Di tengah berbagai skandal korupsi, polisi aktif menangkap dan menembak teroris. Ada yang membandingkannya dengan pemberantasan Komando Jihad Orde Baru
oleh: Amran Nasution*
BETAPA lancar Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menyebut nama para tersangka teroris yang ditangkap, yang sudah ditembak mati, atau yang masih buron. Tapi di antara banyak nama yang berhamburan dalam konprensi pers Kapolri Jumat, 14 Mei lalu, ada satu nama yang istimewa: Abdullah Sunata.
Pria kelahiran 4 Oktober 1978 di Bambu Apus, Jakarta inilah yang memimpin pelatihan militer sekelompok orang yang dituduh teroris di Aceh yang menyebabkan "hantu" terorisme kembali menakutkan masyarakat. Sebelumnya orang sudah lega setelah tokoh teroris Noordin Muhammad Top dan para pelaku pengeboman J.W.Marriott dan Ritz Carlton – dua hotel bermodal Amerika Serikat di Jakarta -- berhasil diringkus mau pun ditembak mati polisi.
Selain itu, menurut Kapolri, Abdullah Sunata mengubah metode serangan mereka dari ledakan bom bunuh diri seperti yang dulu dilakukan kelompok Azhari atau Noordin Muhammad Top, dua tokoh asal Malaysia yang telah tertembak mati. Sekarang kelompok ini melakukan serangan langsung ke target tertentu dengan menggunakan senjata api sebagaimana yang terjadi di Mumbai, India, November 2008. Pelatihan perang di Aceh itu untuk persiapan serangan dengan metode baru ini.
Atas ide Abdullah Sunata pula sasaran serangan akan dialihkan ke Istana Negara pada perayaan peringatan hari kemerdekaan, 17 Agustus mendatang. Ketika itu, mereka asumsikan penjagaan keamanan tak terlalu ketat, sehingga mereka bisa membunuh Presiden SBY serta para tamu negara seperti para Duta Besar negara asing. Mereka juga membuat rencana serangan bersenjata pada kedatangan Presiden Barack Obama ke Indonesia Juni 2010.
Bila berhasil menembak mati Presiden SBY, kata Kapolri, "Mereka akan mendeklarasikan Negara Syariah Islam." Selain itu mereka akan meresmikan Tandzim Al-Qaidah Serambi Mekkah sebagai nama gerakan, mengikut nama gerakan Al-Qaidah.
Bila diamati apa yang dikatakan Kapolri, berarti ada perubahan sasaran kelompok ini yang fundamental. Di seluruh dunia, termasuk dalam kasus Mumbai, sasaran kelompok teroris adalah Amerika Serikat dan Israel dan semua kepentingannya. Di Indonesia pun, mulai Bom Bali 1, Bom Bali 2, serangan ke Kedubes Australia, Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, dan serangan lainnya semua diarahkan pada kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya.
Memang musuh mereka adalah Amerika Serikat, Israel, dan sekutunya. Sesungguhnya merebaknya terorisme merupakan perlawanan atau pembalasan atas tindakan Amerika Serikat yang selalu mendukung Israel dalam konflik Timur Tengah. Kelompok ini tambah meluas dan mendunia setelah tentara Amerika Serikat menyerang dan menduduki Afghanistan dan Iraq. Jadi betapa kuat pengaruh Abdullah Sunata sampai ia mampu membelokkan garis perjuangan mereka yang begini penting?
Tapi tampaknya banyak pihak yang meragukan serangan kepada Presiden SBY. Sebelum ini, polisi sudah pernah mengungkapkan bahwa kelompok teroris akan menyerang Presiden SBY. Tapi waktu itu disebutkan serangan dilakukan di kediaman SBY di Cikeas Bogor. Sekarang berubah menjadi lebih dramatis: Istana Negara di saat perayaan kemerdekaan.
Orang pun teringat pada masa kampanye pemilihan Presiden tahun lalu. Ketika itu, Presiden SBY tampil langsung menjelaskan kepada masyarakat bahwa dia mau dibunuh, kantor KPU (Komisi Pemilihan Umum) akan diduduki demonstran, dan hasil Pemilu tak diakui. "Ini bukan isu, ini bukan rumor, semua ada faktanya," kata Presiden SBY. Di sebelahnya terlihat Kapolri Bambang Hendarso Danuri berdiri dengan wajah tegang.
