Oleh: Amma Muiza
(Praktisi Kesehatan)
Para ahli jauh hari mengingatkan agar negara di dunia bersiap menghadapi mutasi virus SARS-Cov-2. Sayangnya, Indonesia seolah bergeming. Tanpa mitigasi mutasi virus yang jelas -kalau tidak boleh dikatakan nihil- kasus varian baru pun mulai muncul dan angkanya masih mungkin bertambah.
Sebagaimana diberitakan oleh Tribunnews.com, hingga kini telah terdeteksi enam kasus mutasi virus SARS-Cov-2, varian B.1.1.7 yang masuk ke Indonesia. Keenam kasus tersebut tersebar di lima provinsi meliputi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Kasus tersebut terdeteksi dari Tenaga Kerja Indonesia yang baru pulang dari luar negeri (10/3).
Kompas.com menyebutkan, saat berita mengenai temuan kasus mutasi ini mengemuka, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menyampaikan melalui tayangan video YouTube Sekretariat Presiden, agar masyarakat tidak khawatir dengan penemuan kasus mutasi tersebut. Sebab pada kasus tersebut penderitanya sudah sembuh dan dinyatakan negatif. Jokowi menambahkan pula bahwa belum ada hasil penelitian yang menunjukkan varian baru ini lebih mematikan (4/3).
Tanggapan presiden ini sangat disayangkan, sebab tidak mengandung skema peta jalan yang akan ditempuh pemerintah dalam menghadapi ancaman mutasi virus. Padahal besar harapan agar tidak lagi mengulangi kejadian setahun lalu, ketika Covid-19 telah menjadi perhatian dan pembicaraan dunia sementara pemerintah menanggapi dengan santai dan menganggapnya seperti flu biasa.
Pernyataan Presiden VS. Fakta di Lapangan
Sebetulnya, sejak awal mula kemunculan virus SARS-Cov-2 hingga kasusnya berkembang menjadi pandemi, para ahli sudah memperkirakan adanya kemungkinan mutasi dari virus ini. Mengingat sifatnya sebagai virus RNA, mutasi pada SARS-Cov-2 adalah mekanisme alamiah sang virus. Terbukti, hingga pertengahan Januari 2021 saja, para peneliti telah mengidentifikasi ribuan mutasi pada sampel SARS-Cov-2 di berbagai belahan dunia.
Tercatat dalam bank data genom virus, Nextrain.org, telah terjadi 15.898 kejadian mutasi pada tingkat asam nukleat yang menyebabkan 9.781 perubahan asam amino (14/1). Berbagai varian hasil mutasi pun bermunculan di berbagai negara. Termasuk di dalamnya varian B.1.1.7 yang semakin meluas penyebarannya. Hingga di tempat asalnya, Inggris, varian ini mendominasimenggantikan varian virus SARS-Cov-2 yang lebih awal.
Cukup terlambat sebenarnya jika Indonesia baru merumuskan langkah mitigasi varian virus ini. Sementara varian B.1.1.7 ini telah teridentifikasi sejak bulan September 2020 di Inggris dan tersebar hingga ke 93 negara. B.1.1.7 sebelumnya disebut sebagai Variant Of Concern (VOC) atau Varian Yang Menjadi Perhatian. Penamaan ini tentu bukan tanpa maksud. Sebab hasil penelitian telah menunjukkan agar varian ini tidak bisa dianggap biasa. Virus ini perlu perhatian khusus lantaran lebih cepat menular, dengan kecepatan penularan 50-70%.
Data dari GSAID per 8 Maret 2021, menunjukkan varian ini telah mencapai 19.2% di dunia. Semakin cepat penularan virus terjadi, semakin tinggi morbiditas dan potensi mortalitas yang harus diperhatikan. Berdasarkan hal ini, wajar jika banyak negara segera mengambil langkah-langkah mitigasi varian virus, seperti melakukan surveilans genom hingga meneliti efektivitas vaksin terhadap varian yang muncul.
Logikanya, Indonesia dengan jumlah kasus Covid-19 yang sangat tinggi memiliki peluang yang sangat besar akan kemunculan varian baru. Ditambah dengan mobilitas yang tidak dibatasi, kedisiplinan protokol kesehatan yang tidak terkontrol, semakin berlipat peluang virus bermutasi dan muncul varian baru. Kasus mutasi akan dapat terdeteksi dengan suveilans genom yang menyeluruh. Sementara Indonesia hingga pertengahan Februari 2021 baru mendaftarkan 0.03 persen genom dari total kasus Covid-19 yang ada ke GISAID, bank data virus internasional. Sehingga jika hingga akhir Februari 2021 belum ditemukan kasus mutasi, bisa jadi bukan karena tidak adanya kasus, melainkan surveilans genom yang kurang dan tidak terarah.
