Oleh: Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat
Pada 24 Agustus, saya menulis sebuah opini yang mengecam Universitas Indonesia (UI) atas keputusan yang sangat mengganggu untuk mengundang Peter Berkowitz, seorang pembela tanpa penyesalan terhadap pendudukan brutal Israel di Palestina, untuk berbicara pada orientasi pascasarjana. Namun, seburuk apa pun pilihan UI, hal itu tampak kecil dibandingkan dengan keputusan yang jauh lebih keterlaluan yang dibuat oleh organisasi Muslim terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), hanya satu minggu sebelumnya. NU, sebuah institusi yang mengklaim mewakili jutaan orang Indonesia dan umat Muslim di seluruh dunia, mengundang Berkowitz untuk berbicara di akademi kepemimpinannya—sebuah keputusan yang menunjukkan kegagalan besar dalam hal penilaian, etika, dan tanggung jawab.
NU bukan sekadar sebuah organisasi Muslim; ia adalah fondasi lanskap keagamaan dan sosial Indonesia. Selama beberapa generasi, NU telah menjadi simbol keadilan, kasih sayang, dan solidaritas—terutama bagi Palestina, yang perjuangannya telah dipeluk oleh rakyat Indonesia sebagai perjuangan pembebasan melawan bentuk kolonialisme dan penindasan yang paling brutal. Mengundang seseorang seperti Peter Berkowitz—seseorang yang telah menghabiskan kariernya untuk membenarkan kejahatan perang Israel dan melanggengkan genosida terhadap rakyat Palestina—bukan hanya sebuah kesalahan. Itu adalah pengkhianatan terang-terangan terhadap nilai-nilai yang diklaim NU untuk dijunjung tinggi.
Berkowitz bukanlah akademisi netral atau pakar hak asasi manusia. Ia adalah pembela aktif rezim apartheid Israel, kampanye militernya, dan pendudukan tanpa henti atas tanah Palestina. Ia telah bertahun-tahun merasionalisasi penindasan sistematis terhadap rakyat Palestina, menolak hak mereka untuk melawan, dan membersihkan citra kejahatan perang Israel yang sedang berlangsung. Tulisan-tulisannya berulang kali mendukung kekerasan terhadap warga sipil, dan rekam jejaknya menunjukkan dukungan tanpa henti terhadap kebijakan yang mendehumanisasi seluruh bangsa. Bahwa seseorang dengan agenda yang begitu jelas dalam membela genosida dan pendudukan diundang berbicara oleh NU—sebuah organisasi yang mengklaim mewakili kaum tertindas—adalah sesuatu yang sama sekali tidak dapat diterima.
. . . Berkowitz bukanlah akademisi netral atau pakar hak asasi manusia. Ia adalah pembela aktif rezim apartheid Israel, kampanye militernya, dan pendudukan tanpa henti atas tanah Palestina. . .
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa undangan NU kepada Berkowitz hanyalah sebuah “pertukaran intelektual,” kesempatan untuk mendengar pandangan beragam mengenai hak asasi manusia dan hukum internasional. Tetapi argumen ini tidak hanya naif; ia juga bangkrut secara moral. Ini bukanlah persoalan kebebasan akademik atau dialog. Ada gagasan-gagasan tertentu yang sama sekali tidak boleh diberikan legitimasi. Ada suara-suara tertentu yang sama sekali tidak boleh diperkuat, terutama ketika mereka mengadvokasi penaklukan dan pemusnahan seluruh bangsa. Dengan mengundang Berkowitz, NU telah memberikan kredibilitasnya kepada seorang pria yang membela pembantaian rakyat Palestina—sebuah langkah yang menunjukkan pengabaian total terhadap prinsip moral Islam maupun tanggung jawab etis sebagai pemimpin Muslim global.
Pengkhianatan sejati di sini bukan hanya terhadap Palestina, tetapi juga terhadap inti ajaran Islam dan nilai-nilai yang seharusnya membimbing setiap Muslim. Ajaran Islam mendorong kita untuk berdiri bersama kaum tertindas, membela yang tak bersalah, dan menolak tirani serta kekerasan dalam segala bentuknya. Umat, persaudaraan kolektif Muslim, seharusnya menjadi sumber solidaritas dan kasih sayang—sebuah pengingat bahwa ketika satu bagian dari komunitas menderita, seluruh komunitas ikut menderita. Namun, keputusan NU untuk memberikan panggung kepada seseorang yang tanpa penyesalan mendukung pendudukan brutal atas tanah Palestina secara langsung merusak tanggung jawab suci ini.
