View Full Version
Selasa, 19 Jan 2010

Syariah Islam Menjunjung Tinggi Harkat dan Martabat Manusia

Hidayatullah.com--Gencarnya pemberitaan media yang memuat aspirasi kelompok phobia Islam dengan menyatakan syariah Islam tidak humanis, tidak relevan, dan lain sebagainya, sebenarnya tidaklah objektif, bahkan keliru. Syariah Islam bukan sebuah ketentuan atau aturan yang mengebiri hak-hak transenden kemanusiaan. Justru sebaliknya, syariah Islam melindungi, bahkan memposisikan segala sesuatu secara tepat dan adil.

Pernyataan ini disampaikan salah satu pengasuh Pondok Pesantren Husnayain Parung Kuda Sukabumi, Nirwan Syafrin, MA.

“Munculnya kelompok phobia Islam, yang kemudian menyebut sebagian komunitas muslim yang kokoh idealismenya sebagai kelompok radikal, fundamental dan teroris, menunjukkan dominannya pandangan subjektif dan prasangka yang jauh dari benar,” demikian kata Nirwan kepada hidayatullah.com.

Menurut Nirwan,  ada dua penyebab munculnya kelompok phobia Islam ini yang sering sinis memandang syariat. Pertama, mereka memahami syariah Islam sebatas pada ranah fikih, seperti potong tangan, rajam, kewajiban berjilbab bagi muslimah, dan lain-lain. Pandangan ini sangat subjektif. Sebab secara substansial syariah itu tidak saja pada ranah fikih, tapi juga meliputi akidah, akhlak, dan muammalah. “Ini sangat subjektif,” tegasnya.

Kedua, ada pengaruh dari faktor psikologi Barat yang traumatik terhadap kekuasaan gereja. Otoritas gereja ketika itu tercatat sebagai penghalang kemajuan ilmu dan teknologi dalam kehidupan manusia Barat ketika itu. Traumatik sejarah ini secara halus merasuk pada beberapa komunitas muslim Indonesia melalui hegemoni keilmuan yang memang sangat deras dan massif.

Barat yang sangat phobia dengan agama ketika itu menganggap bahwa seluruh agama pasti akan menjadi penghambat kemajuan keilmuan dan teknologi umat manusia, tidak terkecuali Islam. Asumsi inilah yang menjadi ruh perkembangan sains dunia yang hingga saat ini berada dalam hegemoni Barat.

Ironisnya, pengalaman sejarah Barat yang demikian itu, merasuk pada pemikiran sebagian umat Islam. Indikasinya sederhana, umat Islam terbelah dalam dua kubu, antara pro dan kontra.

“Kondisi seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Semua ulama dan umat Islam secara keseluruhan tidak pernah berselisih, apakah perlu menerapkan syariah  atau tidak. Sekarang ada yang pro dan kontra,” jelasnya.

Menurutnya, pihak yang kontra cenderung sangat over-acting. Aturan yang sebenarnya juga selaras dengan kaidah kebaikan dalam akal sehat pun jika mereka lihat ada kesamaan dengan nilai-nilai ke-Islam-an, seketika akan mereka tolak. Hal ini ditunjukan dengan penolakan mereka terhadap UU Antipornografi dan Pornoaksi, anti judi dan miras.

“Karena pornografi, pornoaksi, judi, dan miras, diharamkan dalam Islam, mereka pun dengan reaktif menolak itu semua.  Sekiranya mereka mau mengkaji dengan benar, tentu mereka akan tahu bahwa syariat Islam itu komprehensif dan sangat melindungi, bahkan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Akan tetapi karena derasnya virus sekularisme, pluralism, dan liberalisme (Sepilis) menghantam umat, menjadikan sesuatu yang baik ini tampak meragukan, bahkan mengerikan”, tandasnya.

Oleh karena itu merupakan kewajiban kita semua untuk kembali menyadarkan dan mengajak umat mengkaji Islam dengan benar. Ketika ditanya jalur apa yang terbaik untuk mensosialisasikan kebenaran dan keunggulan syariat Islam, kandidat doktor ISTAC Malaysia itu pun menjawab, “tidak ada jalan terbaik untuk mewujudkan semua itu selain melalui pendidikan dan dakwah.” [am/www.hidayatullah.com]
 


latestnews

View Full Version