View Full Version
Rabu, 24 Mar 2010

Belajar Berkhusnudzan Terhadap Allah

Kegagalan seharusnya justru kita persepsikan sebagai modal yang harus kita bayar untuk meraih sukses

Oleh: Shalih Hasyim*

KISAH ini terjadi pada tahun 1950. Seorang pemimpin suatu fraksi di parlemen RI, semua keluarganya tinggal di Bandung. Untuk kelancaran tugas dan menempatkan pada lingkungan sosial yang kundusif bagi pendidikan anak-anaknya, ia memilih tinggal sendiri di rumah dinas Jakarta. Setiap Sabtu sore, ia pulang ke Bandung dan kembali lagi ke Jakarta pada hari Senin berikutnya.

Pada Sabtu sore –sebagaimana biasa– beliau bermaksud pulang ke Bandung dengan menumpang pesawat Dakota. Pesawat andalan anggota DPR Pusat pada era Orde Lama (Orla). Beliau telah membeli tiket pesawat, tetapi setibanya di Bandara Kemayoran, tiba-tiba ditegur oleh mahasiswi yang belum beliau kenal sebelumnya. Pemudi itu menjelaskan bahwa ia baru saja menyelesaikan ujian akhir di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta, dia ingin segera pulang ke Bandung karena pada Sabtu malam akan melaksanakan akad nikah, tetapi saat itu ia kehabisan tiket pesawat. Dengan sangat terpaksa ia memohon dengan hormat kepada anggota Legislatif –sebagai orang yang sama-sama berasal dari Bandung– agar berkenan membantunya dengan memberikan tiket beliau itu kepadanya dengan diganti uang – supaya bisa melangsungkan ijab qabul dan pesta pernikahannya sesuai rencana.

Anggota parlemen itu tertegun sejenak. Beliau sadar bahwa hari Sabtu adalah kesempatan sekali seminggu untuk menjenguk dan berbagi (sharing) dengan keluarganya di Bandung, sementara itu beliau bisa merasakan betapa kesulitan yang dihadapi oleh gadis seusia putrinya itu. Seandainya putrinya sendiri mengalami peristiwa serupa, ia juga mengharapkan pertolongan yang sama. Akhirnya, dengan terpaksa, beliau memutuskan untuk menunda kepulangannya ke Bandung dan menyerahkan tiket pesawat kepada gadis tersebut.

Betapa bahagianya si gadis tak dikenal itu. Ia sebentar lagi akan merasakan peristiwa yang paling berkesan dalam kehidupan. Bersanding dengan kekasih, si belahan hati tanpa hambatan berarti. Ia mengatakan kepada sang bapak pejabat tadi, “Terima kasih, semoga Allah Swt membalas budi baik Bapak dengan kebaikan yang banyak. Jazakumullahu Khairan katsiran,” ujarnya. Meski agak sedikit masgul dan kecewa beliau pulang kembali ke rumah dinas di Jakarta.

Beberapa saat kemudian beliau duduk termenung di ruang depan rumah dinas seorang diri. Dalam hati beliau muncul sedikit sesal karena membayangkan kecemasan yang dialami keluarganya di Bandung. Melepaskan perasaan rindu dengan semua anggota keluarganya terhambat. Di saat bayangan kekecewaan berkecamuk dalam perasaannya, beliau tersentak dengan adanya berita yang tidak sengaja didengar dari radio RRI Jakarta yang mengabarkan bahwa pesawat terbang yang akan ditumpanginya tadi mengalami kecelakaan. Semua awak dan penumpangnya tewas seketika. “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.” (Sesungguhnya kita milik Allah Swt dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali).

Entah, perasaan apa yang dirasakan dalam dadanya. Di satu sisi ia bersyukur karena batal pergi. Di sisi lain, ia sedih mengingat nasib gadis yang menggantikan tempat duduknya dalam pesawat naas tersebut. Ia baru percaya akan takdir Allah. Rupanya gadis yang bersikeras hati mengganti tiket beliau sekedar untuk menemukan suratan takdir dari Allah swt.  “Astaghfirullah,” (aku mohon ampun kepada Allah), sahutnya berulang-ulang.

Ridho dengan yang Tidak Kita Suka

Jika direnungkan secara lebih cermat, berbagai peristiwa kehidupan ini, sesungguhnya terjadi di luar rencana kita. Kehidupan ini dengan berbagai dinamika dan fluktuasinya merupakan rahasia Tuhan. Karakteristik kehidupan ini terus berputar mentaati kekuatan fitri, laksana roda pedati dan timbul-tenggelam dan muncul-hilang. Ada peristiwa yang semula kita persepsikan sebagai kesedihan, kepahitan, kegetiran, tetapi didalamnya mengandung kebijaksanaan Tuhan (hikmah).

Pepatah bahasa Arab mengatakan: “Ad Dunya mazra’tul ilm” (dunia adalah ladang ilmu pengetahuan). Romantika kehidupan sesungguhnya menyimpan berbagai pelajaran (madrastul hayah).

Ahli sastra Mesir Ahmad Syauqi Bek mengatakan: “Engkau dilahirkan ibumu dalam keadaan menangis (membayangkan carut marutnya kehidupan), sedangkan orang-orang di sekelilingmu tertawa (karena kedatangan anggota keluarga baru yang diharapkan membantu (mewarisi) tugas-tugas kehidupan..”

