View Full Version
Rabu, 07 Apr 2010

Aktivis Perempuan Minta Haknya Menjadi Hakim

Di antara negara-negara Arab, Mesir termasuk banyak mempunyai organisasi perempuan

Hidayatullah.com—Jabatan hakim bukan sesuatu yang aneh. Namun jika jabatan itu dimiliki kaum hawa, itu masih menjadi perdebatan di Mesir.  Mereka menilai perempuan terlalu emosional. Lalu siapa yang akan mengurus keluarga jika mereka tengah disibukkan oleh kasus-kasus di pengadilan? Itulah tanggapan yang menyeruak dari para hakim di Mesir.

Di perbincangan sebuah ruang chatting juga tak kalah sengit. Mereka mempertanyakan dan menganggap rapuhnya seorang perempuan, bagaimana jika mereka sedang menstruasi, dan bagaimana jika mereka sedang hamil? Itulah segudang alasan sejumlah orang di sana yang menilai perempuan tidak sesuai untuk menjabat sebagai hakim.

Sebagian orang di kota Kairo menolak gagasan itu, hingga akhirnya pemerintah dan Mahkamah Konstitusi harus ikut turut campur tangan untuk membolehkan perempuan menduduki jabatan sebagai hakim di pengadilan tinggi Mesir untuk pertama kalinya.

Namun hasil akhirnya adalah kemenangan perempuan Mesir. Mereka berhak melenggang di pengadilan sebagai petinggi para hakim, namun sejumlah kelompok pembela hak perempuan sempat kecewa, karena perjuangan ini harus dilalui dengan sangat keras, dan menghabiskan beberapa dekade. Padahal sudah sejak lama perempuan Mesir menjadi hakim, tetapi mengapa tidak boleh menjadi orang nomor satu di pengadilan.

Di antara negara-negara Arab, Mesir termasuk mempunyai banyak organisasi perempuan, dan sudah menjadi pemandangan lumrah mereka telah diberi haknya untuk dipilih sebagai seorang menteri, dokter, pengusaha, dan pekerja profesional. Meski begitu, perkembangan perempuan di ranah pekerjaan terus dibayang-bayangi oleh kesadaran publik yang ingin mengubah keadaan, khususnya ketika sejumlah ulama yang muncul di tv-tv selalu mendorong perempuan untuk tetap tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan domestik, karena perempuan dianggap berbeda dengan laki-laki.

Perseteruan di antara para hakim itu berkutat di dewan negara. Setidaknya 25 perempuan mengajukan dirinya untuk menjadi hakin di dewan negara, namun lembaga yang menangani kasus yang diajukan pemerintah itu pada Februari, melarang lewat voting kehadiran perempuan di pengadilan.

Sebuah aktivis perempuan menuntut dewan negara dan meminta haknya di posisi sebagai hakim. Mereka menilai bahwa perempuan telah menjalani sejumlah ujian dan lulus menjalaninya.

Lembaga pengawas pengadilan yang dipimpin oleh Muhammed al-Hussein mencabut larangan itu karena dianggap tidak konstitusional. Keputusan ini membuat sejumlah hakim marah dan menuntut Hussein dipecat dari jabatannya.

Akhirnya Perdana Menteri menyerahkan masalah ini kembali kepada Undang-Undang Dasar, yang semua warga negara mempunyai hak sama di mata hukum, dan pemerintah mendukung keputusan lembaga pengawas pengadilan.

Kejadian pada 2007 hampir sama dengan kasus ini. Saat itu MA memberikan hak kepada 20 perempuan untuk menjadi hakim dengan kriteria yang disamakan dengan laki-laki. Penunjukan itu banyak menuai protes, meski akhirnya perempuan tetap bisa melenggang ke pengadilan sebagai hakim.

“Peranan perempuan di dalam keluarga sangat vital, siapa nanti yang akan mengurus rumah tangga jika mereka disibukkan menangani kasus-kasus pengadilan,” kata Wakil Kepala Pengadilan Mesir Mahmoud al-Khudairy.

Perdebatan mengenai peran perempuan di Mesir memuncak pada tahun 2000 saat hukum di Mesir diamandemen, yang akhirnya memperbolehkan perempuan menggugat cerai jika mereka setuju untuk mengganti hak keuangan dan mas kawin. Sebelumnya hanya laki-laki yang berhak menggugat cerai.

Sebagian masyarakat di Mesir menilai, perempuan sangat emosional untuk berniat menggugat cerai, namun mereka dapat mengambil keputusan itu dengan baik, seperti halnya laki-laki yang juga dapat mengambil keputusan penting.

UU sebelumnya menyatakan, perempuan yang menikah dengan orang asing, harus menanggalkan kewarganegaraan Mesir, baik bagi dirinya maupun anak-anaknya, karena khawatir ada orang asing masuk ke dalam masyarakat Mesir.

“Sistem patriarkhial masih menjadi budaya kami,” kata el-Gelabi kepada AP, Selasa (6/4). Hakim perempuan pertama Mesir ini menambahkan, di semua sektor dalam mesyarakat, anggapan perempuan lebih rendah dari laki-laki dengan alasan lemahnya fisik, masih dominan. [ap/hp/www.hidayatullah.com]


latestnews

View Full Version