View Full Version
Selasa, 03 Dec 2024

Bolehkah Muslim Bertaqlid?

 

Oleh : Desti Ritdamaya

 

Kata taqlid tak asing bagi muslim, Karena kata taqlid bagian dari perbendaharaan tsaqafah Islam.  Kata taqlid berasal dari bahasa arab, yaitu qallada-yuqallidu-taqliidun. Secara bahasa makna taqlid  tergantung pada konteksnya. Ada yang bermakna meniru, memakai, mengalungkan dan mengangkat.

 

Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah jilid 1 halaman 217

menjelaskan makna taqlid secara syar’i yaitu :

الْعَمَلُ بِقَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ مُلْزِمَةٍ

Artinya : Beramal berdasarkan perkataan orang lain tanpa hujjah (dalil) yang mengikat

 

Sikap taqlid sampai detik ini masih menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Ada yang mengatakan haram, mubah bahkan wajib. Pendapat manakah yang benar? Untuk menjawab ini, perlu kiranya memetakan terlebih dahulu terkait ranah pembahasan taqlid, apakah dalam akidah atau syari’at.

 

Hukum Taqlid Dalam Akidah Islam

 

Akidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan, tentang hal-hal yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudahnya, serta tentang hubungan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Terkait akidah, pembenaran keimanan haruslah dalam taraf yakin (pasti tak ada keraguan sedikit pun) berdasarkan dalil baik aqli maupun naqli.

 

Dalil aqli digunakan dalam permsalahan keimanan yang dapat diindra. Seperti iman pada eksistensi Allah SWT, iman pada al Quran sebagai kalamullah, Muhammad SAW sebagai Rasulullah dan qadha qadar baik buruknya dari Allah SWT. Dalil naqli digunakan dalam permasalahan keimanan yang tak dapat diindra, seperti iman pada malaikat, para Rasul selain Muhammad SAW, kitab suci samawi selain al Quran, syurga neraka dan hal-hal ghaib lainnya.

 

Dalil naqli dalam akidah haruslah bersumber pada dalil yang qath’i baik tsubut (sumber) maupun dalalah (makna). Qath’i tsubut meliputi al Quran dan hadits mutawatir. Qath’i dalalah maksudnya dalil bermakna tunggal tak multimakna (tak mengandung kemungkinan takwil serta tak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain makna yang ditunjukkan teks). Dalil qath’i dalalah tak ada ruang ijtihad dalam memahami maknanya.

 

Setiap muslim yang mengaktifkan proses berpikirnya baik dalam dalil aqli maupun naqli, mudah dan tak akan kesulitan dalam memahami perkara akidah. Sehingga dalam akidah setiap muslim terlarang untuk taqlid. Hal tersebut dijelaskan Allah SWT dalam firmanNya :

 

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ

Artinya :: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al Baqarah ayat 170).

 

Berdasarkan ayat mulia di atas, orang-orang kafir tak mau mengikuti akidah haq dari Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mereka dalam akidah bersikap taqlid pada nenek moyang, walaupun nenek moyangnya dalam kesesatan. Ini menunjukkan taqlid dalam akidah adalah tercela. Jelaslah, berakidah Islam haruslah dengan pemahaman dan berdalil baik aqli maupun naqli.

 

Hukum Taqlid Dalam Syari’at Islam

 

Syari’at adalah hukum syara’ yang mengatur seluruh perbuatan hamba Allah SWT dan sifat-sifat yang dapat dianggap sebagai bagian dari perbuatan hamba. Seorang muslim perbuatannya haruslah terikat hukum syara’ sebagai konsekuensi dari keimanannya. Allah SWT berfirman :

 

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Artinya: Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. An Nur ayat 51).

 

Dalam perkara syari’at ada tuntutan untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu, tergantung pada dalilnya. Dalil syari’at hanya bersifat naqli, tak ada yang dalil aqli. Dalil naqli syari’at ada dua yaitu qath’i dan dzhanni. Untuk dalil qath’i mencakup qath’i tsubut maupun dalalah. Di dalamnya tak ada ruang ijtihad, sehingga muslim tak boleh ada taqlid di dalamnya. Seperti kewajiban shalat lima waktu, kewajiban puasa ramadhan, kewajiban jilbab, haramnya riba, wajibnya potong tangan bagi pencuri, dan sebagainya.

 

Untuk dalil dzhanni mencakup qath’i tsubut tapi dzhanni dalalah, dzhanni tsubut tapi qath’i dalalah serta dzhanni tsubut maupun dalalah. Dzhanni tsubut maksudnya sumber dalilnya berupa hadits ahad (shahih, hasan dan dha’if). Dzhanni dalalah maksudnya dalil multimakna (menunjukkan pada arti yang masih dapat dita’wil atau dialihkan pada arti yang lain). Seperti hukum qunut dalam shalat subuh, hukum cadar, hukum musik, hukum sewa tanah pertanian, hukum wudhu jika menyentuh non mahram dan sebagainya.  

 

Bagi setiap muslim yang mukallaf hukum asalnya memahami sendiri hukum syara’ yang berdalil dzhanni agar dapat mengamalkannya. Hanya saja realitanya, kemampuan muslim mukallaf dalam memahami hukum syara’ yang berdalil dzhanni berbeda-beda. Harus diakui tak mudah untuk menggali hukum dalam dalil dzhanni kecuali para mujtahid. Terbuka ruang ijtihad dalam dalil dzhanni bagi para mujtahid. Untuk muslim mukallaf yang belum mencapai taraf mujtahid, wajib bagi dirinya untuk bertaqlid pada seorang mujtahid. Agar dirinya tetap terikat pada hukum syara’ walaupun dirinya kurang memahami dalil-dalinya. Sesuai dengan firman Allah SWT :  

 

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS. An Nahl ayat 43).

 

Hukum asal mujtahid tidak boleh bertaqlid pada mujtahid lainnya. Karena dirinya dipandang mampu untuk memahami sendiri hukum syara’ berdalil dzhanni. Kecuali pada kondisi yang membolehkan  atau mewajibkannya untuk bertaqlid pada mujtahid lain.

 

Boleh seorang mujtahid bertaqlid pada mujtahid lain dalam dua kondisi. Pertama jika pendapat mujtahid lain dipandang lebih mendekati kebenaran. Karena mujtahid lain tersebut lebih mampu mengaitkan suatu masalah atau lebih memahami fakta dan lebih kuat dalil-dalinya dibanding dirinya. Kedua adanya pendapat mujtahid lain yang dapat menyatukan kaum muslim dan untuk kemashlahatan kaum muslim.

 

Wajib seorang mujtahid meninggalkan pendapatnya dan bertaqlid pada mujtahid lain dalam dua kondisi. Pertama jika dalam satu masalah ternyata tampak jelas bagi dirinya dalil yang digunakan dirinya dhaif sedangkan mujtahid lain lebih kuat. Kedua khalifah sudah mengadopsi hukum syara’ hasil ijtihad yang berbeda dengan ijtihad dirinya. Karena berdasarkan ijma’ shahabat, perintah khalifah wajib dilaksanakan oleh seluruh kaum muslim. Wallahu a’lam bish-shawabi. (rf/voa-islam.com)

 


latestnews

View Full Version