Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam- keluarga dan para sahabatnya.
Amalan sunnah kurang diperhatikan setelah menjalankan shalat Witir adalah bertasbih dan berdoa sesudahnya. Ini bisa terjadi karena belum tahu adanya tuntunan zikir dan doa ini, atau karena kurang memperhatikan dan lemah semangat menjaganya.
Disunnahkan setelah salam dari Shalat witir agar membaca tasbih, Subhanal Malikil Quddus. Ini didasarkan kepada hadits Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَفِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَفِي الثَّالِثَةِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Adalah Rasulullah membaca dalam Shalat Witir dengan سَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى (surat Al-A’la), pada rakaat kedua membaca: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (Surat Al-Kaafirun), dan pada rakaat ketiga dengan membaca: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (Surat al-Ikhlash). Apabila beliau sudah salam, beliau membaca: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ (Subhanal Malikil Quddus) sebanyak tiga kali.” (HR. Abu Dawud, Al-Nasai, Ibnu Majah. Dishahihkan Syaikh Al-Albani di Shahih Al-Nasai no. 1739)
Dalam tambahan oleh Imam Daaruquthni dengan sanad Shahih: رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوْحِ(Rabbul Malaaikati Warruuh).
Dari jalur Abdurrahman bin Abza, dari bapaknya terdapat tambahan, “Dan beliau meninggikan suaranya pada bacaan yang terakhir.” Sehingga ringkasnya, pada bacaan yang ketiga ditinggikan dan dipanjangkan suaranya dengan tambah bacaan Rabbul Malaaikati Warruuh. (Diringkaskan dari Hisnul Muslim, pada Bab: Dzikir ‘Uqbas Salam Minal Witri, lihat juga Zaadul Ma’ad yang telah di tahqiq Syu’aib Al-Arnauth dan Abdul Qadir Al-Nauth: 1/337)
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam membaca di akhir witirnya,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سُخْطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
‘Allaahumma innii a’uudzu bi-ridlaaka min sakhathika, wa bi-mu’aafaatika min ‘uquubatika, wa a’uudzu bika min-ka laa uhshii tsanaa-an ‘alaika, anta kamaa atsnaita ‘alaa nafsika’
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dengan keridlaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dengan maaf-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung dengan-Mu dari-Mu. Aku tidak bisa menghitung pujian kepada-Mu sebagaimana Engkau telah memuji diri-Mu sendiri” (HR. Abu Dawud, al-Nasi, dan Ahmad. Dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Ada tiga pendapat Ulama dalam menetapkan waktu membaca doa di atas: Pertama, dibaca saat qunut witir dan bagian dari doa yang dibaca di dalamnya.
Kedua, dibaca saat duduk tasyahhud sebelum salam –ini yang Nampak dari dzahir lafadznya menurut Hasyiyah al-Sindi-.
Ketiga, dibaca ba'da (sesudah) salam berdasarkan redaksi dari hadits Ali yang lain, “Aku pernah menginap di rumah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam, dan aku mendengar beliau ketika usai dari shalatnya dan berbaring di tempat tidurnya berdoa: (dengan doa di atas). . .” Wallahu Ta’ala A’lam. [PurWD/voa-islam.com]