SOLO (Voa-Islam) – Ada yang aneh dari kota Laskar, Solo. Di beberapa sudut kota yang memiliki luas wilayah 44,04 km2 dan didiami penduduk sebanyak 653.659 jiwa itu, tersebar beberapa warung makan yang menjual makanan yang bagi kebanyakan penduduk beragama Islam adalah tidak lazim.
Sejak beberapa tahun silam pada awal-awal tinggal di kota Laskar ini, jurnalis Voa Islam memang pernah dinasehati seorang penjual gudeg untuk tidak makan di warung yang menjual Sate Jamu. Lho kenapa ?
Padahal dua kata yang dipadukan itu, kata pertamanya saja menunjukkan makanan yang diolah dengan cara dipanggang diatas bara api dan diberi bumbu kecap atau kacang. Tentu saja terbayang rasa lezat, sedangkan kata kedua menunjukkan ramuan tradisionil yang pastinya segar dan menyehatkan. Sehingga paduan dua kata itu tentulah menjadi sesuatu yang sangat dicari oleh pecinta kuliner, karena lezat dan menyehatkan.
Namun nanti dulu! Bayangan yang enak dan ideal tersebut hendaknya ditarik saja setelah kita mengetahui makna praktis di lapangan tentang apa yang disebut Sate Jamu tersebut. Sate Jamu yang dimaksud adalah makanan yang bahan pokoknya adalah daging dari hewan yang sering dekat dengan sebahagian masyarakat dan terkenal sangat setia kepada pemliknya, yakni Anjing atau Guk-guk. Cara penyajiannya bermacam-macam, mulai dari dipanggang ala sate, dicampur rica-rica, digoreng hingga dioseng basah (nyemek) atau kering.
Sejarah Sate Jamu
Menurut kawan kami yang memang asli orang Solo -sebagaimana yang ditulis dalam blognya (ahmedfikreatif.wordpress.com)-, makanan ini konon telah dikenal sejak lama, sejak tahun 1970-an. Disebut sebagai Sate Jamu dikarenakan daging Anjing yang disate itu diyakini memiliki nilai “gizi” sebagai jamu atau obat kuat. Dan agar menjadi “jamu” bagi si penikmatnya, daging anjing yang dijadikan sebagai bahan menu-menu masakan ini tidak disembelih.
Konon, anjing-anjing itu dimatikan dengan cara yang sadis agar darahnya tetap ada di dalam Anjingnya. Beberapa metode yang dipakai bisa dengan memukul anjing sampai mati, menenggelamkan anjing di dalam kolam air, atau dicekik dengan bantuan tali. Konon, darah yang tidak terbuang itu dipercaya selain menambah selera namun juga memperkuat “vitalitas” stamina.
Bagi muslim yang meyakini keharaman Anjing sebagai makanan /konsumsi, maka jangan coba-coba untuk datang dan memesan Sate Jamu. Kecuali jika menganggap daging Anjing adalah halal untuk dikonsumsi. Apa ada yang berpendapat seperti ini? Jawabnya ada!
Di Solo ada sebuah komunitas pengajian dakwah di Solo - memiliki jamaah sangat banyak- yang memfatwakan HALAL-nya Anjing untuk dipelihara dan dikonsumsi. Fatwa itu sepertinya muncul seiring dengan populernya masakan Sate Jamu itu di Solo pada tahun 1970-an. Lembaga dakwah yang memfatwakan Halal-nya anjing itu dulu sering mengadakan pengajian di kawasan Darpoyudan-Kemlayan Solo dan berpusat di kawasan Semanggi Pasarkliwon.
Namun beberapa waktu lalu, ustadz yang jadi pimpinan sekarang dari lembaga dakwah yang bersangkutan itu menyatakan dalam ceramah yang disiarkan melalui radionya bahwa ia dan lembaga dakwahnya menolak fatwa itu. Ia dengan jelas menyatakan bahwa daging Anjing tetaplah haram untuk dikonsumsi.
Kuliner Berbasis Daging Anjing
Di beberapa daerah di Indonesia, ditemukan fakta bahwa memang daging anjing disantap sebagai sumber protein baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Di Manado dan Minahasa, daging anjing dikenal dengan istilah RW (dibaca: erwe), singkatan dari rintek wuuk (bahasa Manado: "bulu halus"), suatu eufemisme untuk anjing. Masakan Batak mengenal masakan daging anjing yang diberi kode B1, dari kata biang (bahasa Batak: "anjing"), meskipun bukan makanan terpopuler dalam kuliner Tapanuli.
Kuliner Sate Jamu Guk-guk atau warung Rica-rica Guk-guk tidak hanya terdapat di Kota Solo. Di wilayah Karanganyar, warung yang mengolah dan menyajikan kuliner dari daging anjing ini bisa mudah ditemui. Juga di Klaten dan Yogyakarta, sebagaimana dikisahkan oleh Yusuf Maulana dalam blognya. Di sepanjang Jalan Diponegoro, Purwodadi (dari Simpanglima Purwodadi ke arah kota Solo) juga akan banyak ditemui warung pinggir jalan yang menawarkan dagangan ini.
Dalam sebuah penelitian seorang Mahasiwa, terungkap bahwa di Kecamatan Laweyan, Solo yang dahulu pernah menjadi basis Serikat Dagang Islam (lalu berubah menjadi SI dan terakhir PSII) saja pada tahun 2011 ditemukan 10 warung yang menjual panganan dari daging Guk-guk itu.
