View Full Version
Jum'at, 05 Feb 2010

"Kami Punya Hak untuk Pintar"

Hidayatullah.com--Pagi itu, di tengah keramaian siswa, Suyono memilih bernyanyi bersama ke dua temannya. Lelaki yang memiliki tinggi badan sekitar 140 cm dan berambut ikal ini, duduk di atas kursi. Karena tak mampu melihat, wajahnya yang tak begitu hitam hanya diarahkan ke lantai. Dari mulutnya terdengar nyanyian shalawat. “Shalatullah salamullah, ‘ala toha rosulillah. Shola tulla salamullah. ‘Ala yasin habibibillah,”

Sedang kedua temannya duduk tak jauh di depannya menabuh gendang dan ecek-ecek. Sama halnya seperti Suyono, keduanya juga tuna netra. Meski demikian, tabuhan gendang dan goyangan ecek-ecek dilakukan dengan teratur dan indah. Bahkan bisa serasi dengan lirik lagu yang didendangkan Suyono.

Namun keindahan lagu yang dibawakan Suyono tetap tak mengubah suasana. Para siswa tetap ramai dengan permainannya masing-masing. Ada yang meloncat-loncat, berlari ke sana ke mari, tertawa sendiri, dan ada juga yang melamun seperti kehilangan orang tua. Hanya sejumlah guru yang asyik masyuk menikmati kemerduannya.

“Ayo, nyanyikan lagi, Yon,” pinta Irma, gurunya.

Suasana ini terjadi di SLB Ibnu Khaldun Kec. Wongsorejo, Kab. Bayuwangi pada sebuah pagi di pertengahan Januari. SLB ini menampung anak berkebutuhan khusus (ABK). Mereka adalah para penyandang cacat fisik. Di antaranya; tuna netra, tuna wicara, tuna rungu, daksa dan grahita. Tak sedikit dari mereka yang telah berumur di atas dua puluh tahun.

Seperti Suyono sendiri, dia telah genap berumur 26 tahun. Wajahnya telah dihiasi dua labirin di samping kanan dan kirinya, plus dengan kumis yang cukup tebal. Meski bukan usia sekolah, namun dia tetap bersikukuh ingin belajar.

“Saya ingin berdakwah lewat lagu, itulah kenapa saya belajar,” ujarnya.  

Untung meningkatkan bakatnya itu, Suyono dibimbing seorang guru Hikmah Juhaimah yang juga seorang tuna netra. Kebetulan, Hikmah telah merilis sejumlah lagu lokal. Dia pun kerap diundang ke sejumlah acara untuk menjadi penyanyi.

SLB Ibnu Khaldun merupakan satu-satunya sekolah luar biasa khusus ABK yang ada di Kec. Wongsorejo, Kab. Bayuwangi, Jawa Timur. Kecamatan Wongsorejo memang memiliki jumlah ABK terbanyak se-Kabupaten Bayuwangi. Menurut Irma Indriati, dari sekitar 8 ribu penduduk di Kecamatan Wongsorejo, yang tercatat sebagai ABK ada sekitar 100 orang.

“Data tersebut belum termasuk dengan yang tak terdata,” ujar Irma, yang alumnus Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini.

Fenomena maraknya ABK di Wongsorejo tak terlepas dari banyak faktor. Irma yang juga guru tuna wicara dan tuna rungu ini menuturkan, selain faktor ekonomi, ada juga akibat pola hidup dan keturunan. Ekonomi masyarakat Wongsorejo sendiri masih tergolong minus. “Setidaknya itulah faktor terbesarnya,” jelasnya.

Modal Ikhlas

Dimulai sejak tahun 1990. Banyak suka duka yang mengiringnya. SLB Ibnu Khaldun sendiri berawal dari keprihatinan Atfal Fadhali. Lalu, Atfal dan sejumlah rekannya berinisiatif blusukan ke rumah warga guna mendata ABK. Para ABK tersebut kemudian dikumpulkan dan diberi pembinaan.

Tahun 2002,  jumlah ABK bertambah menjadi sekitar 22. Dan angka  tersebut dari waktu ke waktu terus membengkak. Karena tak memiliki gedung, Atfal hanya menggunakan satu ruang. Kontan saja, hal itu tak mampu menampung siswa lantaran jumlahnya yang kian banyak. Akhirnya, sekitar tahun 2008 sebuah Puskesmas Wongsorejo menyuruh untuk menggunakan gedung Puskesmasnya guna dijadikan sekolah. Namun, statusnya hanya sebatas hak pakai. Suatu saat, bisa jadi, diambil kembali. Di gedung baru itu, kini ada sekitar 100 siswa. Sebanyak 59 siswa yang aktif masuk, selebihnya siswa nonaktif.

Menurut Irma, mendidik siswa ABK bukan hal mudah. Perlu keikhlasan, kesabaran, dan ketelatenan. Pasalnya, siswa kerap berperilaku tak wajar. Karena itu, tanpa hal itu, dijamin tak ada guru yang tahan. Dan hal itulah yang ingin dilakukan oleh sekitar sembilan guru SLB Ibnu Khaldun ini.

