Oleh:
Alfiyah Kharomah
Praktisi Kestrad Senior dan Founder Griya Sehat Alfa Syifa
EPISODE baru kesehatan dimulai. Layar carut marut kesehatan mulai terkembang. Teka-teki mau dikemanakan kesehatan Indonesia mulai terjawab. Sutradara dan kru bisnis kesehatan tak mau lewat ambil peran bagi-bagi cuan. Dimulai dari teken kebijakan naiknya tunjangan cuti pimpinan hingga naiknya jumlah Iuran yang kelewatan.
1 Agustus lalu, Sri Mulyani menandatangani PMK No. 112/PMK.02/2019. Beleid tersebut mengubah PMK sebelumnya yaitu, PMK No 34/PMK.02/2015. Dalam beleid tersebut, dijelaskan bahwa Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mendapat kenaikan tunjangan cuti tahunan. Besarannya hingga dua kali lipat dari gaji yang diterima oleh mereka. Apabila dihitung-hitung, tunjangan dirut bisa sampai 300 juta.
Muncul berita BPJS lagi-lagi defisit. BPJS mempekirakan Dengan proyeksi terbaru, defisit diramal bengkak menjadi Rp28,5 triliun pada tahun ini. Proyeksi pembengkakan tersebut berasal dari pengalihan (carry over) defisit tahun lalu ditambah beban pembayaran tagihan rumah sakit sejak awal tahun kemarin.
Kemudian, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut BPJS Kesehatan berpotensi defisit hingga Rp32,8 triliun pada tahun ini. Namun, angka defisit itu dapat ditekan hingga menjadi Rp14 triliun jika iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) naik mulai Agustus 2019. Ini membuat kebijakan untuk menaikan iuran BPJS tak mungkin ditolak.
Akhirnya, wacana kenaikan mengemuka. Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan merilis peraturan presiden (perpres) kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Rencananya, kenaikan iuran yang diatur dalam perpres tersebut akan mengacu pada usulan kenaikan yang sebelumnya disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Komisi XI DPR.
Saat itu, Sri Mulyani mengusulkan iuran BJKN kelas Mandiri I naik 100 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per peserta per bulan mulai 1 Januari 2020 mendatang. Lalu, iuran kelas Mandiri II naik dari Rp59 ribu menjadi Rp110 ribu per peserta per bulan. Kemudian, iuran kelas Mandiri III naik Rp16.500 dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per peserta per bulan.
Di sisi lain, pemerintah sudah menyiapkan ancang-ancang, bagi siapa saja yang tak mau bayar atau memiliki tunggakan. Melalui menteri Luhut Binsar Panjaitan, Perusahaan Cina, Ping An menawarkan untuk membantu mengevaluasi sistem teknologi informasi di BPJS Kesehatan. LBP mengatakan “Kalau orang melakukan penunggakan pembayaran itu gimana sih? Jadi misal langsung kita link nanti dengan polisi dan imigras. Sehingga, peserta menunggak, yang mau apply visa menjadi tidak bisa. Jadi musti ada punishment buat yang nunggak," ujarnya.
Meski saat ini, tawaran kerja sama tersebut masih dipelajari oleh BPJS. Karena banyak kekhawatiran publik terkait data dan keamanan. Menurut Rizal Ramli, ada potensi bahwa data-data kesehatan masyarakat Indonesia bisa disimpan oleh negara tirai bambu tersebut. “Masa sih soal BPJS saja minta bantuan China. Segitu tidak kreatifnya (pemerintah) atau ada 'udang di balik batu'”, Cuitnya di akun tweeter.
Apalagi, akhir-akhir ini banyak huru-hara yang dilakukan pemerintah. Mulai dari Krakatau steel, rusuh di Papua, masalah freeport, matinya listrik PLN dan seabrek masalah negeri lainnya. Ujung-ujungnya meminta bantuan ke asing dan Cina. Apa tidak mungkin penawaran itu akhirnya diterima BPJS juga?
Secara internasional, BPJS Kesehatan menjadi alat penerapan UHC (Universal Health Coverage) dalam SDGs (Sustainable Development Goals). Pemerintah telah menunjukkan komitmen yang kuat dan mengambil tindakan awal, termasuk menghubungkan sebagian besar target dan indikator SDGs ke dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RJPMN), menindaklanjuti konvergensi yang kuat antara SDGs, sembilan agenda prioritas presiden “Nawa Cita” dan RJPMN.
