Hidayatullah.com--Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengimbau kepada masyarakat, terutama warga nahdliyin, untuk tidak mempolemikan tentang mantan Ketua Umum PBNU dan juga mantan Presiden RI ke-4, Abdurahman Wahid (Gus Dur) sebagai wali atau tidak.
"ÂDi dalam Islam disebutkan bahwa wali itu ada. Tapi seseorang tidak ada kewajiban mengatakan, si fulan itu wali atau tidak. Karena itu tidak perlu mempolemikkan Gus Dur itu wali atau tidak,"Â ujar Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, di Jakarta, Ahad (10/1).
Menurut dia, yang tahu persis apakah seseorang itu waliyullah atau tidak adalah sesama wali. Sedangkan orang biasa hanya bisa menerka-nerka.
"ÂJangankan Gus Dur, saya pun ada yang bilang wali. Kan itu ngawur (kalau saya di bilang sebagai wali),"Â tandasnya.
Lebih lanjut, Hasyim juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak mengambil tanah kuburan (makam) Gus Dur. Orang-orang yang mengambil tanah kuburan Gus Dur harus dicegah karena itu bukan ajaran ahlussunnah wal jamaah.
Hasyim mengakui jika saat ini ada fenomena keanehan masyarakat di tingkat bawah. Hal itu karena masyarakat mengalami stres sosial.
"ÂSaya kira tindakan aneh itu bukan hanya yang bersangkutan dengan Gus Dur. Ponari (bocah cilik) di Jombang pun di dewa-dewakan. Karena itu saya berharap semua menghormati Gus Dur serta menyebut kebaikan-kebaikannya. Tapi jangan melampaui batas karena bisa merugikan Gus Dur sendiri,"Â ujarnya.
Pada bagian lain, Hasyim juga menyinggung soal langkah dan pendapat Gus Dur semasa hidup, yang dianggap sebagai ajaran Gus Dur pascameninggalnya almarhum. Menurut dia, segala langkah dan pendapat yang dilakukan atau dilontarkan Gus Dur tidak perlu disebut sebagai ajaran. Sebut saja langkah dan pendapat-pendapatnya semasa hidup sebagai perjuangan Gus Dur. Karena ajaran buat NU atau kaum muslimin hanya ada satu, yakni ajaran Islam.
Begitu juga dengan ahlussunnah wal jamaah, menurut Hasyim, sesungguhnya bukan merupakan ajaran, melainkan teori pemahaman Islam yang ilmiah dan natural. Dan disebut ahlussunnah karena adanya persamaan pandangan, yang kemudian mengelompok menjadi golongan ahlussunah wal jamaah. [pel/www.hidayatullah.com]