Jakarta (voa-islam) Dalam melakukan tugas jurnalistiknya dalam peliputan kasus-kasus terorisme, para wartawan dinilai melakukan kesalahan besar. Demikian dikatakan Leo Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers, di Gedung Dewan Pers, Jakarta (27/8) terkait maraknya pemberitaan mengenai tindakan terorisme di media masa.
“Ada tiga dosa media dalam liputan bom,” katanya. Dosa yang pertama, adalah banyak tayangan di media yang sebenarnya tidak patut untuk ditampilkan karena menimbulkan rasa takut dan trauma. Kedua, saat ini wartawan bertindak menjadi interogator terhadap anggota keluarga yang diduga sebagai teroris. Padahal hal tersebut tidak dibenarkan dalam kode etik. Dan dosa yang ketiga, kata Leo, wartawan juga seperti malas mencari alternatif versi lain dari apa yang disampaikan sumber resmi.
Dosa yang pertama, adalah banyak tayangan di media yang sebenarnya tidak patut untuk ditampilkan karena menimbulkan rasa takut dan trauma. Kedua, saat ini wartawan bertindak menjadi interogator terhadap anggota keluarga yang diduga sebagai teroris. Padahal hal tersebut tidak dibenarkan dalam kode etik. Dan dosa yang ketiga, wartawan seperti malas mencari alternatif versi lain dari apa yang disampaikan sumber resmi.
Leo menyayangkan hal tersebut karena menurutnya tugas pokok wartawan adalah memberikan informasi kepada masyarakat. Adalah suatu kewajiban bagi wartawan untuk membuat masyarakat melek informasi. Meski demikian wartawan harus dapat memilah mana berita yang pantas untuk dikonsumsi publik.
Ia menuturkan, alat ukur patut tidaknya sesuatu kejadian diberitakan adalah lima fungsi pers, kode etik jurnalistik, dan standar program siaran. “Yang penting dulu tau dasarnya, Apakah itu pantas di-shoot? Kalau media cetak apakah itu pantas diprint,” ujarnya.
Terkait Pemberitaan Media, Abu Jibril Keberatan Dicap "Bapak Teroris"
Terkait labeling sembrono oleh media, rombongan keluarga Mohammad Jibril yang dipimpin ayahnya, Abu Jibril, akhirnya ditemui anggota Komisi I DPR, Ali Mochtar Ngabalin, di ruang tamu komisi, Kamis (27/8) sore. Dalam pertemuan tersebut, salah satu hal yang dikeluhkan Abu adalah stigma atau cap yang langsung melekat kepada keluarganya sebagai keluarga teroris.
"Sekarang, saya disebut sebagai bapak teroris dan anak teroris. Kami minta agar pengertian jihad tidak keliru dan kami siap berdebat terbuka dengan siapa saja," kata Abu, yang juga anggota Majelis Mujahidin Indonesia.
Menurut Abu, tindakan pemberantasan terorisme yang dilakukan pihak kepolisian selama ini sudah menimbulkan stigma bagi keluarga. Padahal, putranya yang tengah diperiksa intensif oleh Polri belum tentu seorang teroris. "Tapi dia sudah dituduh sebagai penyandang dana, padahal belum tentu dia teroris," ungkap Abu.
Sementara itu, Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, pihaknya akan segera mengatur jadwal pertemuan Komisi I dengan Majelis Mujahidin Indonesia. Menurut Ngabalin, dalam hal ini, masyarakat awam perlu diakomodasi untuk bersuara.
"Mereka tidak bisa bersuara atas apa yang dihadapi di lapangan, atas fitnah yang beredar, termasuk intimidasi. Yang bisa bersuara adalah parlemen karena bisa memanggil Kapolri," ujar Ngabalin yang sebelumnya sudah mengenal Abu Jibril.
Jadwal pertemuan sendiri belum dipastikan karena Komisi I masih disibukkan dengan sejumlah agenda tugas kedewanan.
Keluarga merasa terancamAbu Jibril juga membeberkan, keluarganya menerima ancaman dan intimidasi saat menolak menandatangani surat penangkapan Mohammad Jibril. Alasan penolakan, ungkap dia, karena terjadi kesalahan prosedur penangkapan.
"Pukul 12 malam tadi, polisi datang mengembalikan barang bukti dan ada surat penangkapan yang diminta ditandatangani. Anak saya, adik Mohammad Jibril, menolak karena kakaknya sudah ditangkap kok baru dikasih surat. Kemudian dipaksa, tapi tetap tidak mau," ungkapnya.
Ancaman mendapat tindak kekerasan, masih pengakuan Jibril, juga diterima saat dirinya menolak menandatangani berkas penggerebekan di rumahnya. "Mereka bilang, apa ustaz mau dengan kekerasan? Saat itu datang 20-30 orang Densus pukul 12 malam, mereka periksa rumah saya sampai pukul 3 pagi," kata Abu. Tindakan tersebut, ujarnya, menimbulkan rasa terancam pada dirinya dan keluarga.