Belum cukup. SBY mempertontonkan sebuah poster besar berisi foto dirinya. Persis di pipinya terlibat lubang bekas peluru. Rupanya poster itu dijadikan kelompok teroris sebagai sasaran dalam berlatih tembak.
Masyarakat yang menonton penampilan SBY di layar televisi tentu langsung tersentuh: Kepala Negara ingin ditembak teroris. Simpati pun banyak tertuju pada SBY. Tapi nyatanya sampai sekarang apa yang dikatakan Presiden tak pernah terjadi. Tak ada serangan ke Cikeas, tak ada pendudukan kantor KPU, dan Pemilu berlangsung aman-tentram.
Lebih parah lagi "fakta" yang disebutkan Presiden SBY, seperti poster dengan foto dirinya itu, belakangan diketahui adalah poster lama dari kampanye pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004. Latihan tembak itu rupanya terjadi di sekitar masa kampanye Pemilu, maka semua poster calon Presiden dan Wakil Presiden yang pada waktu itu gampang diperoleh menjadi sasaran tembak. Untuk apa teroris harus menjadikan SBY sasaran sedang waktu itu ia belum menjadi Presiden?
Maka selain foto SBY, kelompok yang sedang berlatih tembak itu juga menjadikan foto Megawati, Wiranto, Jusuf Kalla, Hasjim Muzadi, dan Salahuddin Wahid, sebagai sasaran.
Tapi sampai sekarang Presiden SBY mau pun Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri tak pernah menyinggung masalah itu. Tak ada penjelasan kenapa Pemilu tak berlangsung rusuh, kenapa kantor KPU tak jadi diduduki demonstran, dan kenapa poster dari kampanye Pemilu Pemilihan Presiden tahun 2004 dibawa-bawa?
Teman Polisi
Kembali soal Abdullah Sunata yang dinyatakan Kapolri sebagai tokoh utama terorisme di Indonesia sekarang. Dalam konflik antar-agama dulu di Ambon, dia diketahui memimpin sebuah kelompok bernama Kompak (Komite Aksi Penanggulangan Krisis).
Namanya baru muncul beberapa tahun kemudian ketika 2 Juli 2005, ia ditangkap pasukan anti-teror Polri, Detasemen Khusus 88, dituduh menyembunyikan buronan Noordin Muhammad Top serta menyimpan senjata api. Setahun kemudian, Mei 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonisnya 7 tahun penjara. Artinya, kalau tak ada apa-apa ia baru lepas dari bui setelah tahun 2012.
Tapi nyatanya Mei 2009, diketahui Abdullah Sunata telah datang ke Aceh. Dia ikut melakukan survei dan memutuskan tempat latihan militer itu. Rupanya dua bulan sebelumnya, Maret 2009, Sunata memang telah dibebaskan dari penjara. Hukuman 7 tahun penjara ia jalani tak sampai 4 tahun. Kenapa bisa?
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiyono mengatakan bahwa Abdullah Sunata dibebaskan lebih cepat karena mendapat remisi umum dan remisi khusus selama setahun. Selain itu karena masa hukumannya dijumlahkan dengan remisi telah mencapai dua pertiga, Abdullah Sunata mendapat pembebasan bersyarat. "Semua narapidana berhak mendapat pembebasan bersyarat," katanya (Kompas, 18 Mei 2010).
Pembebasan Sunata yang begitu cepat memang menjadi tanda tanya. Koran Kompas 17 Mei lalu menulis bahwa pembebasan bersyarat terhadap Abdullah Sunata adalah ganjil. Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menyebutkan Sunata merupakan narapidana terorisme yang menjalani program deradikalisasi dari pihak kepolisian dan purnawirawan Polri. "Ini dipertanyakan apalagi Sunata sendiri dikenal cukup kooperatif dengan polisi selama ini. Apakah karena berkelakuan baik ia dibebaskan, atau apakah dia membohongi polisi selama ini," kata Noor Huda Ismail.
Telah banyak diketahui selama ini bahwa narapidana atau bekas narapidana terorisme kerap minta bantuan uang kepada polisi. Sunata, menurut Noor Huda Ismail, termasuk orang yang kerap mendapat bantuan serupa. Bahkan setelah keluar dari penjara Sunata berbisnis pulsa telepon dan ekonominya lumayan. Ia memiliki sebuah mobil APV untuk aktivitas sehari-hari. "Meski pun niatnya baik, deradikalisasi bukanlah tugas polisi. Apalagi di satu pihak polisi menembaki rekan mereka, di satu pihak membantu," ujar Noor Huda.
