Oleh: Wike Wijayanti
Pasca pemilu ternyata tak berakhir begitu saja. Nyatanya fenomena caleg yang gagal terpilih dan timses yang kecewa tak bisa dipungkiri. Mulai dari yang menderita stress, bunuh diri hingga menarik Kembali ‘pemberian’ pada Masyarakat. Misalnya Di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dua timses mengalami tekanan hebat hingga harus mengambil kembali amplop yang sebelumnya dibagikan kepada warga pada Sabtu sore. Hal sama juga dialami Seorang calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Subang, Jawa Barat, membongkar jalan yang sebelumnya ia bangun. Hal ini dilakukan karena ia mengalami kekalahan saat Pemilu 2024. (Okenews.com)
Fenomena Caleg Gagal
Berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya, mereka hanya siap menang dan tidak siap kalah. Fenomena ini juga menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan mengingat keuntungan yang akan didapatkan, sehingga rela ‘membeli suara’ rakyat dengan modal yang besar, dengan pamrih mendapat suara rakyat. Demi memperoleh jabatan, banyak orang harus bersaing ketat dalam kontestasi. Demi memperoleh suara rakyat sebagai tiket menuju gedung dewan, para caleg rela merogoh kocek dalam-dalam.
Ada di antara mereka yang menjual tanah, rumah, mobil, perhiasan, dll., bahkan ada yang sampai berutang karena sudah kehabisan modal. Uang tersebut mereka gunakan untuk membiayai timses, mencetak alat peraga kampanye, dan yang paling banyak dananya adalah untuk membeli suara rakyat dengan memberikan “amplop serangan fajar” menjelang pencoblosan, juga pemberian bantuan fisik seperti pembangunan jalan, dan lainnya. Ketika semua hal tersebut sudah mereka lakukan demi mendapatkan jabatan dan ternyata gagal, dunia seolah hancur, jadilah mereka mengalami depresi. Inilah gambaran orang-orang yang gila jabatan di dalam sistem kapitalisme. Ketika gagal memperoleh jabatan, mereka bisa menjadi benar-benar gila.
Di sisi lain menggambarkan betapa model pemilu ini adalah pemilu yang berbiaya tinggi, Segala sesuatu dalam pemilu butuh biaya besar, tidak ada yang gratis, terutama adalah dukungan suara rakyat. Rakyat paham bahwa di dalam demokrasi kapitalisme, para pejabat akan mendadak kaya karena jabatannya. Oleh karenanya, mereka menganggap wajar jika rakyat juga berhak mendapatkan uang atas suara yang diberikannya. Meski sebenarnya jumlah “amplop” yang diterima rakyat itu sangat kecil jika dibandingkan dengan kenaikan harta pejabat yang drastis. Demikianlah, kesalahan pandangan terhadap jabatan telah mengakar di tengah masyarakat. Mereka memandang jabatan ala kapitalisme, adalah tiket emas untuk memperoleh keuntungan materi.
Jabatan dan Pemilu dalam Islam
Islam memandang jabatan adalah Amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, orang yang memegang jabatan sejatinya sedang memikul amanah berat yang harus ia pertanggungjawabkan kesesuaiannya dengan syariat Allah Taala. Jika ia berlaku adil, yakni menetapi syariat Allah Swt., ia akan beruntung. Jika berlaku zalim, kelak ia akan menyesal di akhirat. Itulah sebabnya ketakwaan menjadi syarat mutlak bagi para pejabat di dalam sistem Islam. Hanya orang bertakwa yang boleh menjadi pemimpin dan pelaksana urusan umat. Sedangkan orang-orang zalim dan fasik tidak boleh menjadi pejabat.
Di dalam Islam, profil penguasanya adalah orang-orang yang takut pada Allah Swt. sehingga tidak akan mencari keuntungan pribadi di dalam jabatannya. Profil inilah yang tampak pada diri Rasulullah (saw.). Meski menjadi penguasa yang agung, kehidupan beliau sederhana. Profil penguasa yang tidak tamak terhadap jabatan ini juga diteruskan oleh khulafaurasyidin. Sudah masyhur di tengah kita tentang profil Umar bin Khaththab yang bajunya tambalan dan tidur di bawah pohon kurma, sampai-sampai membuat heran utusan dari negara lain yang hendak menemuinya. Begitu pula profil Umar bin Abdul Aziz yang menyerahkan hartanya, termasuk kalung istrinya, ke baitulmal. Sedangkan beliau hidup sederhana.
Dalam Islam, Terkait pemilihan pemimpin, syara’ telah menentukan bahwa rakyat memiliki wewenang untuk memilih pemimpin negara (khalifah) maupun perwakilan rakyat yang duduk di Majelis Umat (lembaga berisi wakil rakyat yang bertugas memberi nasihat pada penguasa, tidak memiliki fungsi legislasi). Namun, mekanisme pemilu di dalam Islam bersifat sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi, dan penuh kejujuran. Tidak ada janji-janji politik yang penuh pencitraan dan kepalsuan sebagaimana hari ini.
Oleh karenanya, tidak ada praktik politik uang di dalam pemilu di sistem Islam. Pemilihan berlangsung secara adil, sesuai syariat. Pemilihan yang adil ini didukung oleh para calon yang berkepribadian Islam. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa sehingga memandang jabatan adalah amanah. Sedangkan keterlibatan mereka di dalam pemilihan pemimpin adalah semata mengharap ridha Allah semata. Wallahualam bissawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google