Langkah Strategis yang Harus Diambil Pemerintah
Dalam menghadapi ancaman mutasi virus, ditengah pandemi yang belum tampak akhirnya, tentu memerlukan keseriusan dari semua pihak yang didukung penuh oleh peran negara. Pemerintah mestinya menaruh perhatian lebih akan mitigasi varian baru, mengingat peluang mutasi virus yang tinggi. Di antara hal yang penting dilakukan antara lain:
Pertama, libatkan para ahli. Mitigasi ini memerlukan pemahaman akan biologi pandemi. Tentunya penting dalam hal ini agar melibatkan semua ahli terkait. Seperti ahli Epidemiologi, Biologi Molekuler, Penyakit Infeksi, dan lain-lain. Para ahli diberi kewenangan dan fasilitas agar dapat bekerja sesuai keahliannya yang berkaitan dengan pandemi dan risiko mutasi. Hasil pemikiran dan penelitian ahli inilah yang kemudian dijadikan rujukan dalam menentukan kebijakan pemerintah.
Kedua, surveilans genomik yang sistematik. Agar Negara tidak kehilangan kontrol terhadap mutasi virus dibutuhkan surveilans genomik. Sistem surveilans genomik memiliki peran sangat signifikan dalam mitigasi pendemi. Dengan surveilans genomik ini dapat diidentifikasi kemunculan varian baru hasil mutasi virus. Negara juga dapat melihat peta sebaran virus di wilayahnya. Kasus mutasi menjadi lebih cepat diketahui hingga kebijakan yang terarah dapat diambil oleh pemerintah.
Ketiga, edukasi intensif. Edukasi kepada seluruh rakyat menjadi bagian yang krusial untuk kesuksesan pelaksanaan kebijakan mitigasi. Edukasi ini bertujuan untuk membentuk kesadaran rakyat akan situasi yang harus dihadapi bersama. Peningkatan pengetahuan seputar biologi pandemi, hingga virologi sederhana diperlukan rakyat untuk memahami situasi. Selain itu, penting juga menutup kanal media yang malah menghambat masuknya informasi edukatif kepada rakyat. Sehingga akan terbentuk rakyat yang peduli dan mendukung setiap kebijakan pemerintah.
Keempat, tutup rapat pintu masuk virus. Kebijakan ini tidak kalah penting dalam manajemen mitigasi. Sebab akan percuma, jika hal lain sudah dilakukan, tetapi sumber masuknya virus tidak ditangani. Telah diketahui bahwa asal varian B.1.1.7 dari Inggris dan tersebar ke 93 negara lain. Maka minimnya perhatian terhadap hal ini, hingga enam kasus varian tersebut dapat masuk ke Indonesia, menunjukkan kegagalan menutup rapat pintu masuk varian B.1.1.7.
Semua hal tersebut dapat dilaksanakan dengan maksimal jika didukung oleh sistem yang benar. Sayangnya, dalam lingkungan yang berbasis sistem Kapitalis saat ini, penanganan pandemi termasuk mitigasi varian SARS-Cov-2 ini sering berbenturan dengan berbagai macam kepentingan. Kenyataan yang kita hadapi saat ini, banyak kebijakan di masa pandemi yang tidak lahir dari pertimbangan para ahli. Seperti kebijakan New Normal yang ditentang Epidemiolog kala itu, sebab kurva kasus Indonesia yang belum landai. Begitu pula dengan surveilans genomik yang membutuhkan dana besar.
Kendala dana ini membuat para peneliti Indonesia harus mencari pihak luar yang dapat mendanai kegiatan tersebut. Sebagaimana dibenarkan oleh Kepala Lembaga Penyakit Tropis Unair, Maria Inge Lusida (dalam Detik.com, 8/3) bahwa tidak ada regulasi serta dana dari pemerintah untuk melakukan whole genome sequencing secara periodik. Sehingga harus mencari pendukung dana untuk kegiatan ini.
Ini terjadi akibat landasan sistem yang kapitalistik, individualis dan paham agama yang minimalis. Benturan dengan kepentingan ekonomi, investasi asing, dan hitungan untung-rugi di atas keselamatan rakyat menjadi hal biasa. Kombinasi semua hal tersebut membentuk pemerintah yang tidak independen dan rakyat yang kurang peduli. Tak ayal, berbagai hal tersebut menghambat selesainya pandemi dan ancaman mutasi. Masihkah kita ingin mempertahankan sistem rusak ini? Wallahu a'lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google