View Full Version
Ahad, 15 Sep 2024

Toleransi, bukan Kolaborasi

 

Oleh: Ameena N

“Terharu, Imam Besar Istiqlal Cium Kening Paus...” begitulah tajuk berita yang berseliweran di berbagai platform dunia maya belakangan ini semenjak Paus Fransiskus datang berkunjung ke Indonesia. Begitu mengharukan bagi orang-orang kita yang krisis prinsip akidah dan tauhidnya. Melihat adegan itu, serentak memuja dan memuji tindakan si Imam yang dicap sebagai sebuah toleransi yang sangat luar biasa. Padahal, biasa saja. Bahkan orang-orang ini banyak yang tidak sadar bahwa ada yang salah dengan hal tersebut.

Pahamkah kita toleransi dalam beragama itu harus bagaimana dan apa saja batasnya? Toleransi itu membiarkan pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai ajaran mereka masing-masing, tidak mengganggu mereka dan agama mereka seperti menghina atau mengolok-olok tuhan dan ajaran mereka. Jika konteksnya sampai membungkuk-bungkuk, mencium kening dan tangan mereka, ya, itu namanya sudah jauh melewati batas. Itu namanya bukan toleransi lagi tapi kolaborasi. Toleransi, bukan kolaborasi atau dengan definisi lain mencampuradukkan.

“Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” (Terjemahan QS. Al-Kafiruun: 6)

Allah menjadikan derajat kita, hambaNya, jauh lebih tinggi daripada mereka yang ingkar kepada Allah. Dan kini kita malah merendahkan diri dan derajat kita di hadapan orang-orang yang ingkar kepada Allah tersebut dengan begitu mudah. Sedangkan pada saudara muslim kita yang lain, seringkali kita malah merendahkan hak dan martabat mereka. Sebuah fakta yang menyedihkan bahwa kita bisa lebih ramah dan akrab dengan orang-orang kafir ketimbang dengan saudara-saudara muslim kita sendiri. Na’udzubillah.

“Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang dihimpun dalam kesatuan. Jika saling mengenal di antara mereka maka akan bersatu. Dan yang satu sama lain merasa asing di antara mereka maka akan berpisah.” (HR. Muslim 6376)

Meminta berkat kepada pemuka agama lain adalah juga tindakan yang tidak masuk akal. Karena dalam Islam, selain daripada Allah, kita tidak boleh meminta berkat. Bahkan kepada ustad, ulama, orang tua, mereka tidak bisa memberi kita berkat. Walau berbakti dan berbuat baik pada mereka bisa mendatangkan berkat, tetap saja, yang memberi berkat bukanlah mereka, melainkan Allah, karena memang, berlaku baik pada guru dan orang tua itu memiliki keutamaan yang Allah janjikan sendiri. Maka dari itu, tindakan toleran di luar batas yang sampai harus meminta berkat pada seorang Paus yang ingkar pada Allah dan rasul-Nya ini, apakah bisa dianggap pantas dan masuk akal?

“Sesungguhnya seburuk-buruk melata dalam pandangan Allah ialah orang-orang yang kufur karena mereka tidak beriman.” (Terjemahan QS. Al-Anfal: 55)

Padahal si Imam ini adalah imam yang bukan sembarang imam. Beliau adalah Imam dari masjid Istiqlal, masjid terbesar di Indonesia, maka harusnya kualitas pemahaman agamanya tidak perlu diragukan. Namun mengapa akidahnya bisa longsor seperti ini? Tidak pahamkah ia? Tidak merasa ada yang salahkah, ia? Bahwa toleransi tidak seperti itu bentuknya?

Sekali lagi ingat dan pahami bahwa kita toleransi, bukan kolaborasi. Kita saling menghormati, bukan saling mencampuradukkan. Jadi kenali, ingat, dan pahami, sampai mana batasan dari toleransi itu. Jangan sampai dengan alasan toleransi kita jadi melampaui batas dan menjatuhkan iman dan akidah kita di hadapan Allah.

Melihat fenomena ini, tersadar bahwa ilmu akidah dan penerapan akidah orang-orang kita masih sangat menjadi PR bagi masing-masing dari kita. Semoga kita tidak sampai menganggap bahwa agama itu hanya sekedar peraturan saja yang membuat hidup kita lebih terarah, namun ada harga diri kita bersamanya. Jika kita menjatuhkannya, maka jatuhlah pula harga diri kita. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 


latestnews

View Full Version