan juga tidak terkait dengan batas upah minimum rata-rata suatu kota, karena perhitungannya sudah jelas. Mekanisme ini lebih sederhana dan tidak ada yang terzalimi karena ada keridoan dan sesuai keahlian yang dimiliki pekerja atau buruh.

Sudah sangat jelas nasib buruh akan sejahtera dalam sistem islam, sebaliknya mereka akan tetap terlunta-lunta serta sengsara dalam sistem kapitalisme. Pertanyaannya, maukah kita hidup diatur dengan sistem islam? Allahu a’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version