View Full Version
Sabtu, 29 Jun 2024

Marak Malin Kundang Versi Modern, Pertanda Apa?

 

Penulis: Wike Wijayanti

Sungguh miris, telah terjadi kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak di Pesisir Barat, Lampung, terhadap orangtuanya sendiri dikarenakan korban meminta untuk dibantu diantarkan ke kamar mandi. Lain hal dengan itu, kasus 2 orang anak di jakarta yang tega membunuh ayanhnya sendiri, akibat sakit hati karena dimarahi. Mereka menusuk ayahnya sendiri menggunakan sebilah pisau usai kedapatan mencuri uang ayahnya. (Liputan6.com)

Marak Malin Kundang Versi Modern, Pertanda Apa?

Bila kita mencermati fenomena di atas, sungguh miris karena para pelaku masih berusia remaja. Tindakan mereka yang sampai menghilangkan nyawa orang jelas tindakan kejahatan, apalagi dilakukan kepada orang tua kandungnya. Tentu tidak berlebihan jika kita menyebut mereka anak durhaka. Dalam legenda Malin Kundang si anak durhaka saja, ia tidak sampai membunuh orang tuanya. Namun, para pelaku pembunuhan tadi justru tidak ubahnya “Malin Kundang” versi modern yang justru jauh lebih sadis. Na'udzubillah..

Sisi lain hal tersebut dilatar belakangani adanya Sekulerisme-kapitalisme yang telah merusak dan merobohkan pandangan mengenai keluarga. Keluarga pada hakikatnya adalah tempat yang Allah tetapkan bagi anggota keluarga di dalamnya untuk saling berkasih sayang karena di tengah-tengah mereka ada hubungan rahim. Sekularisme melahirkan manusia-manusia miskin iman yang tidak mampu mengontrol emosinya, rapuh dan kosong jiwanya. Kapitalisme menjadikan materi sebagai tujuan, abai pada keharusan untuk birrul walidain.

Sistem pendidikan sekuler hari ini tidak mendidik generasi agar memahami birul walidain.  Sehingga wajar yang dilahirkan adalah generasi rusak, dan rusak pula hubungannya dengan Allah swt. Jikalau benar ada tindakan orang tua yang menyakiti hati kita, haruskah dengan menghilangkan nyawa mereka? Bukankah sejatinya jauh lebih banyak kebaikan yang telah orang tua curahkan untuk anak-anaknya dibandingkan buruknya? Semestinya rasa maaf dan amar makruf nahi mungkarlah yang lebih ditonjolkan.

Faktanya, sekulerisme ternyata membabat habis itu semua sehingga yang tersisa adalah relasi anak-orang tua yang berdasarkan kemanfaatan semata. Akibatnya, ketika anak-anaknya merasa orang tua tidak berguna, bahkan dianggap menghalangi mereka untuk mencapai puncak hawa nafsu, maka menghabisi orang tua tidak ubahnya kepuasan tersendiri bagi mereka. Jelas sudah penerapan sistem hidup ala kapitalisme telah gagal memanusiakan manusia. Fitrah dan akal tidak terpelihara sebagaimana mestinya, menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya yaitu sebagai hamba dan khalifah pembawa rahmat bagi alam semesta. Maka lahirlah generasi rusak dan merusak seperti hari ini.

Saatnya Kembali Pada Islam

Berbanding terbalik dengan itu, Islam mendidik generasi menjadi generasi yang memiliki kepribadian Islam, yang akan berbakti dan hormat  pada orang tuanya, Mereka juga memiliki kemampuan yang baik dalam mengendalikan garizah baqa’ (naluri mempertahankan diri) sehingga tidak mudah terjerumus dalam lingkaran emosi dan hawa nafsu.

Contohnya saja Kisah Luqman di dalam Al-Qur’an saat menasihati anaknya adalah contoh terbaik. Hal tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua.” (HR At-Tirmidzi)

Islam juga memiliki mekanisme dalam menjauhkan generasi dari kemaksiatan dan tindak kriminal, baik secara individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Serta adanya sistem sanksi yang memberikan efek jera sehingga dapat mencegah semua bentuk kejahatan termasuk kekerasana anak pada orangtua agar tidak terjadi. Wallahu'alam Bishawab. (rf/vpa-islam.com)

Ilustrasi:Google


latestnews

View Full Version