Fosil laba-laba 165 juta tahun silam sama persis dengan kerabat modernnya, alias tidak berevolusi
Hidayatullah.Com – Baru-baru ini Paul A. Selden dari University of Kansas, AS, dan Diying Huang dari Nanjing Institute of Geology and Palaeontology, Cina, menerbitkan karya ilmiah seputar temuan fosil laba-laba yang berusia 165 juta tahun lalu. Fosil yang terawetkan lengkap ini berasal dari zaman Yura (Jurassic era) dan diberi nama ilmiah Eoplectreurys gertschi. Temuan teranyar yang tergali dari lapisan Yura Madya ini adalah 120 juta tahun lebih tua dibandingkan dua fosil laba-laba lain yang pernah diketahui.
Awet dan tidak berubah
Ada dua hal menarik seputar fosil yang ditemukan di daerah Daohugou, Cina Utara, tersebut: (1) derajat terawetkannya fosil tersebut yang utuh; dan (2) tingkat kemiripannya yang sama dengan laba-laba modern. Yang patut disimak lagi, bersama dengan fosil laba-laba itu, ditemukan juga salamander, mamalia kecil tingkat rendah, serangga dan udang air yang terfosilkan.
Fosil laba-laba dari zaman setua Yura adalah jarang. Ini dikarenakan tubuh lunak sebagaimana yang dimiliki laba-laba tidak dapat terawetkan dengan baik. Namun pengawetan alamiah yang terjadi pada fosil Eoplectreurys gertschi ini mungkin terjadi akibat terperangkap dalam debu gunung berapi. Butiran-butiran debu teramat halus itu telah menimbun sang laba-laba tanpa menghancurkan lapisan kulit luar yang melapisi tubuh sang laba-laba.
Menurut sang ilmuwan, Paul A Selden, fosil laba-laba E. gertschi tersebut menampakkan seluruh ciri laba-laba modern dari keluarga yang sama asal Amerika Utara. Ini mengisyaratkan laba-laba tersebut mengalami evolusi sangat sedikit sejak zaman Yura, kata Selden. “Perawakan berbentuk pedang melengkung yang Anda cermati pada pejantan sungguhlah khas,” ujarnya. “Dengan melihat laba-laba modern, Anda akan berpikir, yah, [fosil] itu hanyalah kembarannya yang mati.”
Dogma evolusi
Sungguh menarik bahwa selama 165 juta tahun, fosil laba-laba tersebut jika disandingkan dengan kerabat modernnya tidak menampakkan perbedaan mencolok. Saking nyaris sama persisnya, sampai-sampai sang ilmuwan, Paul A Selden, berkomentar fosil berusia jutaan tahun asal Cina itu tampak seperti “kembaran yang mati” dari laba-laba yang masih hidup saat ini.
Anggaplah seekor laba-laba tertua yang pernah ada di bumi dapat hidup selama 20 tahun. Maka 165 juta tahun berarti laba-laba itu telah beranak pinak atau berketurunan selama sekitar 8 juta generasi. Ini adalah waktu yang cukup bagi laba-laba untuk mengalami mutasi dan berbagai tekanan alamiah lainnya yang mendorong terjadinya evolusi yang diduga ada itu. Namun ternyata evolusi itu tak terjadi. Fosil laba-laba yang hidup 165 juta tahun lalu memiliki segala ciri khas lengkap sebagaimana laba-laba modern yang masih hidup saat ini.
Pernyataan bahwa “laba-laba tersebut mengalami evolusi sangat sedikit” sebagaimana kata Paul A. Selden di atas atau dalam kedok bahasa ilmiah “evolutionary conservatism” (kecenderungan untuk tidak berubah secara evolusi) sungguhlah tidak masuk akal. Ini menunjukkan betapa tempurung dogma evolusi menutupi seseorang untuk melihat fakta selain dogma buta evolusi, sehingga perlu untuk memaksakan penamaan dengan istilah yang berbau evolusi meski hakikatnya tidak ada evolusi yang terjadi.
Ciri-ciri laba-laba 165 juta tahun lalu yang sama persis dengan penampakan laba-laba yang hidup saat ini, sebagaimana yang diakui ilmuwan itu, justru merupakan isyarat tidak terjadinya evolusi. Tidak dijumpai perubahan atau evolusi apa pun dari laba-laba menjadi hewan lain seperti kala jengking, kaki seribu, apalagi reptil, ikan, burung, mamalia, dan lain-lainnya. Selain itu, tidak ada fosil-fosil mata rantai atau peralihan yang pernah ditemukan yang menunjukkan laba-laba berevolusi dari hewan lain ataupun sebaliknya, berevolusi menjadi hewan lain.
Fosil laba-laba ini dan fosil-fosil makhluk hidup lain yang telah ditemukan berlimpah adalah bukti nyata bahwa makhluk hidup muncul menjadi ada dalam keadaan diciptakan terpisah, masing-masing dengan kelengkapan tubuh sempurna sedari pertama kali diciptakan. Singkat kata, teori evolusi sejatinya telah ambruk dihadapan temuan-temuan fosil. Mereka yang tetap mempertahankan teori evolusi, meski dihadapkan bukti-bukti nyata ini, semakin memperlihatkan betapa evolusi bukanlah teori ilmiah. Teori evolusi adalah keyakinan buta yang dipercayai dan dipertahankan dengan menolak penjelasan lain. Teori evolusi, sebagaimana lazimnya dogma dan ideologi buta lain, merasa takut dan khawatir terhadap diajarkannya secara adil dan berimbang penjelasan ilmiah yang menyanggah evolusi di sekolah dan perguruan tinggi.(as/wiredscience/naturwissenschaften/hidayatulla.com)
Referensi:
1. Ghose T (2010). Stunningly Preserved 165-Million-Year-Old Spider Fossil Found. Wired Science, 9 Februari 2010. (http://www.wired.com/wiredscience/2010/02/spider-fossil/, terkunjungi pada 20 Maret 2010)
2. Selden PA & Huang D (2010). The oldest haplogyne spider (Araneae: Plectreuridae), from the Middle Jurassic of China. Naturwissenschaften, published online 6 February 2010. (http://homepage.mac.com/paulselden/Sites/Website/Plectreurid.pdf, or http://www.springerlink.com/content/v4r927t13446q311/?p=be8737ef790947d5a19d3faa934227daπ=0, terkunjungi pada 20 Maret 2010)
3. Animal Corner (2003) Spiders. (http://www.animalcorner.co.uk/insects/spiders/spiders.html, terkunjungi pada 20 Maret 2010)