Ternyata Sunata terus merekrut anggota baru dan malah menyiapkan pelatihan di Aceh. Hubungan baik Sunata dengan polisi ini mengingatkan orang pada Hambali yang kini ditahan di penjara Guantanamo oleh aparat keamanan Amerika Serikat.
Dengan mengutip laporan The International Crisis Group (ICG), Majalah TEMPO On Line 13 Oktober 2003, mengungkapkan bahwa Fauzie Hasbie Gedong, pembelot Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menjadi informan TNI berteman dengan Hambali. Menurut laporan itu ternyata beberapa kali diketahui Gedong dan Hambali mengunjungi kantor Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menemui pejabat di sana. Gedong dikabarkan mendapat proyek dari badan intelijen itu.
Sekarang sementara Sunata dinyatakan buron, sejumlah anggotanya malah ditembak mati polisi. Mereka melawan? Belum tentu. Sejumlah saksi mata penembakan tersangka terorisme mengatakan tersangka ditembak tanpa melawan. Contohnya kesaksian Desi, pegawai CV Pelangi, yang menjual tiket bus antar-kota di kawasan Cililitan, Jakarta. Pada Kamis 13 Mei itu, dia melihat tiga orang turun dari taksi. "Waktu mereka lewat saya tawari (tiket). Mau ke Sumatera Pak?" kata Desi. Ternyata orang itu menjawab tidak.
Setelah Desi menawari tiket, sekitar 15 polisi berpakaian preman tapi berpistol datang menghampiri salah seorang di antara orang itu. Polisi itu langsung menembaknya di bagian perut dan dada. Orang itu pun tersungkur (Koran TEMPO 14 Mei 2010).
Kalau kesaksian itu benar, di mana teroris yang melawan sebagaimana yang selalu dikatakan polisi? Tapi seperti biasa terjadi selama ini, setelah ribut-ribut sebentar kasus ini akan hilang bersama waktu. Tak jelas siapa sebenarnya yang mengawasi pekerjaan polisi sehingga institusi penegak hukum ini tak menjelma menjadi superbody seperti Kopkamtib di zaman Orde Baru.
Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) lebih sibuk mengurusi pelanggaran HAM masa lalu. Mereka seakan memejamkan mata terhadap kasus penembakan teroris, seakan kasus itu tak ada hubungannya dengan pelanggaran HAM.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD khawatir terjadi pengalihan isu karena belakangan ini banyak muncul kasus megakorupsi yang memiliki bukti kuat yang melibatkan polisi dan jaksa. Misalnya, kasus korupsi pajak Gayus Tambunan sudah jelas terbukti tapi kemudian penanganannya melempem. Kemudian muncul kasus Susno Duadji dan terorisme.
Mahfud menyebutkan, di zaman Orde Baru ada isu Komando Jihad dan negara Islam untuk mengalihkan isu korupsi pada waktu itu. "Pola-polanya hampir sama, bisa mengarah ke state terrorism. Dulu ada isu Komando Jihad dan kemudian muncul isu Negara Islam. Saya khawatir ada pembelokan sasaran. Mudah-mudahan tidak," kata Mahfud kepada wartawan usai meluncurkan bukunya di Rumah Makan Suharti Yogyakarta, 14 Mei lalu.
Seperti diketahui di zaman Orde Baru – mirip isu terorisme sekarang – ada isu Komando Jihad yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam dengan teror, pembunuhan, dan pola kekerasan lainnya. Ternyata belakangan terbongkar bahwa itu adalah "proyek" Ali Murtopo, salah satu operator khusus Presiden Soeharto.
Tujuannya antara lain, selain pengalihan isu seperti disebut Mahfud, untuk menghambat gerakan politik Islam yang tampak bergelora di awal Orde Baru, menyusul tergusurnya musuh mereka, golongan komunis.
Sejak awal Orde Baru, Ali Murtopo merekrut para tokoh eks DI/TII dengan dalih untuk menghadapi kembalinya gerakan partai komunis PKI di Indonesia. Ternyata belakangan mereka ditangkapi Kopkamtib dengan tuduhan terlibat Komando Jihad. Jumlahnya di seluruh Indonesia ribuan orang, beberapa di antaranya – seperti sekarang ini -- mati tertembak. Sesungguhnya aparat keamanan itu melakukan perburuan di kebun binatang.[www.Hidayatullah.com]