Dalam website resmi UHC2030.org, tertulis bahwa “The Sustainable Development Goal (SDG) resolution “Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development” emphasises that Universal health coverage (UHC) is the core driver of the SDG. Failure to ensure quality and affordable essential health services means failure to meet the SDG by 2030.” (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) “Mengubah dunia kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan” menekankan bahwa cakupan kesehatan semesta (UHC) adalah pendorong utama SDG. Kegagalan dalam memastikan kualitas dan layanan kesehatan dasar yang terjangkau berarti kegagalan untuk memenuhi SDG pada 2030.)
UHC merupakan target Pemerintah Indonesia untuk mencakup seluruh penduduk Indonesia dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 100% penduduk Indonesia tercover (baca: mendaftar) BPJS.
Ini tentu menggiurkan bagi pelaku bisnis untuk berinvestasi di bidang kesehatan. Dengan total penduduk Indonesia sebesar 265 juta jiwa. Sudah nampak potensi kapital yang terlihat. Dengan penerapan UHC, maka pemerintah dapat menghimpun dana dari seluruh masyarakat dengan dana yang besar.
Surplus dana tersebut kemudian akan menjadi keuntungan bagi perusahaan yang dapat diperbesar nilainya dalam bentuk investasi terutama sektor finansial, seperti ditanam di pasar modal dalam bentuk pembelian saham dan obligasi serta diendapkan di bank-bank yang menawarkan suku bunga deposito. Pendahulu BPJS, PT Askes dan PT Jamsostek telah membuktikan hal ini. Bahkan diberbagai negara, dana asuransi publik yang dikelola oleh badan pemerintah bahkan menjadi pelaku utama investasi di sektor finansial.
Tentu harus menjadi kewaspadaan bersama. Bahwa kesehatan Indonesia saat ini sedang diperdagangkan oleh mereka yang berkepentingan. Racun kapitalisme sudah mengurat akar hingga nadi kesehatan Indonesia. Hingga merubah, kesehatan yang bernilai kemanusiaan menjadi komoditas yang diperjual belikan.
Di sisi lain, kesehatan rakyat tak meningkat. Kasus buruknya pelayanan kesehatan tak terhitung banyaknya. Korupsi dan freud (kecurangan) menjadi rahasia umum yang maklumun.
Konsep BPJS memang rusak sejak dari akarnya. Jaminan kesehatan Nasional yang nampak indah, nyata-nyata hanyalah slogan racun berbalut madu. Konsep ini terlahir dari sistem rusak merusak Kapitalisme Sekulerisme akibat tak mampu menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat.
Harusnya para pemangku kebijakan belajar dari sejarah Islam. Bagaimana sistem kesehatan Islam berhasil ditulis dengan tinta emas peradaban. Contoh saja, Pada masa kepemimpinan Sultan Muhammad Al Fatih. Untuk memberikan layanan prima kepada warganya, beliau menetapkan beberapa kebijakan untuk rumah sakit. Rumah sakit tidak boleh memungut bayaran sedikitpun dari pasien. Di setiap rumah sakit ada dua orang dokter umum dan ditambah dengan dokter-dokter spesialis di bidangnya seperti ahli penyakit dalam, ahli bedah, ahli farmasi, sejumlah perawat dan pengawas keamanan. Sultan mensyaratkan pada semua yang bertugas di rumah sakit untuk memiliki sifat qana’at, rasa asih dan kemanusiaan.
Selain membangun rumah sakit dan berbagai macam akademi, beliau juga membangun komplek pertokoan, WC umum, pasar-pasar besar dan taman-taman terbuka. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga lingkungan tetap bersih dan higienis. Dia mengalirkan air ke dalam kota dengan jembatan-jembatan khusus.
Adapun pelayanan di Rumah sakit (Bimaristan) pasien laki-laki dan perempuan di rawat diruangan berbeda. Senua unsur yang ada dalam rumah sakit mendapat perhatian penuh dari segi pelayanan, makanan, pakaian, sanitasi lingkungan, sampai pembekalan pasca kesembuhan. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Arabian Medicine in The Middle Ages, Journal of The Royal Society of Medicine” yang terbit pada 1984. Rumah sakit yang tersebar di kawasan Arab memiliki karakteristik yang khas. Diantaranya, melayani semua orang tanpa membedakan warna kulit, agama, serta strata sosial.Wallahu’alam Bisshawab.*