Kepala Disnakan Karanganyar, Sumijarto seperti yang diangkat solopos.com bahkan menyatakan bahwa di Karanganyar saja ada sekitar 40-an pedagang yang menjual makanan olahan dari daging anjing tersebut. Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakan) Karanganyar menyebut di wilayah Bumi Intanpari tak kurang dari 30-40 ekor anjing ‘disembelih’ untuk dikonsumsi dagingnya.
Padahal, tidak ada data pasti tentang manfaat mengonsumsi daging tak lazim tersebut. Selain itu, berbagai penyakit seperti rabies juga mengintai di balik konsumsi daging anjing. Pedagang diduga mendapat pasokan daging anjing dari wilayah Jawa Timur dan Jawa Barat. Padahal daerah-daerah itu belum bebas dari penyakit rabies yang menular.
“Ada kasus di Sleman dan Bantul. Akibat konsumsi daging itu, ada sejumlah warga di daerah Sleman dan Bantul yang terserang rabies dan meninggal. Disinyalir mereka makan daging anjing yang didatangkan dari daerah yang belum bebas rabies.” Kata Sumijarto.
“Karena itu kami mengambil sejumlah sampel dari beberapa pedagang untuk diteliti apakah mengandung virus tersebut atau tidak,” tambahnya, demikian saat dijumpai wartawan di lingkungan Setda Karanganyar, Rabu (24/9/2014). Petugas telah mengambil 42 sampel daging anjing, dimana 30 diantaranya dikirim ke Balai Veteriner Yogyakarta.
Resiko Dampak Rabies
Sebagaimana dikutip dari Viva.com, 98 persen kasus rabies yang terjadi pada manusia ditularkan oleh anjing, lainnya disebabkan kucing dan kera.
Menurut keterangan daridr. Andi Muhadir, Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2PB) dari Kementerian Kesehatan, gejala rabies pada manusia terbagi atas empat stadium: prodormal, sensoris, eksitasi, dan paralisis.
1. Stadium Prodormal (permulaan)
Pada tahap ini, tak ada gejala khusus penyakit rabies. Banyak yang menganggapnya sebagai infeksi virus biasa. Tanda-tandanya: lemah dan lesu, nafsu makan berkurang, demam, sulit tidur, mual dan muntah, sakit kepala berat, dan nyeri tenggorokan.
2. Stadium Sensoris (rangsangan)
“Di tahap ini, stadium sudah menyerang atau memberikan reaksi berlebih terhadap rangsangan sensorik,” kata Andi. Gejalanya berupa nyeri, timbulnya rasa panas dan kesemutan pada luka gigitan atau cakaran, serta meningkatnya perasaan cemas.
3. Stadium Eksitasi (gila)
Gejala perubahan fisik mulai terlihat. Seseorang yang terinfeksi rabies di tahap ini mulai berteriak, berlari, dan melompat-lompat. Ia juga menjambak rambut, takut air, cahaya, serta suara, berliur berlebihan, dan keluarnya cairan tubuh seperti air mata.
4. Stadium Paralisis (lumpuh)
Jika sudah parah, rabies bisa menyebabkan kelumpuhan. Ciri-cirinya: mulut menganga, dan lumpuh dari kaki hingga otot pernafasan sehingga sulit bernafas. Dalam empat sampai enam hari setelah gejala pertama muncul, seorang penderita bisa meninggal.
Fenomena Sate Jamu Cukup Diperhatikan
Fenomena keberadaan warung-warung sate jamu atau sate guguk yang ada di Kota Solo, seperti yang diteliti oleh Mahasiwa (http://bhianrangga.wordpress.com)- telah membuat Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas ) Kota Solo memandang perlu adanya perubahan nama pada warung-warung yang menjual sate gu-guk dengan istilah “Sate Jamu” menjadi nama lain agar tidak terjadi kesalahan persepsi.
Para penjual sate jamu yang ada di Kota Solo diberikan himbauan agar tidak memasang nama Sate Jamu dalam daftar menu mereka, namun disarankan untuk menggantinya dengan nama yang dirasakan lebik eksplisit, seperti Warung Sate Guguk ataupun nama yang lain.
Penamaan kuliner warung-warung yang menjual sate atau rica yang berbahan dasar anjing ini berkaitan dengan informasi kepada orang awam agar tidak terjadi missed persepsi. Terkadang penamaan menggunakan istilah Sate Jamu dapat menyebabkan orang yang tidak tahu menjadi terjebak.
Beberapa kasus yang pernah muncul diantaranya banyak konsumen yang terjebak untuk menikmati sate jamu karena mereka tidak mengetahui bahwa bahan dasarnya adalah daging anjing. Biasanya konsumen yang terjebak tersebut berasal dari luar Kota Solo, wisatawan, atau orang yang hanya sekedar singgah.
Umumnya calon konsumen yang tidak tahu-menahu perihal Sate Jamu mendatangi warung Sate Jamu sekedar untuk mencicipi hidangan kuliner yang sekaligus bermanfaat bagi kesehatan karena didalamnya mengandung kosakata “jamu‟ yang sekilas mengarah kepada konotasi kesehatan, namun setelah mengetahui bahwa penamaan Sate Jamu adalah substansi yang berbeda maka ada yang langsung mengurungkan niatnya.
Lagi pula, jenis-jenis jajanan Kuliner yang amat beragam di kota Solo selain yang dilaporkan ini sebenarnya banyak. Tidak urung, wartawan kuliner yang amat terkenal di televisi, Bondan Winarno juga cukup banyak menulis laporan tentang berbagai jajanan Kuliner yang nikmat dan jelas halal serta menyehatkan ada di kota Laskar ini. (AF/dbs/voa Islam.com)