Jika ribuan karya peneliti itu tetap ditolak demi melestarikan perbedaan pendapat kuno tersebut, berarti tak ubahnya bersikap lebih percaya pada kejahilan diri sendiri dari pada pengetahuan orang lain.
Oleh: Abdul Kholiq, Lc*
Apa pendapat Anda jika ada ulama menfatwakan halal susu bermelamin atau biskuit beracun, selama tak terasa sakit? Pasti, semua orang akan mengecam!
Kasus sepadan dengan itu sebenarnya sedang terjadi. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana menyampaikan fatwa tentang rokok, segenap tokoh menentang rencana itu. Bahkan para petani tembakau di Jember, Jawa Timur, berdemonstrasi menentang rencana fatwa MUI tersebut.
Sepanjang penelusuran penulis, ada tiga pendapat menyangkut hukum rokok. Pertama, haram; kedua, makruh; dan ketiga, mubah. (Baca di al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah : I/3522)
Kelompok yang membolehkan (mubah), mereka mendasarkan pada kaidah fikih bahwa asal segala sesuatu adalah boleh, kecuali ada bukti yang mengharamkannya. Penyebab haram barang konsumsi ada dua hal, yaitu memabukkan dan membahayakan kesehatan. Sayyid Sabiq menambahkan tiga hal lagi, yaitu najis, terkena najis, dan masih berstatus milik orang lain. (Fiqh al-Sunah: III/267).
Menurut mereka, semua hal itu tak terbukti pada rokok, sehingga hukumnya tetap halal. Andai pun ada yang terkena dampak negatif, maka yang demikian bersifat relatif. Jangankan rokok, madu pun yang secara nash dikatakan mengobati, dapat pula berdampak negatif kepada sebagian orang. Pendapat ini didukung beberapa ulama lintas madzhab, di antaranya Abd al-Ghani al-Nabulisi al-Hanafi (1062 H) yang terkenal dengan karangannya "al-Shulh Bain al-Ikhwan Fi Ibahat Syurb al-Dukhan".
Yang juga termasuk mendukung pendapat ini adalah al-Syaikh Ali Ibn Muhamad Ibn Abd al-Rahman al-Ajhuri (1066 H) dari madzhab Maliki (Ghayat al-Bayan li Hilli Syurb Ma La Yughayyib al-'Aql Min al-Dukhan). Begitu pula Ibn 'Abidin (1252 H) dan al-Hamawi
Sedangkan dari madzhab Syafi'i ada al-Hifni, al-Halabi dan al-Syubramilisi. Ditambah lagi dari kalangan ulama Hanbali, yaitu al-Syaukani dan al-Karami.
Kelompok yang memakruhkan adalah Ibn 'Abidin (yunior) al-Hanafi yang wafat pada tahun 1306 H, Yusuf al-Shaftiy al-Maliki (abad XII), al-Syarwani al-Syafi'I, dan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H).
Dasar pendapat mereka adalah; Pertama, yang jelas asap rokok itu menimbulkan bau tak sedap. Kedua, dalil ulama yang mengharamkan itu belum valid, alias belum dapat dipercaya secara penuh, hingga hanya sebatas menimbulkan keraguan (syak).
Ulama yang berpendapat haram antara lain: Zakariya al-Anshari al-Syafi'i, Abu al-Ikhlash Hasan Ibn 'Ammar al-Syaranbilali al-Hanafi (1069 H), Salim al-Sanhuri al-Maliki, Najm al-Din al-Ghazi al-Syafi'i, Ahmad Ibn Ahmad Ibn Salamah al-Qalyubi al-Syafi'i (1070 H), dan Shalih Ibn al-Hasan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H).
Ulama Sejati
Semua ulama sepakat dan tak satu pun menolak bahwa keharaman barang konsumsi tergantung kepada keberadaan salah satu atau lebih dari lima faktor. Yaitu memabukkan (muskir), membahayakan kesehatan (mudhirr), najis, terkena najis (mutanajjis), dan masih berstatus milik orang lain (milk al-ghair).
Bila dikaji dengan seksama tentang alasan kedua pendapat pertama di atas --baik yang membolehkan dan memakruhkan-- dapat dikatakan wajar bila keduanya menolak atau kurang percaya terhadap validitas argumen pendapat ketiga. Hal itu dapat dipahami, sebab kendala utamanya terletak pada metode pembuktian dampak tersebut. Maklum, saat itu belum ada standar penelitian ilmiah yang disepakati, apalagi yang bersifat medis. Akhirnya, argumentasi bahwa rokok mengandung madharat dapat dengan mudah ditepis oleh orang yang tidak mempercayai, baik berdasar pengalaman pribadi maupun orang lain yang tidak tampak terkena dampak negatif rokok.
