Oleh : Naila Dhofarina Noor S.Pd
Ramai pembicaraan penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja sebagaimana tercantum pada PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Pemerhati Anak dan Keluarga Dra. (Psi) Zulia Ilmawati menilai hal tersebut menjerumuskan anak usia sekolah dan remaja pada pergaulan bebas. Menurutnya, penyediaan kontrasepsi bagi remaja ini akan memberikan implikasi pada pelegalan seks bebas, meski dengan dalih ‘pendidikan reproduksi’.
“Kita kan semua tahu alat kontrasepsi itu apa, digunakan untuk apa, diberlakukan pada siapa. Alat kontrasepsi itu alat pengaturan kelahiran, pencegah kehamilan. Tentu diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah menikah dengan pasangan yang sah,” ungkapnya kepada media-umat.info, Jumat (9/8/2024).
Kalau kita cermati dengan teliti, sesungguhnya keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini, sesungguhnya adalah solusi khas ideologi sekularisme-liberalisme. Alasannya karena negera yang menggunakan ideologi kapitalis liberal memuja kebebasan pribadi tanpa batas, termasuk kebebasan hak reproduksi yaitu seks bebas, untuk mencegah kehamilan di luar nikah dan penyakit menular negara hanya mendorong dan memfasilitasi masyarakat dengan alat kontrasepsi.
Tersebarnya infeksi penyakit menular seksual, aborsi dan kasus kriminal pembunuhan akibat kencan secara brutal akibat maraknya seks bebas di masyarakat yang dalam istilah Islam disebut dengan zina. Sementara di negara penganut sekularisme liberalisme tidak ada istilah zina.
Dalam Islam sendiri, kehidupan laki-laki dan perempuan diatur dengan sempurna. Kehidupan lawan jenis terpisah. Boleh bertemu untuk keperluan yang memang diperbolehkan oleh hukum syara. Remaja yang memiliki ketakwaan tinggi akan bisa menjaga kehormatan dan pergaulannya.
Allah SWT berfirman yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. (QS. al-Isra’ ayat 32).
Dalam ayat ini Allah melarang mendekati zina, maka apalagi melakukan zina itu sendiri. Penjagaan ketakwaan ini semestinya selalu ditanamkan oleh orang tua di rumah, sekolah, masyarakat dan negara.
Apabila ia tidak mampu mengendalikannya, maka akan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, karena khawatir terhadap tindakan masyarakat kepadanya. Seketika sadar, ia akan segera kembali kepada kebenaran, dan bertobat atas kesalahannya. Adanya kontrol di tengah-tengah masyarakat melalui amar ma’ruf nahi mungkar, sehingga jika didapati kemaksiatan di tengah-tengah kehidupan langsung dicegah.
Islam juga memberikan solusi terkait masalah perzinaan jika terjadi, dengan cara sebagai berikut :
Pertama, perbuatan zina (hubungan seksual yang dilakukan di luar pernikahan atau yang dianggap tidak sah menurut Islam) sebagai dosa besar dan wajib dijauhi. Islam secara normatif menyebut zina sebagai sebuah kejahatan atau kriminal, sebagai satu gambaran dari dosa besar.
Kedua, diterapkannya sanksi perbuatan zina dengan sanksi yang sesuai syariat Islam yaitu hukum cambuk. Yaitu 100 kali bagi pezina ghairu muhshan (yang belum menikah) dan hukuman rajam (dilempar batu sampai mati) bagi yang sudah menikah dan pelaksanaan hukumannya disaksikan oleh publik.
Kita pahami bersama, yang mampu secara maksimal menuntaskan masalah ini, seperti membubarkan total tempat-tempat maksiat, menyetop peredaran film-film yang meresahkan masyarakat, menghakimi dan menghukum perilaku-perilaku perzinaan, tentunya hanya negara.
Oleh karenanya, sudah selayaknya pemerintah tegas menindak segala fasilitas dan peluang-peluang yang akan melahirkan zina atau kebobrokan moral remaja. Bukan malah dibiarkan atau dilegalkan dengan berbagai peraturan buatan manusia yang berasaskan kebebasan. Jelas, PP penyediaan alat kontrasepsi dilingkungan pendidikan anak usia sekolah yang baru saja ditetapkan ini sama saja menjerumuskan generasi, bukan melindungi. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google