View Full Version
Ahad, 15 Sep 2024

Mencari Akar Masalah Fenomena Gagal Ginjal pada Anak

 

 

Oleh: Naely Lutfiyati Margia, Amd.Keb

Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung menerima puluhan pasien anak yang harus cuci darah setiap bulannya. Meski begitu, pihak rumah sakit menyebut tak ada lonjakan signifikan jumlah pasien anak dengan penyakit ginjal (liputan6.com, 2/8/24).

Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso mengatakan setidaknya 1 dari 5 anak Indonesia berusia 12-18 tahun berpotensi mengalami kerusakan ginjal. Penyebabnya adalah gaya hidup mereka yang kurang sehat. Melalui survei yang dilakukan IDAI ditemukan kondisi hematuria dan proteinuria pada urine anak-anak, yakni adanya darah dan protein dalam air kencing mereka. "Ini salah satu indikator awal kerusakan ginjal. Ini menunjukkan gaya hidup anak-anak kita usia 12-18 tahun ini sangat memprihatinkan. Pola makannya, pola geraknya, pola tidurnya sering begadang, dan malas gerak olahraga," sambungnya. dr Piprim menekankan pola makan dan minum anak-anak yang saat ini terbilang kurang baik. Menurutnya, anak-anak saat ini masih suka mengonsumsi makanan atau minuman yang manis-manis. (cnbcindonesia.com, 24/7/24)

 

Kapitalisme-Sekularisme ciptakan pola hidup konsumtif

Tren pola konsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat di kalangan anak-anak telah menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus gagal ginjal yang memerlukan cuci darah. Makanan cepat saji yang tinggi garam, pengawet, dan bahan kimia tambahan seperti keripik, makanan olahan, dan cemilan instan, menjadi bagian utama dari diet anak-anak. Selain itu, minuman manis, bersoda, dan minuman kemasan yang sarat dengan gula dan pemanis buatan semakin memperburuk kondisi ini.

Konsumsi berlebih dari zat-zat ini membebani ginjal yang berfungsi untuk menyaring racun dan limbah dari tubuh, sehingga dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan ginjal permanen. Kebiasaan makan tidak sehat ini, ditambah dengan kurangnya asupan air putih dan serat, meningkatkan risiko anak-anak mengalami gangguan ginjal kronis di usia muda.

Seiring dengan pola makan yang buruk, minimnya aktivitas fisik dan rendahnya kesadaran akan pentingnya gaya hidup sehat memperburuk kondisi kesehatan ginjal. Anak-anak yang kurang bergerak cenderung mengalami obesitas, yang merupakan faktor risiko lain bagi kesehatan ginjal. Obesitas meningkatkan tekanan darah, mempercepat kerusakan ginjal, dan akhirnya mengarah pada gagal ginjal kronis. Anak-anak dengan kondisi ini mungkin harus menjalani prosedur cuci darah (dialisis) untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak, sebuah kondisi yang biasanya hanya ditemukan pada orang dewasa. Prosedur ini menguras fisik dan mental anak-anak serta membatasi kualitas hidup mereka.

Pola hidup dan pola konsumsi tidak sehat tentu tidak lepas dari pola konsumtif dan permisif mengikuti tren. Pola konsumtif menjadi tren karena sistem kehidupan sekulerisme kapitalisme saat ini yang membuat masyarakat tidak mengaitkan pola konsumsinya sesuai syariat, padahal memperhatikan asupan yang masuk dalam tubuh adalah bagian dari menjaga amanah tubuh yang Allah berikan. Akibatnya para konsumen hanya berpikir bagaimana bisa menikmati dan mengikuti tren makanan, jangankan untuk memperhatikan halal dan thayyib, memperhatikan efek samping bagi kesehatan tubuh saja belum tentu.

Sementara para produsen makanan juga cenderung berfokus pada keuntungan finansial tanpa mempertimbangkan aspek halal dan thayyib yang seharusnya menjadi panduan dalam produksi makanan. Mereka sering kali mengabaikan nilai-nilai moral dan etika dalam bisnis, memprioritaskan efisiensi biaya, penjualan tinggi, serta penggunaan bahan-bahan murah yang tidak selalu aman atau sesuai dengan standar kesehatan. Bahan kimia, pengawet, dan zat-zat berbahaya sering ditambahkan untuk memperpanjang umur simpan produk tanpa memikirkan dampaknya bagi kesehatan konsumen.