Untuk mengurai masalah ini, hendaknya dikembalikan kepada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT). Sebagaimana diketahui, Allah SWT memerintahkan kita untuk bertanya setiap hal kepada orang yang berkompeten (Al-Nahl [16]: 43).
Dalam masalah rokok, ada dua masalah yang memerlukan dua ahli yang berbeda. Pertama, terkait dengan materi dan zat yang terkandung di dalamnya, serta dampaknya terhadap kesehatan manusia. Untuk yang ini, adalah wilayah ahli kesehatan, dokter dan paramedis. Kedua, terkait hukum syar'i dan ini bidangnya ahli fikih. Nah, hukum rokok tergantung pada hasil studi para ahli kesehatan tersebut.
Di era milenium ketiga ini, menunjukkan hasil penelitian dan efek buruk rokok jauh lebih mudah dan tak terbilang jumlahnya. Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Prof. F. A. Moeloek menjelaskan, pada 2005 ada 70.000 artikel ilmiah di dunia yang menegaskan tentang bahaya rokok, baik dari segi kandungan materialnya maupun dampak riil yang telah terjadi akibat rokok. ( http://www.depkes.go.id. 3 Juni 2008).
Jika ribuan karya peneliti itu tetap ditolak demi melestarikan perbedaan pendapat kuno tersebut, berarti tak ubahnya bersikap lebih percaya pada kejahilan diri sendiri dari pada pengetahuan orang lain.
Ulama sejati, harusnya bergembira menyambut hasil temuan seperti itu. Setidaknya, itu menjadikan bukti dan dapat menguak misteri bahaya rokok yang diperdebatkan ahli fikih sejak lima abad lampau. Dengan demikian, penerapan dalil "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan" (Al-Baqarah [2]: 195) dapat dengan mantap diterapkan.
Kaidah fikih "La Dharara Wala ‘‘ (tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain)" tak terbantahkan lagi masuk dalam hukum rokok ini, sehingga hasilnya adalah haram.
Antara Hukum dan Ekonomi
Adapula ulama yang kurang setuju pemfatwaan haram dalam kasus rokok adalah karena alasan ekonomi. Jika rokok dilarang, kata mereka, jutaan petani tembakau akan merugi.
Lantas apa hubungannya antara ekonomi dengan fatwa haram? Apakah karena pertimbangan sosial-ekonomis hukum harus diubah? Lagi pula, kapan umat mengetahui hukum yang sebenarnya (termasuk kasus rokok) hingga mereka meninggalkannya atas dorongan iman, bukan karena paksaan undang-undang? Padahal halal atau haram adalah urusan agama.
Pertama, hukum adalah hukum dan tetap dapat disosialisasikan. Masalah meninggalkan --utamanya bagi pekerja dan pemilik pabrik-- itu bisa berproses, sesuai dengan tingkat kedaruratan dan keimanan masing-masing. Pentahapan pemberitahuan hukum pada masa Nabi Shallallahu â’laihi wa sallam (SAW) --untuk khamr misalnya-- tidak dapat disamakan dengan kasus rokok saat ini. Di mana ketika itu pemberitahuan secara langsung akan keharaman khamr kepada masyarakat yang mayoritas suka khamr, akan berhadapan dengan ancaman yang lebih besar, berupa meninggalkan agama dan akidah baru mereka yaitu Islam.
Kedua, hukum mengenai keharaman barang konsumsi adalah mutlak tergantung ada atau tidaknya salah satu atau lebih dari lima faktor pengharam di atas. Tak ada sangkut pautnya dengan fenomena sosial. Bila tidak, benarlah bila dikatakan banyak orang: "Walaupun rokok itu beracun menurut ahli kesehatan sedunia, tapi jangan dulu dihukumi haram! "
Penulis berharap ada kebeningan hati dan obyektivitas dari para ulama dalam menilai kebenaran. Serta keberanian untuk menyampaikannya. Dengan demikian umat dapat terbimbing memahami sekaligus melaksankan agamanya dengan baik. Selamat tinggal rokok, marhaban ya waratsat al-anbiya'!
*Dosen STAIL Hidayatullah Surabaya