Indonesia telah lama menjadi mercusuar harapan bagi Palestina, rakyatnya berdiri teguh menentang kekuatan kolonialisme dan penindasan. Konstitusi Indonesia sendiri menegaskan penolakan terhadap kolonialisme, dengan menyatakan bahwa “kolonialisme harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan.” Namun di sini, NU—organisasi Muslim paling berkuasa di Indonesia—mengundang seseorang yang membela praktik kolonial yang justru diperangi Indonesia dengan susah payah. Ini bukan sekadar kelalaian; ini adalah keruntuhan moral.
Dengan memberikan panggung kepada Berkowitz, NU telah mengirimkan pesan yang sangat buruk kepada para pengikutnya dan kepada dunia: bahwa kehidupan rakyat Palestina, penderitaan mereka, dan perjuangan mereka untuk keadilan adalah sesuatu yang bisa diperdebatkan. NU telah menyiratkan bahwa membela hak-hak kaum tertindas hanyalah opini politik biasa, dan bahwa mereka yang membela genosida serta pendudukan harus diperlakukan dengan hormat yang sama. Ini adalah sebuah tragedi. Tidak ada “perdebatan” ketika menyangkut genosida. Tidak ada posisi “netral” ketika menyangkut mendukung pembebasan bangsa yang tertindas.
Yang sangat mengecewakan adalah bahwa pimpinan NU seharusnya lebih tahu. Sebagai organisasi yang selama ini menempatkan diri sebagai pembela hak asasi manusia dan keadilan, keputusan NU untuk mengundang Berkowitz menunjukkan kebutaan moral yang mengkhawatirkan. Hal ini berisiko menyelaraskan NU dengan kekuatan-kekuatan penindasan yang dulu dengan bangga ditentangnya. Apa artinya bagi kompas moral NU ketika ia memberikan undangan kepada seseorang yang membenarkan kejahatan perang, membela pembunuhan sistematis terhadap warga sipil tak berdosa, dan mendukung pencurian berkelanjutan atas tanah Palestina?
Ini bukan hanya kegagalan politik bagi NU—ini adalah kegagalan moral dan spiritual. Islam mengajarkan bahwa keadilan bukanlah pilihan; ia adalah kewajiban mendasar. Kewajiban untuk membela yang lemah, berbicara bagi mereka yang suaranya dibungkam, dan menolak segala bentuk penindasan. Dengan mengundang Berkowitz, NU telah melepaskan tanggung jawab itu. NU telah memilih untuk bersekutu dengan mereka yang melanggengkan kekerasan dan ketidakadilan, membelakangi prinsip kasih sayang, rahmat, dan keadilan yang seharusnya mendefinisikan misinya.
Ini adalah momen perhitungan bagi NU. NU harus bertanya pada dirinya sendiri: apa yang ia perjuangkan? Apakah ia sebuah organisasi yang berkomitmen pada keadilan dan solidaritas, ataukah ia telah menjadi sekadar suara lain dalam paduan suara mereka yang berusaha membenarkan dan menormalkan penindasan? Jika NU ingin tetap menjadi pemimpin sejati dunia Muslim, ia harus mengakui kegagalannya ini dan segera mengambil tindakan untuk menegaskan kembali komitmennya pada nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan solidaritas dengan kaum tertindas.
Rakyat Indonesia—dan umat Muslim di seluruh dunia—berhak mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada ini. NU harus melakukan lebih dari sekadar meminta maaf. Ia harus membatalkan undangan kepada Peter Berkowitz dan secara terbuka menegaskan kembali dukungannya terhadap Palestina dan hak-hak kaum tertindas. Jika NU benar-benar percaya pada prinsip-prinsip Islam, ia harus membuktikan bahwa ia siap bertindak atas prinsip-prinsip itu, bahkan ketika sulit, bahkan ketika secara politik berisiko. Demi Palestina, dan demi integritas moralnya sendiri, NU harus memilih keadilan daripada kompromi, serta solidaritas dengan kaum tertindas daripada berkompromi dengan para penindas. [PurWD/voa-islam.com]
*Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat adalah Direktur Desk Indonesia-MENA di Centre for Economic and Law Studies (CELIOS) di Jakarta dan Peneliti Afiliasi di Middle East Institute, National University of Singapore. Ia menghabiskan lebih dari satu dekade untuk tinggal dan bepergian di seluruh Timur Tengah, meraih gelar B.A. dalam Hubungan Internasional dari Qatar University. Ia kemudian menyelesaikan gelar M.A. dalam Politik Internasional dan Ph.D. dalam bidang Politik di University of Manchester.