Sugianto misalnya. Alumnus SMEA ini yang menjadi guru kesenian dan autis mengaku bisa bertahan menjadi guru lantaran ikhlas dan sabar. “Tanpa ikhlas dan sabar, tak mungkin saya mampu bertahan mengajar di sekolah ini,” jelasnya. Pasalnya, menurutnya, mengajar siswa normal saja terkadang sulit, apalagi siswa yang berkebutuhan khusus.

Guru SLB Ibnu Khaldun ini tampaknya perlu diajungi jempol. Betapa tidak, bukan hanya harus sabar menghadapi siswa-siswa yang tak normal, juga harus mau digaji tak layak. “Sudahlah, kalau untuk nominal gaji, nggak usah diungkap. Sangat tidak layak,” tegasnya.

Namun, setelah didesak terus, akhirnya dia mengaku. “Setiap bulannya saya mendapat gaji 250 ribu rupiah. 50 ribu untuk honor mengajar dan 200 ribu untuk honor jasa antarjemput,” imbuhnya.

Mendapat gaji tak layak itu, Sugianto mengaku tak masalah. “Saya mengajar ini ikhlas dan untuk dedikasi saya pada mereka,” katanya. Dia beranggapan, jika bukan dia, maka siapa lagi yang akan mengajar mereka. “Mereka juga perlu dibina,” tutur guru yang mengajar selama enam hari dalam sepekan itu.

Untuk menambal biaya hidup keluarga yang bolong-bolong, Sugianto mengaku kerja bertani dan usaha serabutan lainnya.

Hal serupa juga diungkapkan Mahmudah. Sarjana pendidikan agama Islam UNISMA ini mengaku ikhlas bertahan menjadi guru di SLB Ibnu Khaldun ini. “Tanpa ikhlas, saya tak akan mampu bertahan menghadapi anak-anak,” ujarnya. Guru tuna rungu yang juga merangkap sebagai bendahara sekolah ini mengaku rela meski harus mendapat gaji tak layak.

Setiap bulannya, dia hanya mendapat honor 100 ribu. “Meski digaji segitu, Insya Allah saya ikhlas. Kalau bukan kita, siapa lagi yang membina mereka,” ujar janda ini. Mahmudah berkeyakinan, dedikasinya terhadap siswa SLB itu adalah ladang amal baginya.

Atas dedikasi luar biasa para guru ini, tak sedikit para siswanya yang berhasil menorehkan sejumlah prestasi, baik dalam lingkup, regional, nasional, dan bahkan internasional. Tahun 2007 lalu, dua orang siswa berhasil merebut juara di Summer Games Shanghai Cina. Mereka adalah Teddy (juara II lari seratus meter) dan Hisam Arisandi (juara I lari 200 meter).   

Sayang, keberhasilan sekolahnya belum banyak diperhatikan. Termasuk kemakmuran para gurunya. Menurut Mahmudah, para guru digaji sedikit lantaran pemasukan sekolah sedikit, sedang biaya operasional banyak. “Bahkan tak jarang setiap bulannya keuangan sekolah minus,” tegasnya.

Selama ini, sekolah hanya mendapat pemasukan dari dana Biaya Operasioanal Sekolah (BOS), donatur, dan iuran SPP wali siswa. Itu pun, untuk iuran SPP tak semuanya yang membayar. “Hanya sekitar 30 persen, selebihnya tak membayar,” ujarnya.

Karena itu, sebagai bendahara, dia harus berjuang menambal kekurangan biaya sekolah tersebut dengan mencari donatur. Mahmudah berharap agar pemerintah daerah lebih memperhatikan nasib sekolahnya itu. Tak hanya itu, dia juga selalu berdoa agar ada hati para dermawan terketuk untuk membantu sekolah tersebut.

SLB Ibnu Khaldun adalah sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan Istiqamah. Yayasan yang menampung anak yatim dan dua’fa ini di berada bawah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Hidayatullah Banyuwangi, dipimpin Taufik Wahyudiono. Menurutnya, anak-anak yang tak normal juga membutuhkan bimbingan Islam (dakwah).

“Meski mereka memiliki kekurangan, mereka juga berhak masuk surga,” ujar Taufik.  Dia juga menceritakan, sahabat nabi, Ummi Maktum, seorang buta yang datang menemui Rasulullah di sebuah kesempatan, namun ternyata disambut kurang baik oleh Nabi. Lalu, Allah pun menegurnya. “Kisah itu sebagai pertanda, mereka juga butuh dakwah,” tegasnya.    

Selain minusnya sarana dan prasarana, yang juga sangat dibutuhkan adalah Al-Quran Braille. Sekarang hanya ada 15 juz Al-Quran Braille. Taufik juga berharap agar SLB memiliki gedung sendiri. Sebab, gedung yang ditempat sekarang, bisa jadi suatu saat diambil pemiliknya.  Hal itu sebagaimana juga diharapkan Suyono. “Saya berharap ada pihak yang memikirkan kami. Meski kami cacat, kami punya hak untuk pintar, “ tutupnya. [Anshor/www.hidayatullah.com]
 


latestnews

View Full Version