Oleh: Naila Dhofarina Noor S.Pd
Pendidikan Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Selain soal banyak yang belum bisa baca , eksploitasi berkedok program pendidikan juga butuh perhatian. Dalam program PKL (Praktik Kerja Lapangan) misalnya, ditemukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adanya modus eksploitasi pekerja anak sebagaimana yang diungkapkan Ai Maryati Solihah, ketua KPAI. Bahkan, beberapa dari mereka dipekerjakan dari pagi hingga malam, yang artinya 13-15 jam sehari.
KPAI juga memaparkan data peristiwa trafficking melalui modus penawaran magang palsu kepada sekolah-sekolah Kejuruan untuk bekerja di luar negeri. Contohnya di Malaysia. Disana ditemukan tindak eksploitasi pada anak seperti jam kerja hingga 18 jam per hari, diberikan gaji yang rendah dan perlakuan yang tidak manusiawi.
Di tahun 2023, kompas.com memberitakan 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban eksploitasi kerja berkedok magang di Jerman, pada Oktober hingga Desember 2023. Program tersebut bukanlah magang, melainkan ferienjob yang meliputi kerja fisik paruh waktu saat musim libur. Sedangkan Plt Kepala Biro Kerja Sama Hubungan Masyarakat (BKHM) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Anang Ristanto sendiri menegaskan bahwa tidak pernah bekerja sama dengan ferienjob (24/3/2024). Kemudian kasus ini oleh polisi diselesaikan dengan menetapkan 5 tersangka, yang salah satunya adalah guru besar ilmu ekonomi dari salah satu universitas ternama.
Sebagaimana diketahui bersama program magang atau PKL baik pada pendidikan menengah seperti SMK atau pendidikan tinggi pada hakikatnya adalah program untuk menambah ketrampilan dengan cara magang pada perusahaan yang secara resmi ditunjuk oleh pemerintah. Program ini merupakan konsekuensi adanya sekolah vokasi pada tingkat menengah ataupun pada pendidikan tinggi. Yang mana program ini adalah realisasi sinergi antara dunia pendidikan dengan dunia industri yang disebut dengan DUDI (Dunia Usaha dan Dunia Industri).
Dalam sistem kapitalisme, program ini rawan menjadi sarana eksploitasi para pelajar dan mahasiswa oleh perusahaan dengan tujuan meraih keuntungan. Berbagai bentuk eksploitasi yang dapat terjadi diantaranya beban kerja yg tinggi, jam kerja overtime, tanpa diberi gaji, tanpa jaminan keselamatan dan kesehatan, dan lain-lain. Inilah dampak dari kapitalisasi pendidikan.
Kapitalisme mengakibatkan hubungan antara perusahaan dan sekolah sebagai hubungan saling menguntungkan, namun merugikan bagi peserta didik. Tentulah kni menimbulkan keresahan semua pihak. Sayangnya, selama sistem hari ini tetap dijalankan, permasalahan ini tidak dapat tersolusi karena akarnya masih ada, yaitu kapitalis mengejar materi semata.
Islam sebagai agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam memiliki konsep khusus terkait permasalahan manusia, termasuk tentang bagaimana pendidikan harusnya berjalan. Dalam Islam, negara diatur untuk menyelenggarakan pendidikan untuk mencetak sumber daya manusia yang berkepribadian Islam, unggul, agen perubah, terampil dan berjiwa pemimpin. Peserta didik diarahkan sedemikian rupa dalam rangka membangun peradaban yang mulia.
Negara akan memfasilitasi semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Adapun perwujudannya berkaitan dengan sistem ekonomi yang didalamnya ada pengelolaan sumber daya alam atau pos pemasukan lain untuk alokasi pembiayaan pendidikan secara mandiri, tanpa harus tergantung kepada pihak lain.
Sistem ekonomi Islam akan menjadi pedoman dalam mengatur anggaran negara. Kalaupun ada kebutuhan bekerja sama dengan pihak lain, maka tidak akan terjadi penyalahgunaan program yang merugikan peserta didik. Hal ini dikarenakan fokusnya bukanlah mengejar materi namun bagaimana pendidikan benar-benar mencetak generasi yang berkualitas mampu membangun peradaban yang mulia. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google