Pun negara berlepas tangan dari tanggung jawab mengatur pola konsumsi masyarakat, membiarkan industri makanan dan minuman bebas berkembang tanpa pengawasan yang ketat. Penguasa di sistem ini lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan keuntungan dari sektor industri, alih-alih memastikan kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Dalam sistem ini juga, regulasi yang melindungi masyarakat dari produk makanan tidak sehat sering kali longgar atau bahkan diabaikan, sehingga tren konsumsi makanan tinggi gula, garam, lemak, dan zat aditif berbahaya terus meningkat, alhasil anak-anak menjadi korban tren makanan tidak sehat.

 

Pola Hidup Sehat dengan Islam Kaffah

Hal ini sangat berbeda dengan sistem pemerintahan dalam Islam. Islam memposisikan negara sebagai pelayan masyarakat yang mengurusi urusan rakyat termasuk mengatur konsumsi masyarakat khususnya untuk anak-anak. Sebagai ideologi, Islam memiliki aturan yang paripurna, mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaannya, termasuk perihal makanan. Sehingga penguasa dalam sistem Islam tidak akan membiarkan hal tersebut dipenuhi sesuai keinginan manusia, namun harus dipenuhi sesuai aturan syariat. Islam pun telah menetapkan standar bahwa makanan dan apapun yang dikonsumsi harus halal dan thayyib.

Allah SWT berfirman, yang artinya:

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (TQS. Al-Maidah: 88)

Halal berarti makanan yang diperoleh dan diolah sesuai dengan ketentuan syariat Islam, mulai dari sumber bahan baku hingga proses produksi, serta bebas dari segala bentuk zat yang diharamkan dalam Islam. Sedangkan thayyib bermakna bagus, sehat dan lezat. Artinya makanan itu harus baik bagi kesehatan manusia, tidak boleh merusak tubuh, kesehatan, akal dan kehidupan manusia.

Standar makanan yang halal dan thayyib ini bukan sebagai anjuran, namun wajib dijalankan baik itu individu, masyarakat bahkan di level negara. Maka dari itu agar kewajiban memilih makanan yang halal dan thayyib menjadi standar di tengah-tengah masyarakat. Penguasa dalam sistem pemerintahan Islam akan menetapkan kebijakan sebagai berikut:

Pertama, negara akan mengedukasi masyarakat melalui sistem pendidikan Islam di lembaga pendidikan negara. Masyarakat akan dididik agar memiliki kepribadian Islam, sehingga pola pikir dan sikapnya sesuai Islam, dengan begitu mereka akan senantiasa mengaitkan semua aktivitas mereka dengan hukum Islam. Sehingga ketika mereka menjadi produsen atau konsumen, mereka akan memastikan makanan yang diproduksi ataupun yang dikonsumsi sesuai syariat makanan yang harus halal dan thayyib tidak boleh ada zat yang berbahaya.

Selain itu masyarakat juga akan diberi pemahaman bahwa tujuan konsumsi adalah untuk membuat badan sehat dan pemenuhan gizi, sehingga mereka akan optimal dalam beribadah. Melalui pendidikan Islam pula negara akan menjaga agar rakyatnya termasuk anak-anak terjaga dari pola konsumsi yang konsumtif dan hanya sekedar mengikuti tren. Pada masa Khalifah Umar Bin Khattab, beliau pernah menegur rakyatnya yang memiliki perut buncit, beliau memerintahkan agar dia membenahi pola makannya, ini adalah contoh bahwa negara turut andil dalam pola konsumsi masyarakatnya.

Kedua, negara akan menetapkan undang-undang terkait produksi makanan berdasarkan surah Al-Maidah ayat 88 dan dalil syariat lainnya terkait makanan. Sebagai contoh, dalam buku Fikih Ekonomi Umar tergambar jelas bagaimana Khalifah Umar bin Khattab mengatur dan memastikan bahwa rakyatnya terhindar dari produksi dan pola konsumsi yang menyimpang. Contoh lain, pada masa Khilafah Utsmaniyah, negara memberlakukan Qanun Bursa yang mengatur standarisasi toko roti dalam memenuhi hak konsumen.

Ketiga, negara akan memberi sanksi kepada siapapun yang melanggar aturan syariat terkait makanan. Melalui beberapa mekanisme, negara akan mampu memastikan masyarakatnya termasuk anak-anak terhindar dari pola konsumsi yang salah, dengan begitu anak-anak bisa terhindar dari penyakit gagal ginjal diabetes dan penyakit akibat pola makan yang salah lainnya. Wallahu a’lam bish shawwab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version