Seringkali kita tidak menginginkan sesuatu, namun di baliknya membawa keberuntungan. Menyakitkan memang, sesuatu yang tidak dihendaki terjadi pada diri kita. Tetapi, di antara yang mengantarkan kita ke surga adalah menerima dengan ridho keadaan yang tidak kita sukai. Karena, tiada kebahagiaan sejati melebihi dari kenikmatan di balik musibah. Uang gaji yang kita terima secara rutin dengan jumlah yang sudah kita ketahui, berbeda rasanya dengan uang yang kita peroleh secara tiba-tiba, ndilalah kersane Allah (terjadi karena kekuasaan Allah), sebagai efek dari amal saleh yang kita lakukan dengan keikhlasan.

Dalam pengalaman kehidupan sehari-hari, betapa banyak karunia Tuhan yang dianugerahkan kepada kita dengan bungkus yang tidak menyenangkan, tetapi di cela-celanya mengandung kebijaksanaan, kasih sayang Allah Swt. Blessing in Disguis (kebaikan terselubung) pepatah Bahasa Inggris, ini menunjukkan keterbatasan kita dalam memandang dan merancang masa depan. Kita lemah dalam membaca dan mengungkap misteri atau rahasia kehidupan di dunia ini. Di atas kita ada tangan-tangan ghaib yang bekerja secara canggih dengan perencanaan yang matang.

Oleh karena itu agama membimbing kita dengan salah satu ajarannya, konsep husnudz dzon (positif thingking) terhadap Tuhan pada setiap peristiwa yang terjadi. Allah Swt memiliki segala sifat kesempurnaan, kemuliaan dan jauh dari segala sifat kekurangan. Allah Swt bisa saja menghendaki sesuatu dan tidak menginginkan sesuatu, sesuai dengan keluasan ilmu-Nya.

Yakinlah bahwa Allah Swt itu bersifat rahman dan rahim. Semua surat dalam Al-Quran dimulai dengan ‘bismillahirrahmanirrahim’, sebagai indikasi sifat yang paling menonjol dalam diri-Nya adalah kasih dan sayang. Dia tidak menurunkan bencana kepada individu, suatu umat, secara kebetulan, tanpa berjalan sesuai dengan hukum sebab akibat (kausalitas) dalam sunnatullah (hukum sosial).

Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;}

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ


“Tidaklah Tuhanmu menghancurkan negeri secara semena-mena sedangkan penduduknya adalah orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Hud (11) : 117).

Dengan berbaik sangka kepada Tuhan, kepahitan, bencana, penderitaan, tekanan dan tantangan kehidupan, tidak membuat kita rapuh, stagnasi, berputus asa, kehilangan pegangan. Kegagalan, ketidakmapanan, justru kita persepsikan sebagai modal yang harus kita bayar untuk meraih sukses. Pepatah bahasa arab mengatakan: “Likulli mushibati fawaaidu.” (setiap bencana mengandung banyak manfaat).

Prasangka Baik

Cobalah direnungkan sejenak. Seandainya peristiwa naas pesawat terbang – yang akan membawanya, tidak beliau ketahui lewat berita tadi – apakah beliau akan menyadari kasih sayang Tuhan yang telah menghindarkannya dari malapetaka dan musibah dengan diurungkannya keberangkatannya itu? Kemungkinan besar tidak. Mungkin beliau akan tetap menyesal karena tidak dapat memenuhi kewajiban beliau terhadap keluarga.

Tetapi, setelah mengetahui semua kejadian itu berjalan sesuai dengan rencana suratan takdir-Nya, yang melepaskannya dari kematian, barulah beliau menyadari betapa nikmat, rahmat, keadilan dan kasih sayang Tuhan, yang terkandung di balik musibah. Setelah kejadian itu, ia telah meningkat menjadi manusia yang pandai bersyukur dan selalu memohon ampun atas sikap negative thinking (su’udzan) kepada Allah Swt selama ini.

Ajaran positive thinking kepada Allah swt yang dipahami, dihayati dan diamalkan seseorang, akan memiliki kecerdasan emosional (wujdaniyyah), perasaan (syu’uriyyah), spiritual (ruhiyyah) dalam memandang naik turunnya kehidupan.

Setiap menemukan hambatan, segera ia cari hikmahnya. Ia pandai mengambil pelajaran, yang bisa menambah kekayaan jiwa, memperkuat sandaran vertikal, memperkokoh stamina ruhani, sebagai aset (bekal) untuk meneruskan berbagai usaha menuju kesuksesan yang lebih besar dan selalu melibatkan-Nya.

Ketika orang lain tidak melihat secercah harapan, bagi orang yang melihat kejadian kehidupan dengan kacamata bening selalu terngiang-ngiang di dalam telinga batinnya akan janji Allah Swt. “Ingatlah, pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al Baqarah (2) : 214). “Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah : 6).

Ayat Allah di atas menjelaskan kesulitan dengan isim ma’rifat (definitif) “al ‘usr”, sedangkan kemudahan memakai isim nakirah (infinitif) “yusr”, ini menunjukkan sesungguhnya setelah kesulitan yang sedikit itu akan ditemukan berbagai kemudahan.

Pesan penting berbaik sangka kepada Allah Swt sejatinya membangkitkan kelemahan jiwa, menyalakan spirit batin, menggerakkan potensi lahir dan batin kemudian dikerahkannya menuju kebangkitan kejiwaan. Dengan berbagai musibah yang melilit bangsa kita (udara, laut dan daratan), selayaknya menyadarkan kita untuk selalu intropeksi diri, dan meyakinkan diri kita sesungguhnya badai itu akan berlalu. Bencana adalah tangga yang mesti dilewati untuk mensucikan (tazkiyah), mendidik (tarbiyah), memandu (ta’lim), dan mendongkrak (tarqiyah) kualitas sikap mental dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa.  

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus


latestnews

View Full Version