Gaya Obama mendekati negara-negara Muslim diubah, tapi tujuan intinya tetap sama, "demi kepentingan keamanan nasional"
Hidayatullah.com--Terorisme masih menjadi pusat perhatian utama Amerika Serikat, namun karena Obama telah berjanji akan membuka lembaran baru hubungan AS-Muslim--seperti dalam pidatonya di Kairo tahun lalu--dia berusaha mulai lebih banyak bicara tentang jaminan kesehatan, pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Strategi yang melihat dunia dari kaca mata terorisme, adalah gaya pemerintahan sebelumnya. Di mana ketika bicara tentang negara-negara Muslim, berarti maknanya adalah perang.
"Anda memilih sebuah negara yang mayoritas penduduknya tidak akan menjadi teroris, Anda masuk kemudian berkata, 'Kami bangunkan untuk kalian sebuah rumah sakit, supaya kalian tidak menjadi teroris.' Hal itu tidak masuk akal," kata anggota Dewan Kemanan Nasional, Pradeep Ramamurthy, seperti dikutip AP (7/4).
Ramamurty memimpin Global Engagement Directorate (GED), sebuah tim betukan Obama yang beranggotakan empat orang. Tugas tim yang dibentuk pada bulan Mei tahun lalu itu adalah melakukan diplomasi untuk tujuan keamanan nasional. Sejak dibentuk, tim itu tidak hanya mengubah makna memerangi terorisme, tapi juga mengatur bagaimana cara AS melakukan bisnis dan berinvestasi di negara Muslim, mempelajari pemanasan global, mendukung penelitian ilmiah dan menangani masalah kesehatan.
Menurut pejabat kontraterorisme yang tidak diidentifikasikan namanya, para penasihat Obama itu juga menulis ulang dokumen yang menyebutkan "radikalisme Islam" dalam rencana stategis keamanan nasional. Sekarang ini dokumen tersebut masih menyebutkan, "Perjuangan melawan militan radikalisme Islam merupakan konflik ideologi besar pada masa awal abad 21."
Tim Ramamurthy bekerja dengan berbagai macam cara. Sebelum para diplomat dikirim ke luar negeri, mereka diberi "wejangan" oleh GED. Ketika para pejabat National Oceanic and Atmospheric Administration kembali dari Indonesia, National Security Council (NSC) mendapat ikhtisar mengenai peluang penelitian pemanasan global.
Ramamurthy memiliki catatan wawancara yang dilakukan oleh 50 Kedutaan AS di seluruh dunia, serta dengan pemimpin bisnis dari lebih 40 negara, yang ditemuinya dalam acara pertemuan bisnis di Washington bulan ini.
Ia bertanya, "Apakah Anda ingin melihat AS sebagai negara yang memerangi terorisme atau rekan bisnis?"
Tentu saja para pemimpin negara-negara Muslim banyak yang menyambut perubahan AS tersebut.
Hamada Faraaneh anggota legislatif Yordania mengatakan, "Hal itu menunjukkan pamahan substansial Presiden Obama atas seluk-beluk politik dengan Muslim."
Sementara jurubicara pemerintah Iran, Ali Al-Dabbagh menyambut baik kebijakan Obama yang membuang retorika agama dalam strategi keamanannya.
"Keputusan Obama ini akan membantu mengubah imej Muslim terhadap Amerika," katanya.
Obama bukan orang pemimpin AS pertama yang berusaha menjangkau Muslim. Presiden George W. Bush memberikan Al-Quran pertama kepada Gedung Putih, menyelenggarakan buka puasa bersama di sana, dan mendukung terang-terang negara yang melakukan demokrasi, seperti Turki.
Namun demikian, Bush justru menyebut perang terhadap terorisme--yang notabene memburu orang-orang Muslim--sebagai "perang salib", melabeli invasi ke Afghanistan dengan "Operation Infinite Justice", mengidentikkan musuh AS sebagai "Islamic extremists" dand "radical jihadists".
Tidak mustahil Obama melakukan hal yang sama dengan Bush, lain di mulut lain kelakuan. Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya; menentang kebijakan Bush di Afghanistan tapi justru mengirim pasukan lebih banyak. Janji menutup Guantanamo, tapi hingga tanggal yang ditetapkannya sendiri lewat, janji itu belum juga direalisasikan. Seperti banyak kata pengamat, Obama tidak lebih dari sekedar penerus George W. Bush. [di/ap/www.hidayatullah.com]