Hidayatullah.com--Pastor Yesuit dan para aktivis LSM memberikan dukungan kepada George Junus Aditjondro melalui acara diskusi publik dan bedah buku “Salahkah George Berantas Korupsi?” yang diadakan di STF Driyarkara Jakarta, 15 Februari dalam rangka ulang tahun STF ke-41.
Buku ini ditulis oleh tim penulis yang terlibat menyusun buku kontroversial ”Membongkar Gurita Cikeas” yang sudah ditarik dari peredaran.
”Bukunya Aditjondro merupakan watchdog. Orang seperti dia sangat perlu karena keberanian dalam menghadapi tantangan,” kata Pastor Franz Magnis-Suseno SJ, dosen STF Driyarkara Jakarta, salah satu dari empat pembicara dalam forum itu.
Pastor Magnis menceritakan bahwa apa yang dialami Aditjondro juga menimpa dirinya. Ia pernah menulis buku tentang Marx, bukan Marxisme, tapi buku-buku itu hilang dari toko buku. ”Ini hak setiap orang yang harus dihargai.”
Secara etis, lanjut dosen STF Driyarkara itu, ”korupsi bertentangan dengan keadilan dan tidak bermutu. Kesan saya, upaya pemberantasan korupsi itu gagal dari zaman orde baru sampai hari ini.”
Ia juga mengkritisi agama-agama yang kurang berperan dalam memberantas korupsi, meski mereka tahu itu salah. ”Mereka masih berpikir konservatif dan tidak mau masuk dan belajar dalam kaitan dengan kasus ini.”
Sementara itu Danang Widoyoko, koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), mengatakan, “korupsi di Indonesia adalah way of life. Korupsi yang diungkapkan oleh Aditjondro dalam bukunya adalah korupsi yang bersifat politik.”
“Kita perlu mempertahankan dan menyebarkan buku Aditjondro ini. Kalau kita tidak mempertahankan bukunya, berarti kita membiarkan korupsi berjalan,” lanjutnya.
Ia juga menegaskan, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam memberantas korupsi dengan memberikan informasi, mengumpulkan data seperti yang dilakukan oleh Aditjondro.
”Sebenarnya salah kita semua dalam memberantas korupsi. Selama bertahun-tahun kita bicara hanya tingkat wacana, tanpa aksi konkret untuk memberantasnya. Pemberantasan korupsi adalah sebuah keharusan karena praktik ini legal di Indonesia, meskipun sudah ada UU Antikorupsi,” lanjut Widoyoko.
Menurut Ray Rangkuti, aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi (KOMPAK) ”upaya pemberantasan korupsi itu hanya sebagai hak atau pilihan, bukan sebagai kewajiban setiap warga negara.”
Ia berpendapat bahwa ”Orang sudah menganggap korupsi itu sebagai sebuah ibadah sehingga pemberantasannya bukan soal hak, tapi kewajiban.”
Tyasno Sudarto, Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa, mengatakan, “Sebenarnya, dengan keluarnya buku itu pemerintah harus berterima kasih atau jadi bahan acuan bukan dikriminalisasikan.”
Menurut dia, ada dua hal dalam kaitan dengan pemberantasan korupsi: teknis — pemimpin harus memberikan contoh, dan strategis — melalui pendidikan dengan unsur pokok adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kini Aditjondro dijadikan tersangka oleh polisi karena dituduh melakukan kekerasan terhadap Ramadhan Pohan, anggota DPR RI dari Partai Demokrat, dalam sebuah acara diskusi. [uca/www.hidayatullah.com]