View Full Version
Selasa, 26 Jan 2010

Gerah Stigma “Teroris”, IAIN Sunan Ampel Adakan Seminar Internasional

Hidayatullah.com-- Pasca tragedi runtuhnya WTC pada 11 September 2001, yang disebut-sebut Amerika sebagai ulah jaringan Al-Qaidah, secara tidak langsung, berimplikasi pada stigmatisasi Islam, misalnya ‘radikal’, ‘teroris’, atau ‘ekstrimis’. Apalagi,  dengan pemberitaan masif media masa, stigma tersebut hingga kini masih sering disematkan.

Untuk meluruskannya,  Senin (25/1) pagi, IAIN Sunan Ampel Surabaya mengadakan International Islamic Youth Seminar bertema Unity in Diversity di gedung SAC (Self Access Center) Lt. 3.  Acara yang dimulai sekitar pukul 9.00 WIB pagi itu, dihadiri seratus lebih peserta dan dimeriahkan pentas Marawis dari mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Prof. DR. Nur Syam, Rektor IAIN Sunan Ampel dalam sambutan pembukaannya mengatakan, Islam dikenal dengan konsep kedamaian (salamah). Karena itu, kelahirannya bukan merugikan, tetapi justru memberikan rasa aman.

Labeling radikalisme dan terorisme terhadap Islam itu salah. Tidak ada ayat dalam Al-Quran yang menjustifikasi hal tersebut,” ujarnya. Nur Syam, menguip Al-Quran dalam ayat “wama arsalnaka illa rahmatan lill alamin”.

“Jadi 'rahmatan lill alamin' adalah bukti Islam sebagai agama damai, bukan agama terorisme,” ujarnya.

Selain Nur Syam sebagai keynote speaker, acara tersebut menghadirkan sejumlah narasumber luar negeri. Di antaranya, Faraz Rabbani (Kanada), Ahmad Tijani Ben Omar (Ghana), dan Sa’ad Al-Attas (Inggris). Sedang narasumber dari Indonesia, Zuhairi Misrawi, tokoh intelektual muda NU sekaligus penulis buku; Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme.  

Dalam seminar itu, para narasumber memiliki sudut pandang yang menarik untuk dicermati, sekaligus dikritisi tentang hal itu. Sa’ad Al-Attas misalnya, menyatakan, diturunkannya Nabi Muhammad ke dunia untuk menyatukan umat yang beragam; bangsa, bahasa, dan budaya.

Ibarat lukisan, Nabi adalah pelukis yang pandai dan dapat melukis keberagamaan itu menjadi mozaik yang indah. Keberagamaan juga bisa diartikan keberagamaan fungsi anggota dalam sebuah keluarga.

“Jika fungsi keluarga dapat berjalan seimbang , akan tercipta unity in diversity yang indah,” tutur Sa’ad.  Untuk terciptanya mozaik unity in diversity yang indah, dia menyarankan agar bisa menjaga hati agar senantiasa bersih dan suci. Sebab, hati yang bersih berimplikasi pada manifestasi perbuatan manusia yang baik. Sebaliknya, jika hati kotor, manifestasi perbuatan akan selalu negatif.

Hal tersebut senada dengan hadist yang mengatakan, “Sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah. Jika baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Sebaliknya, jika buruk, maka buruklah seluruhnya. Ingatlah, dia adalah hati.”

Namun, menurut Faraz Rabbani, problemnya, mayoritas umat Islam memiliki tradisi takfir (mengkafirkan) non-muslim. Tak hanya itu, anggapan bahwa non-muslim rendah dan akan masuk neraka sudah jamak terjadi. Menurutnya, hal itulah yang menyebabkan unity of diversity jauh panggang dari api.

Bagi Faraz Rabbani,  konklusi seperti itu sangat dangkal. “Anggapan bahwa non-muslim (kafir) masuk neraka adalah dangkal,” ujarnya. Meski demikian, dia mengatakan, selaku umat Islam, seharusnya tidak boleh berhenti mendakwahkan Islam. Mereka belum masuk Islam, bisa jadi karena pesan dakwah belum sampai kepada mereka.

Lebih lanjut ia mengatakan, syariah adalah keseimbangan (moderat) berada di antara dua titik; longgar dan ketat. Jika sudah menutupi kepala dengan jilbab dan punya jenggot, sudah Islam.

Sementara, lebih seru lagi materi yang disampaikan Zuhairi Misrawi. Pria yang dikenal sebagai aktivis liberal ini mengatakan,  ada upaya politisasi agama dalam sejumlah konflik yang selama ini telah terjadi. Dan konflik paling up to date adalah kasus penulisan nama “Allah” oleh agama Kristen di Malaysia.

Menurutnya, konflik-konflik yang bernuansa keagamaan itu bukan dilakukan oleh umat Islam yang paham agama, melainkan pihak lain yang memiliki interest politik. Karena itu, alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini tidak setuju dengan adanya agamisasi politik atau politisasi agama.

Dia juga mengatakan, konflik yang terjadi di Palestina bukanlah masalah agama, melainkan politik. “Konflik perang yang terjadi antara Palestina dengan Israel merupakan perang politik bukan agama,” ujarnya.

Dia pun menyarankan agar umat Islam melihat Islam dari sudut pandang subtansialistik, bukan formalistik. Jadi, melihat Islam secara simbolik. Di mana ada kedaimaian, di situ ada Islam.

Di akhir seminar, alih-alih ingin menepis stigma negatif, justru  para narasumber terjebak kempanye paham pluralisme.  [ans/www.hidayatullah.com]
 


latestnews

View Full Version