View Full Version
Kamis, 15 Jan 2015

Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Kirim Mahasiswa Belajar Pengobatan Herbal ke Cina

JAKARTA (voa-islam.com) - Universitas Muhammadiyah Profesor Dr Hamka atau Uhamka, Jakarta, mengembangkan pengobatan herbal. Karena, kata Rektor Uhamka Profesor Suyatno, Indonesia punya potensi luar biasa pada tanaman herbal.

Sayangnya, Indonesia ketinggalan dalam pengembangan pengobatan herbal dari negara lain seperti Thailand. Padahal, ungkap Prof Suyatno, potensi tanaman herbal Indonesia jauh lebih besar daripada Thailand. ”Makanya, sudah saatnya Indonesia mengembangkan pengobatan herbal,”kata Prof Suyatno di Jakarta, Rabu (14/1).

Indonesia, tambahnya, merupakan negara tropis yang tanaman obatnya banyak dan bervariasi.

Tapi, ternyata, masyarakat hanya disuruh menggunakan obat-obatan kimia sebab obat kimialah yang banyak dikembangkan di Indonesia. ”Uhamka sekarang mengembangkan pengobatan herbal.

Mahasiswa Uhamka dikirim ke Cina untuk belajar pengobatan herbal,” ungkapnya. Jika semakin banyak ahli tanaman herbal, lanjutnya, masyarakat punya pilihan untuk berobat secara herbal yang mendapatkan legalitas dari pemerintah.

95% Bahan Baku Industri Farmasi diimpor dari luar negeri.

Di Indonesia, garam dan kacang kedelai saja impor. Karena itu, sebenarnya bukan hal yang mengejutkan kalau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan hampir 95% kebutuhan bahan baku obat masih harus impor.

“Industri obat, 95 persen kebutuhan bahan bakunya adalah impor. Makanya kami saat diskusi dengan pelaku usaha mendorong untuk mengembangkan industri bahan bakunya,” ujar Kepala BKPM Franky Sibarani di Jakarta, Selasa lalu (13/1). Bahan baku industri farmasi umumnya diimpor dari Cina, India, Eropa, dan Amerika Serikat.

Ada sejumlah faktor yang mengakibatkan impor bahan baku obat begitu tinggi, menurut analisis BKPM. Salah satunya adalah regulasi pemerintah yang melarang perusahaan farmasi asing menjual produk di Indonesia tanpa memiliki fasilitas produksi. Begitu pula ketatnya regulasi pemerintah mengenai standard kualitas produk.

Di sisi lain, investasi pembangunan pabrik farmasi masih dinilai berisiko tinggi karena butuh waktu lama sebelum menghasilkan keuntungan yang nilainya tidak lebih besar daripada modal. Tambahan pula, investor asing harus bekerja sama dengan perusahaan lokal saat menanamkan investasinya di Indonesia. “Perusahaan farmasi multinasional biasanya punya kemampuan finansial yang kuat untuk berinvestasi di Indonesia tanpa perlu menyertakan investor lokal. Tapi, produsen obat asing akan kesulitan mencari investor lokal yang mau diajak kerja sama karena kekhasan investasi industri farmasi,” ungkap Franky.

BKPM mencata, total realisasi investasi di bidang bahan baku obat pada 2010 hingga September 2014 mencapai Rp 4,8 triliun, terdiri atas penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp 1,25 triliun dan penanaman modal asing (PMA) US$ 4,4 miliar. Akan halnya realisasi PMDN sampai dengan kuartal III 2014 mencapai Rp 0,75 triliun, turun dari 2013 yang sebesar Rp 3,6 triliun dan PMA sebesar US$ 885 juta, turun dari tahun sebelumnya yang US$ 1,3 miliar.

“Mereka menyampaikan beberapa perencanaan soal pengembangan industri, tapi akan kami dalami. Intinya, ada peluang cukup besar di sektor ini, setidaknya untuk dalam negeri,” kata Franky lagi.

Menurut Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal BKPM Himawan Hariyoga, industri farmasi Indonesia memang begitu bergantung pada impor bahan baku. ”Impor bahan baku obat itu mencapai 1 miliar dolar AS hingga 1,5 miliar dolar AS per tahun. Makanya, mereka menyampaikan pihaknya butuh dukungan supaya industri ini bisa memenuhi kebutuhan industri hilir,” tuturnya. [tom/didi/pribmui]


latestnews

View Full Version